Kudeta Putih

Page 1



Kudeta Putih:

Reformasi dan Pelembagaan Kepentingan Asing dalam Ekonomi Indonesia

Syamsul Hadi Salamuddin Daeng Afrimadona Shanti Darmastuti Eka Pratiwi Indah Nataprawira

Jakarta 2012


Kudeta Putih: Reformasi dan Pelembagaan Kepentingan Asing dalam Ekonomi Indonesia 16 x 23 cm, xx + 228 halaman, September 2012 ISBN : 978-602-99292-4-9 Penulis Syamsul Hadi Salamuddin Daeng Afrimadona Shanti Darmastuti Eka Pratiwi Indah Nataprawira Penerbit Indonesia Berdikari Jl. Salemba Tengah No.39BB, Lt.2 Jakarta Pusat Bekerjasama dengan AEPI Jakarta (Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia - Jakarta) Tahun September 2012 Desain Sampul Arief Timor dan Fajrian Tata Letak Widiyo Nugroho Percetakan Serpico Printing Jl. Djuanda No. 44, Bekasi - Jawa Barat


Kata Pengantar

Buku ini merupakan adaptasi dari laporan penelitian bertajuk “Reformasi dan Pelembagaan Kepentingan Asing Dalam Perekonomian Indonesia�, yang dibuat oleh

tim kecil yang terdiri atas akademisi, aktivis social, dan beberapa wartawan muda, yang aktif berkecimpung di Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Jakarta. Penelitian tersebut ditujukan untuk memberikan analisis kritis tentang pelembagaan berbagai kepentingan asing dalam bentuk aturan formal seperti undangundang dan peraturan pemerintah. Pelembagaan kepentingan asing dapat dilihat dari bagaimana institusi-institusi internasional seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank (Bank Dunia), dan Asian Development Bank (Bank Pembangunan Asia) memaksakan pelembagaan nilai-nilai ekonomi neoliberal kepada negara-negara berkembang, khususnya yang terlanda krisis dan tergantung secara ekonomi kepada bantuan asing, melalui skema kebijakan yang secara detail dituangkan dalam berbagai dokumen dan kesepakatan yang melibatkan pemerintah Indonesia.

iii


Sejak krisis 1997-1998, IMF memaksakan program-program pengetatan anggaran, privatisasi sejumlah badan usaha milik negara (BUMN), dan liberalisasi di hampir seluruh sektor ekonomi yang pada akhirnya “membonsai� perekonomian Indonesia untuk terus hidup dalam bayangan kepentingan asing. Hal memprihatinkan ini terjadi karena memudarnya rasa percaya diri elite bangsa, komitmen yang rendah pada amanat konstitusi, dan pola hubungan yang diwarnai ketergantungan atau dependensi (dependency) terhadap pendanaan dari negara-negara maju dan lembagalembaga finansial internasional yang sebenarnya sudah terjadi sejak era Orde Baru. Masuknya aktor-aktor internasional memang bukan fenomena baru dalam peta ekonomi politik Indonesia. Selain IMF, lembaga-lembaga finansial internasional seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, ataupun lembaga milik pemerintah asing seperti United States Agency for International Development (USAID) terlibat aktif dalam kebijakan ekonomi dan reformasi struktural di Indonesia melalui berbagai rekomendasi kebijakan, pengawasan, dan drafting aturan perundangan yang mereka sponsori dari waktu ke waktu, dari sektor ke sektor, dan dari lembaga negara satu ke lembaga negara lain. Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada lembaga independen Indonesia Berdikari (IB) yang telah memberikan kepercayaan kepada kami untuk melakukan penelitian ini sejak awal tahun 2012. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan untuk para narasumber yang telah dengan baik hati bersedia kami wawancarai, antara lain Ahmad Iskandar, Hendri Saparini, Ichsanuddin Noorsy, serta beberapa narasumber lain dari anggota DPR RI dan LSM yang telah memberikan kontribusi bagi pendalaman materi dalam buku ini. Tak terkecuali, ucapan terima kasih juga layak kami sampaikan kepada teman-teman para aktivis sosial, intelektual muda, dan beberapa politikus nasional yang baik secara langsung maupun tidak langsung berkontribusi bagi lahirnya buku ini. Ucapan terima kasih juga secara khusus kami sampaikan kepada Dr. Fuad Bawazier, yang dengan penuh perhatian, keseriusan, dan kesabaran telah menjadi narasumber utama dalam focus group discussion (FGD) yang diselenggarakan untuk mempertajam materi draf hasil penelitian ini pada akhir Mei 2012. Terima kasih juga kepada seluruh pembaca yang budiman, yang kiranya dapat memperoleh manfaat yang baik dari buku sederhana ini. Tim Penulis iv


Daftar Isi

iii

Kata Pengantar

v

Daftar Isi

xi

Daftar Singkatan

xv

Daftar Tabel

1

BAB I. Reformasi dan Pelembagaan Kepentingan Asing

dalam Perekonomian Indonesia:

Perspektif Analisis

1

I.1

Krisis Ekonomi, Reformasi, dan “Kudeta Putih�

6

I.2.

Kerangka Analisis

6

I.2.1

Reformasi dan Musnahnya Kepercayaan Diri Bangsa

7

I.2.2

Lembaga dan Pelembagaan Aneka Kepentingan v


9

I.2.3

Dependensi dan Pelembagaan Kepentingan Asing Melalui Pintu Reformasi

13

BAB II. Jejak Kepentingan Asing dalam

Undang-Undang Investasi di Indonesia

13

II.1. Sejarah Liberalisasi Investasi di Indonesia

14

II.1.1

Regulasi Investasi Masa Orde Lama

17

II.1.2.

Regulasi Investasi Masa Orde Baru

20

II.1.3.

Regulasi Investasi Masa Reformasi

23

II.2.

Peran Aktor Internasional dalam Liberalisasi Investasi

di Indonesia

23 25 28 31

II.2.1. Aktor Internasional dalam Liberalisasi Investasi

di Tingkat Global

II.2.2.

UU No. 25 Tahun 2007 : Dominasi Asing yang

Semakin Menguat

II.2.3.

Kaidah World Trade Organization (WTO) dalam

UU Penanaman Modal di Indonesia

II.2.4.

Letter of Intent (LoI) International Monetary Fund (IMF) dan Liberalisasi Investasi di Indonesia

36

II.2.5. Keterlibatan Bank Dunia dalam Regulasi Penanaman

37

II.2.6. Keterlibatan Asian Development Bank (ADB) dalam

40

vi

Modal di Indonesia Regulasi Penanaman Modal di Indonesia

II.3. Implikasi Liberalisasi Investasi di Indonesia


49

BAB III. Pengaruh Asing dalam Liberalisasi Serta Regulasi Sektor Keuangan dan Perbankan di Indonesia

49

III.1. Reformasi Sektor Keuangan dan Perbankan di Indonesia

52

III.2.

Peran Aktor Internasional dalam Sektor Keuangan dan

Perbankan di Indonesia

52

54

III.2.1. General Agreement on Tariff and Trade (GATS) dan

ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS):

Komitmen Indonesia di Tingkat Internasional

III.2.2. International Monetary Fund (IMF) dan Restrukturisasi

56

III.2.3. Basel Committee on Banking Supervision (BCBS):

58

Perbankan di Indonesia Kerangka Aturan Internasional di Bidang Perbankan

III.2.4. Bentuk Pengaruh Asing dalam Regulasi Sektor Keuangan dan Perbankan di Indonesia

58

III.2.4.1. Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan

dan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1999 tentang

Pembelian Saham Bank Umum

58

A. Sejarah dan Prinsip Umum

61

B. Peran IMF dalam Liberalisasi Sektor Perbankan

62

III.2.4.1.UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan

UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No.23 Tahun 1999

62

A. Posisi dan Peran Bank Indonesia (BI)

64

B. Peran IMF dan Bank Dunia dalam Regulasi

Bank Indonesia vii


65

III.2.4.2 UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa

Keuangan (OJK)

65

A. Prinsip Umum OJK

68

B. Peran IMF dalam Pembentukan Regulasi OJK

68

C. Peran Asian Development Bank dan Bank Dunia

72

Dalam Pembentukan Regulasi OJK

III.2.4.3 UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial

Nasional dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial

72

A. Prinsip dan Pengelolaan Jaminan Sosial

74

B. Peran ADB dan Bank Dunia dalam Regulasi

79

89

III.3.

Implikasi Pengaruh Asing dalam Liberalisasi serta

Regulasi Sektor Keuangan dan Perbankan

BAB IV. Kepentingan Asing dalam Liberalisasi

Sektor Migas Indonesia

90

IV. 1.

Evolusi Kebijakan Minyak dan Gas Bumi Nasional

90

IV.1.1. Kebijakan Migas pada Masa Orde Lama

92

IV.1.2. Kebijakan Migas pada Masa Orde Baru

96

IV.1.3. Kebijakan Migas pada Masa Reformasi

97

IV.1.3.1. Campur Tangan Asing dalam RUU Migas Era Reformasi

111

IV.1.3.2. Implikasi Penerapan UU No. 22 Tahun 2001 terhadap

viii

Sistem Jaminan Sosial Nasional

Industri Migas Indonesia


125

IV.1.3.3. Carut Marut Tata Kelola Migas Nasional

139

BAB V. Peran Asing dalam Liberalisasi Sektor

Pertanian Indonesia

141

V.1. Proses Liberalisasi Sektor Pertanian di Indonesia

141

V.1.1

144

V. 1. 2. Regional

146

V. 1. 3. Unilateral

146

V. 1. 3. 1. International Monetary Fund (IMF)

151

V. 1. 3. 2.Asian Development Bank (ADB)

171

BAB VI. Dominasi Asing dalam Bisnis Ritel

Multilateral

di Indonesia

171

VI.1.

Liberaliasi Sektor Ritel di Indonesia

176

VI.2.

Regulasi Terkait Sektor Ritel:

Keberpihakan dan Keefektifan

VI.3.

Pengaruh Aktor Internasional dalam Liberalisasi

Bisnis Ritel di Indonesia

183 187

VI.4. Implikasi Liberaliasi Sektor Ritel di Indonesia

187

VI.4.1. Menjamurnya Ritel Asing di Indonesia

192

VI.4.2. Implikasi terhadap Pasar Tradisional

ix


x

199

BAB VII.

Kesimpulan

207

Daftar Pustaka

225

Indeks

245

Biodata Penulis


Daftar Singkatan

ADB

Asian Development Bank

AFTA

ASEAN Free Trade Area

AFAS

ASEAN Framework Agreement on Services

ASABRI

ASEM

Askes

Asuransi Kesehatan Indonesia

BCBS

Basel Committee on Banking Supervision

BCP

BFTA

BI

Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Asia Europe Meeting

Basel Core Principles Bilateral Free Trade Agreement Bank Indonesia

xi


BITS

Bilateral Investment Treaties

BPPN

Badan Penyehatan Perbankan Nasional

BKPM

Badan Koordinasi Penanaman Modal

BUMD

Badan Usaha Milik Daerah

BUMN

Badan Usaha Milik Negara

CAS

Country Assistant Staregy

DEN

Dewan Energi Nasional

DPK

Dana Pihak Ketiga

DPL

Development Policy Loan

DPSP

Development Policy Support Programme

ECSC

European Coal and Steel Community

ECU

EERM

EPA

FGRSDP

European Currency Unit European Exchange Rate Mechanism Economic Partnership Agreement Financial Governance Reforms:

Sector Development Program

FGSSR

Financial Governance and Social Security Reform

GATS

General Agreement on Trade in Services

GATT

General Agreement Trade and Tariffs

GDP

Gross Domestic Product

GTZ

Germany Technical Cooperation

IHSG

Indeks Harga Saham Gabungan

IMF

International Monetary Fund

IPP

Independent Power Producer

xii


Jamsostek

Jaminan Sosial Tenaga Kerja

JICA

Japan International Cooperation Agency

JSE

Jakarta Stock Exchange

KEK

Kawasan Ekonomi Khusus

KEN

Kebijakan Energi Nasional

LPS

Lembaga Penjamin Simpanan

LOI

Letter of Intent

LOLR

Lender of Last Resort

LKBB

Lembaga Keuangan Bukan Bank

LPJK

Lembaga Pengawas Sektor Keuangan

MDTCA

The Ministry of Domestic Trade and Consumer Affairs

MEFP

Memorandum on Economic and Financial Policies

MFN

Most Favoured Nation

NAFTA

North American FreeTrade Agreement

OJK

Otoritas Jasa Keuangan

OECD

Organization for Economic Co-operation and Development

Persero

Perusahaan Perseroan

PMA

Penanaman Modal Asing

PMDN

Penanaman Modal Dalam Negeri

RUU

Rancangan Undang-undang

SJSN

Sistem Jaminan Sosial Nasional

SPP

Single Presence Policy

Taspen

Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri

SKB

Surat Keputusan Bersama

xiii


TA

Tecnical Assistant

TIFA

Trade and Investment Framework Agreement

TRIMS

Trade-Related Investment Measures

UE

Uni Eropa

UNCTAD

United Nations Conference on Trade and Development

USAID United States of America Agency for International Development WB

World Bank

World Trade Organization

WTO

UKM

xiv

Usaha Kecil Menengah


Daftar Tabel

22

Tabel II.1.

Kronologi Liberalisasi PMA di Indonesia

41

Tabel II.2.

Kontribusi Aktor Internasional Dalam Regulasi

Penanaman Modal

79

Tabel III.1. Kontribusi Aktor Internasional Dalam Regulasi

83

Tabel III.2. Batas Kepemilikan Asing di Bank pada

85

Beberapa Negara

Tabel III.3. Perbandingan Pengaturan Kepemilikan Bank pada

123

Sektor Keuangan dan Perbankan

Beberapa Negara

Tabel IV.1. Produksi dan Ekspor Liquefied Natural Gas (LNG)

dan Liquefied Petroleum Gas (LPG) Indonesia xv


126 130 140

Tabel IV.2.

Pasal-pasal Kontroversial dalam UU No. 22 Tahun

2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

Tabel IV.3

Pasal-pasal Kontroversial PP No. 35 Tahun 2004

tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas

Tabel V.1.

Sumbangan Persentase Sektoral atas GDP di

Negara-negara ASEAN 2000-2004 142

Tabel V.2.

Kesepakatan Agreement on Agriculture WTO

144

Tabel V.3.

Kewajiban Indonesia dalam AoA WTO

152

Tabel V.4.

Peningkatan Penanaman Modal Asing (PMA) di

Sektor Pertanian Indonesia 153

xvi

Tabel V.5.

Estimasi Biaya dan Rencana Keuangan Asian

Development Bank (ADB) Tahun 1999

160

Tabel V.6

Proyek Water Supply ADB di Indonesia Tahun 2003

163

Tabel V.7.

Estimasi Biaya dan Rencana Pendanaan untuk

Program Sistem Irigasi ($’000) Bulan Desember 2010

166

Tabel V.8.

Perkiraan Dana dan Rencana Pembiayaan Tahun 2003

173

Tabel VI.1.

Karakteristik Ritel Modern

174

Tabel VI.2.

Karakteristik Pasar Modern di Indonesia

188

Tabel VI.3. Ritel-ritel Asing di Indonesia Tahun 2011


Daftar Diagram

47

Diagram II.1. Realisasi Investasi Asing Quarter I Tahun 2011 Berdasarkan Negara Asal

47

Diagram II.2. Realisasi Investasi Asing Quarter I Tahun 2011 Berdasarkan Lima Sektor Bisnis Utama

114

Diagram IV.1. Sumber Pasokan Minyak Mentah

118

Diagram IV.2. Perusahaan Asing Dalam Produksi Minyak Mentah Indonesia Bulan Desember 2009

121

Diagram IV.3. Produksi Gas Bumi dan Kontraktor Utama Bulan Desember 2009

xvii


Daftar Grafik

113

Grafik IV.1. Produksi (Lifting) dan Konsumsi Minyak Bumi

122

Grafik IV.2. Produksi Gas Bumi Nasional Tahun 1984-2004

174

Grafik V.1.

Perkembangan Omzet Ritel Modern Tahun

2004-2008 (Rp Triliun)

Grafik V.2.

Pertumbuhan Rata-Rata Tahunan Ritel Grosir

Modern Tahun 2009-2014

190

Grafik V.3.

Omzet Minimarket

191

Grafik V.4.

Omzet Hypermarket

191

Grafik V.5.

Omzet Supermarket

189

xviii

Indonesia Tahun 1981-2008 (000 barel)


Daftar Peta

112

Peta IV.1.

Potensi Cadangan Minyak Bumi Indonesia

xix



BAB I Reformasi dan Pelembagaan Kepentingan Asing dalam Perekonomian Indonesia: Perspektif Analisis

I.1. Krisis Ekonomi, Reformasi, dan “Kudeta Putih� Ketika rezim Orde Baru dapat diruntuhkan akibat hantaman krisis ekonomi yang disertai tekanan-tekanan politik dari dalam dan luar negeri, gegap gempita jargon perubahan seakan mewarnai langit Indonesia yang mendadak dilanda demam reformasi. Tidak pernah dibayangkan oleh kebanyakan orang bahwa gegap gempita reformasi itu justru menjadi “jembatan emas� bagi penetrasi dan perluasan kepentingan asing dalam ekonomi Indonesia. Amandemen terhadap Undang-Undang Dasar dan munculnya berbagai undang-undang serta peraturan pemerintah yang diwarnai semangat liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi dalam banyak hal telah memberikan jalan seluas-luasnya bagi kekuatan-kekuatan asing untuk lebih mendominasi ekonomi Indonesia. Sebagai contoh, Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1999 menyatakan pihak

1


Kudeta Putih

asing boleh menguasai 99 persen saham perbankan di Indonesia, yang menjadikan Indonesia sebagai negara paling liberal di sektor perbankan. Akibatnya, pada tahun 2011 kepemilikan asing pada 47 bank menguasai ekuivalen 50,6 persen dari total aset perbankan nasional yang mencapai Rp 3.065 triliun.1 Melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001, sektor minyak dan gas (migas) diliberalkan dengan memberikan perlakuan yang sama antara Pertamina sebagai perusahaan milik negara dan pihak swasta, termasuk swasta asing. Di samping itu, melalui undang-undang ini badan usaha (termasuk Pertamina) dilarang melakukan kegaiatan usaha di sektor hulu dan hilir sekaligus. Keanehan undangundang ini juga terlihat dari keberadaan Pertamina sebagai badan usaha milik negara (BUMN) yang diharuskan bersaing dengan perusahaan swasta, termasuk swasta asing, untuk mendapat tender mengelola migas milik negara sendiri. Undang-undang ini melarang Pertamina, artinya negara melarang dirinya sendiri, untuk mengeksplorasi dan sekaligus menjual migas di negaranya sendiri; mengharuskan negara mengelola migas melalui bukan badan usaha, mengharuskan BUMN Pertamina di pecah-pecah alias dikerdilkan oleh negara sendiri, dan seterusnya. Akibatnya, pihak asing bebas menguasai migas. Data Dirjen Migas (2010), Pertamina dan mitra hanya menguasai 16 persen dari produksi migas, sisanya dikuasai asing. Di bidang penanaman modal asing, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 atau Undang-Undang Penanaman Modal (UUPM). Di dalam undang-undang ini berlaku asas perlakuan yang sama antara inverstor domestik dan investor asing. Undang-undang yang diarahkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi para investor ini mempunyai sejumlah pasal yang justru meminggirkan kepentingan rakyat Indonesia, seperti hak asing atas kepemilikan tanah yang berjangka sangat panjang serta jaminan kebebasan untuk mengalihkan aset yang dimilikinya kepada pihak-pihak yang diinginkannya. Seperti diberitakan dalam liputan khusus majalah Gatra edisi 30 November 2011, paling tidak 25 persen dari undang-undang yang dibuat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ternyata bertentangan dengan konstitusi nasional, yakni UUD 1945. Namun, angka 25 persen ini dinilai sangat kecil dan mungkin tidak mencerminkan 1 Inilah Review, 19-25 Desember 2011.

2


Kudeta Putih

jumlah yang sesungguhnya. Belum lagi keputusan presiden, peraturan pemerintah, peraturan menteri, dan seterusnya. Seorang anggota Dewan bahkan membeberkan bahwa setidaknya ada 170 undang-undang sejak era reformasi yang dianggap antikonstitusi. Dengan kata lain sekitar 80 persen undang-undang yang ada proasing.2 Ini mengindikasikan produk perundang-undangan yang dihasilkan dibuat tanpa pertimbangan konstitusi, namun karena kepentingan yang tidak selalu sejalan dengan kepentingan bangsa atau rakyat sendiri.3 Singkat kata, transisi demokrasi di Indonesia telah melahirkan efek samping yang berbahaya, yakni terbukanya peluang untuk peningkatan dominasi asing dalam ekonomi Indonesia. Peluang yang benar-benar dimanfaatkan dengan optimal, yang membuat rakyat negeri ini terancam kedaulatan ekonominya dan dipaksa menjadi “penonton� di negerinya sendiri. Sudah pasti bahwa International Monetary Fund (IMF) menjadi aktor utama yang memaksakan liberalisasi ekonomi Indonesia, dengan memanfaatkan ketergantungan Indonesia pada bantuan IMF untuk mengatasi krisis dalam perekonomian. Cikal bakal liberalisasi yang ugal-ugalan di bidang perbankan tersebut, misalnya, dapat ditemukan dalam letter of intent (LoI) antara IMF dan pemerintah Indonesia. LoI tertanggal 10 April 1998, misalnya, menyebutkan, untuk mendukung program privatisasi secara penuh atas semua bank pemerintah, pemerintah akan mengajukan amandemen Undang-undang Perbankan pada akhir Juni 1998. Dalam rancangan amandemen ini, batas kepemilikan swasta akan dihapus sehingga pihak swasta dapat menguasai secara penuh bank pemerintah. Partner asing akan diminta untuk menarik investor swasta lainnya agar mau berpartisipasi dan jadwal bagi privatisasi ini akan dikonsultasikan dengan IMF dan Bank Dunia. Di bidang penanaman modal, liberalisasi memang telah berangsur-angsur dilakukan sejak awal masa Orde Baru. Meskipun demikian, liberalisasi investasi yang paling ekstrem justru dilakukan oleh pemerintah-pemerintah di era reformasi. Bila ditelusuri kaitannya dengan IMF, dalam LoI 29 Juli 1998, disebutkan pemerintah Indonesia membuat komitmen agar aturan-aturan investasi asing akan disederhanakan 2 3

Wawancara dengan seorang anggota DPR, April 2012. “Memainkan Pasal Jadi�, dalam Gatra, No. 3, Tahun XVIII (24-30 November 2011), hal. 13.

3


Kudeta Putih

dan dipermudah. Selain itu, pemerintah juga berkomitmen akan menghapus hambatan bagi investasi asing di sektor perdagangan grosir. Keterlibatan Bank Dunia dalam realisasi UUPM Nomor 25 Tahun 2007 dapat dilacak dalam dokumen program Development Policy Loan (Utang Kebijakan Pembangunan) yang biasa disingkat DPL

edisi ketiga tahun 2006. Besarnya nominal pinjaman yang dialokasikan untuk DPL ketiga adalah senilai 400 juta dolar. Dalam dokumen DPL tersebut, Bank Dunia menyebutkan perlu mengawal UUPM Nomor 25 Tahun 2007 agar dapat diterapkan dengan saksama di Indonesia. Privatisasi BUMN yang mewabah di era reformasi menjadi contoh pula betapa “titah” IMF berpengaruh besar terhadap kebijakan ekonomi Indonesia. Bahkan jauh lebih kuat dari ayat-ayat dalam konstitusi yang sama sekali tidak menjadi rujukan dalam banyak LoI yang dipaksakan IMF. Dalam LoI 13 November 1998 yang berfokus pada isu rencana privatisasi, pemerintah berencana melakukan privatisasi terhadap 150 BUMN selama satu dekade ke depan. Privatisasi ini akan menyentuh semua BUMN, mulai dari sektor telekomunikasi, listrik, energi, hingga perusahaan penerbangan nasional. Pemerintah telah membuat master plan bagi proses ini dan telah mempublikasikannya. Salah satu bentuk implementasi dari rencana ini adalah dibuatnya undang-undang telekomunikasi yang meliputi aturan mengenai kompetisi bebas di sektor ini.4 LoI 17 Mei 2000 menyebutkan, pemerintah akan memperbarui master plan bagi program privatisasinya untuk tahun 2000-2002. Privatisasi terhadap sejumlah BUMN yang bergerak di industri-industri yang kompetitif akan dipercepat oleh pemerintah. Di samping itu, pemerintah telah mempersiapkan privatisasi PT Telkom dan Indosat dengan merasionalisasikan kepemilikan atau penguasaan aset di beberapa perusahaan telekomunikasi lainnya dan menjual saham-saham mereka yang ada di sektor-sektor yang bukan bisnis inti. Pemerintah juga akan melakukan audit khusus dengan bantuan sebuah perusahaan internasional terhadap sejumlah BUMN dalam rangka program restrukturisasi dan privatisasi ini.5 Pemberian akses kepada kekayaan alam Indonesia, seperti tercermin dalam UU Migas dan UU Penanaman Modal, jelas merupakan “rasionalisasi” terhadap 4 5

4

The International Monetary Fund, “Indonesia-Supplementary Momorandum of Economic and Financial Policies”, The International Monetary Fund, Washington D.C., 13 November 1998. The International Monetary Fund, “Indonesia-Supplementary Momorandum of Economic and Financial Policies”, The International Monetary Fund, Washington D.C., 31 Juli 1998.


Kudeta Putih

masuknya kepentingan asing untuk mengeksploitasi bumi, air, dan pasar Indonesia untuk sebesar-besar kemakmuran mereka sendiri. Mereka tidak perlu melakukan hal itu secara kasar atau brutal seperti di masa kolonial, karena memang tersedia ruang yang luas untuk melegalkan (baca: melembagakan) pengerukan untung melalui undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, dan sebagainya, yang mereka sponsori dengan label-label semacam “reformasi birokrasi”, “perlakuan yang fair kepada seluruh pelaku usaha”, dan “iklim investasi yang terbuka”.

Namun bukan berarti cara-cara kasar dan bahkan “intimidasi” tidak pernah dilakukan. Sebuah foto yang mengusik rasa kebangsaan menyebar luas pada awal tahun 1998, ketika Michael Camdesus, Managing Director IMF, bersedekap dengan arogan di hadapan Presiden Soeharto, yang terlihat tidak berdaya, pada saat penandatanganan dokumen LoI Indonesia dengan IMF. Ketergantungan Indonesia pada dana bantuan (baca: utang) IMF bukan hanya telah menyebabkan tergadainya harga diri dan martabat bangsa ini, melainkan juga terenggutnya kedaulatan dalam pengambilan kebijakan ekonomi yang mestinya didasari nilai-nilai luhur dalam konstitusi dan amanat penderitaan rakyat. Dalam bahasa yang hiperbolik, langkah-langkah perencanaan, penentuan, dan pendiktean kebijakan oleh aneka kekuatan asing itu bisa disebut sebagai sebuah “kudeta putih” atau “kudeta konstitusional”, sebuah pengambilalihan hak dan wewenang mengeksploitasi bumi Indonesia dan seluruh penghuninya melalui caracara yang “sah secara hukum”, yaitu melalui pendiktean substansi kebijakan lewat aturan-aturan berkekuatan hukum yang dibuat oleh pemerintah ataupun parlemen. “Kudeta putih” secara legal-formal tidak menyalahi aturan dan perundangundangan. Akan tetapi, secara substansial keabsahannya mesti digugat dan terus dipertanyakan, mengingat misi kemerdekaan bangsa ini bukanlah melempangkan “jalan kembali” atau memfasilitasi kekuatan-kekuatan asing untuk kembali menjajah negeri ini secara “konstitusional” dan “elegan”. Seperti sering diungkapkan oleh para pendiri bangsa, kemerdekaan mestinya menjadi “jembatan emas” bagi peningkatan kemakmuran dan keadilan bagi bangsa ini sebagai tuan rumah yang berdaulat di negerinya sendiri.

5


Kudeta Putih

I.2 Kerangka Analisis II.2.1. Reformasi dan Musnahnya Kepercayaan Diri Bangsa Sistem demokrasi yang menyediakan semacam ruang terbuka bagi kompetisi di antara para aktor dengan kapital yang kuat telah mengundang aktor internasional untuk masuk. Masuknya aktor internasional ke dalam aktivitas penyusunan dan pengambilan kebijakan ini sebenarnya sudah terjadi bahkan pada masa awal Orde Baru. Hanya saja, pada era reformasi intervensi kebijakan itu berlangsung dengan “telanjang”, khususnya dengan keharusan Indonesia mengikuti arahan-arahan IMF melalui letter of intent dan berbagai sarana lain, seperti program-program reformasi kebijakan yang ditawarkan Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan sebagainya. Pada masa Orde Baru, kekuatan internasional terutama memainkan peranan penting melalui mekanisme pinjaman luar negeri yang diperlukan bagi Indonesia. Politik transaksional sebenarnya juga terjadi dalam hal ini, di mana komitmen bantuan luar negeri baik dari negara maupun dari lembaga keuangan internasional ditukar dengan komitmen pemerintah untuk mendorong sejumlah refomasi ekonomi dan liberalisasi di sejumlah sektor yang memungkinkan aktor-aktor bisnis swasta dari negara-negara maju masuk dan berinvestasi di Indonesia. Namun, keterlibatan aktor internasional dalam proses ini terlihat “elegan” karena melibatkan dorongan perubahan paradigma berpikir tentang tatanan ekonomi seperti apa yang perlu dibangun. Pelibatan gagasan ilmiah (scientific ideas) sebagai senjata penting untuk memberikan legitimasi ilmiah bagi perlunya perubahan (meskipun tetap menguntungkan kapital internasional) dilakukan terutama dengan menempatkan kekuatan-kekuatan teknokrat yang dianggap “bebas-nilai” dalam lingkaran pengambil kebijakan sehingga kebijakan yang dihasilkan akan terlihat objektif dan dapat diperdebatkan secara ilmiah.6 Pasca krisis 1997/1998, peran kekuatan internasional makin menguat, terutama dengan kondisi ekonomi yang memburuk dan hilangnya rasa percaya diri 6

6

Dalam bahasa Ichsanuddin Noorsy, para intelektual yang memberikan legitimasi ilmiah bagi kebijakan negara dikenal dengan istilah “pre-emptive persons”. Diantara mereka adalah apa yang kita kenal dengan sebutan ‘mafia berkeley’. Wawancara dengan Ichsanuddin Noorsy, bulan April 2012.


Kudeta Putih

hampir seluruh elemen bangsa. Segala hal yang berbau Orde Baru seperti dianggap menjijikkan. Sebaliknya, segala hal yang ditawarkan para “pejuang reformasi�, yang kebanyakan pro-asing, dianggap mulia. Dalam situasi kehilangan rasa percaya diri itu, resep-resep yang ditawarkan institusi keuangan internasional yang sebenarnya

mencerminkan kepentingan para pemodal di negara-negara maju dianggap sebagai semacam kebenaran mutlak. Kondisi Indonesia yang berada di bawah cengkeraman IMF dengan keharusan melaksanakan “liberalisasi radikal� ini sangat kontras bila dibandingkan dengan Malaysia di bawah Perdana Menteri Mahathir Mohamad yang dengan keras dan tegas menolak campur tangan IMF dalam penanganan krisis di negara itu.7 I.2.2. Lembaga dan Pelembagaan Aneka Kepentingan Menurut Douglas C. North, yang dimaksud dengan lembaga atau institusi adalah aturan-aturan main dalam sebuah masyarakat atau secara formal, kendalakendala yang dirancang manusia yang dapat membentuk perilaku mereka dalam interaksi sosial. Dengan demikian, institusi ini dapat menstrukturkan insentif dalam interaksi manusia, baik dalam interaksi politik, ekonomi, maupun sosial. Perubahan institusional membentuk cara masyarakat berkembang dari waktu ke waktu dan karenanya menjadi kunci dalam memahami perubahan sejarah.8 Dalam interaksi sosial, institusi memainkan peranan penting dalam mereduksi ketidakpastian dengan cara menstabilkan struktur relasi sosial antar-aktor. Menurut para penganut teori institusionalis, stabilisasi struktur sosial ini dapat terjadi karena institusi membentuk ekspektasi para aktor akan kemungkinan konsekuensi dari perilakunya. Dalam ranah politik, institusi juga memainkan peran penting dalam mempengaruhi kekuasaan kelompok-kelompok kepentingan yang saling bersaing. Paling tidak ada dua fungsi penting institusi terkait dengan kekuasaan ini. Pertama, institusi memberikan legitimasi bagi kekuasaan. Kekuasaan sebuah perusahaan asing untuk mengeksploitasi sumber daya alam di suatu negara akan menjadi sah jika ada undang-undang yang melegalkannya. Kedua, institusi membantu meregularisasi 7 8

Lihat Syamsul Hadi, Strategi Pembangunan Mahathir dan Soeharto: Politik Industialisasi dan Modal Jepang di Malaysia dan Indonesia, Jakarta: Pelangi Cendekia, 2005. Douglass C. North, Institutions, Institutional Change and Economic performance (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), hal. 3.

7


Kudeta Putih

dan menstabilkan hubungan kekuasaan dengan membatasi bentuk-bentuk tindakan tertentu yang dianggap mengganggu sistem. Keberadaan kontrak antara pemerintah dan PT Media Nusantara Citra Tbk (MNC), misalnya dapat menjamin tidak akan dilakukannya suatu nasionalisasi oleh pemerintah tanpa ada kompensasi yang sesuai.9 Ini pada akhirnya akan menciptakan kepastian dan kestabilan dalam usaha.

Salah satu institusi yang memainkan peran penting adalah institusi formal dalam bentuk aturan formal seperti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, ataupun peraturan daerah. Dalam tradisi intelektual public choice theory, institusi semacam ini dibentuk sebagai pilihan rasional untuk memaksimalkan kepentingan kolektif. Teori ini berpijak pada asumsi utilitarian bahwa setiap policy outcome (keputusan hukum termasuk di dalamnya) diciptakan untuk mencapai kepentingan dan kepentingan di sini adalah kepentingan bersama — hasil kompromi dari berbagai kepentingan kelompok-kelompok yang berkompetisi. Karenanya desain sebuah institusi pun dapat dipandang sebagai hasil optimum dari agregasi berbagai kepentingan tersebut.10 Mengapa institusi formal seperti aturan hukum ini menjadi begitu penting untuk dipengaruhi? Jawaban sederhananya adalah karena institusi formal ini menyediakan struktur bagi pola relasi sosial. Apa pun aktivitas yang dilakukan, baik individual maupun sosial, sangat dipengaruhi oleh institusi sosial yang dalam hal ini aturan hukum. Dengan kata lain, hukum mendeterminasi semua interaksi sosial dan politik dalam suatu masyarakat.11 Namun, di sisi lain, insitusi sosial, termasuk aturan hukum, juga merupakan produk politik di mana isi setiap produk hukum dan elemen institusi sosial tersebut akan sangat ditentukan oleh konfigurasi politik yang melingkupi kemunculannya.12 Dengan demikian, seperti diungkapkan para teoresi public choice, proses pembentukan institusi (pembuatan aturan hukum atau legislasi) akan selalu melibatkan proses transaksi politik.13 Dan proses transaksi politik ini sangat dimungkinkan oleh struktur institusional yang lebih besar, yakni sistem politik yang 9 Ibid., hal. 61. 10 Giulio M. Gallarotti, “Public Choice Theory” dalam R.J. Barry Jones (eds), Routledge Encyclopedia of International Political Economy, vol.3 (London and New York: Routledge, 2001), hal 1281-1286. 11 Mohammad Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia ( Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2006), hal. 8. 12 M. Kholid Syeirazi, Dibawah Bendera Asing: Liberalisasi Industri Migas di Indonesia ( Jakarta: LP3ES, 2009), hal. 11. 13 Gallarotti, “Public Choice Theory”, hal 1281.

8


Kudeta Putih

dianut sebuah negara, baik sistem demokratis maupun sistem otoritarianisme. Dalam sistem politik yang lebih otoritarian di mana kekuasaan berpusat secara formal pada satu kekuatan oligarki seperti yang terjadi di Indonesia pada era Orde Baru, politik transaksional akan lebih terlokalisasi dan terbatas yang memungkinkannya untuk

bisa lebih predictable.14 Dalam negara otoriter di mana kontrol terhadap kekuasaan tidak ada atau sangat minim, kemampuan penguasa untuk mengintervensi aturan main dan mengendalikan pasar sangat besar. Dengan demikian, dalam kondisi ini, kemungkinan untuk mengubah berbagai aturan dan kebijakan yang sedang berjalan sangat dimungkinkan tanpa melewati proses politik yang formal dan prosedural seperti halnya di negara demokratis. Dengan kata lain, fleksibilitas dan ruang manuver bagi pemilik modal untuk mengubah aturan main untuk kepentingan mereka sangat dimungkinkan.15 Di samping itu, transisi politik ke arah demokrasi juga membuat peranan institusi, terutama aturan hukum dan aturan main, menjadi semakin penting. Seperti disinggung di atas, demokrasi menyediakan ruang kompetisi yang bebas bagi siapa pun untuk terlibat dalam proses politik. Namun, justru karena kebebasan itulah aturan main menjadi semakin penting. Kebebasan yang tidak dibatasi oleh aturan main yang jelas dan norma yang disepakati bersama akan membuat tatanan sosial, politik, dan ekonomi menjadi kacau. Kompetisi yang seharusnya membawa ke arah kemajuan, kemungkinan akan berakhir dengan kekacauan. Karenanya demokrasi yang membawa pada kemajuan ekonomi mensyaratkan suatu institusi pengatur yang kuat yang memungkinkan praktik-praktik di luar aturan main dibatasi sedemikian rupa untuk menciptakan keteraturan dan kepastian. I.2.3. Dependensi dan Pelembagaan Kepentingan Asing Melalui Pintu Reformasi Pergeseran perkembangan dalam kajian ekonomi dari yang semata-mata fokus pada ekonomi makro atau ekonomi mikro ke kajian mengenai peranan institusi, terutama pasca krisis keuangan di Asia, juga mulai mengubah norma pengaturan ekonomi dunia dengan lebih mengedepankan peranan penting institusi dan aturan 14 Vedi R. Hadiz, Reorganizing Power in Indonesia: the Politics of Oligarchy in an Age of Markets (London: RoutledgeCurzon: 2004). 15 Andrew McIntyre, “Institutions and Investors: The Politics of the Economic Crisis in Southeast Asia�, International Organization, Vol. 55, No. 1, (Winter, 2001), pp. 81-122.

9


Kudeta Putih

main. James Wolfensohn, Presiden Bank Dunia, mengatakan perlu adanya ”Second Round of Reforms” yang terkait dengan struktur institusi yang tepat, perbaikan administratif, fungsi regulatoris, dan fungsi hukum negara yang mengatur mengenai insentif dan tindakan-tindakan yang diperlukan bagi pengembangan sektor swasta dan pengembangan kapasitas kelembagaan untuk mereformasi dirinya.16

Pandangan yang dikemukakan Douglass North sebagai pelopor instisusionalisme, dan James Wolfensohn sebagai Presiden Bank Dunia mengesankan bahwa institusi itu bersifat “netral, taken for granted dan universal”. Banyak orang, termasuk Thomas L. Friedman, menganggap pelembagaan nilai-nilai ekonomi seperti liberalisasi, pasar bebas, dan privatisasi sebagai “fenomena global” yang niscaya dan harus diikuti dalam dunia yang makin “datar”. Pandangan seperti ini bisa dibantah dengan fakta bahwa sebagai pelopor ekonomi liberal, termasuk pasar bebas, Amerika Serikat, menjadi negara pertama yang mengingkari prinsip pasar bebas dengan mengeluarkan kebijakan “Buy American Product” (Maret 2008) yang anti-pasar bebas pada saat negeri itu terserang krisis. Vedi R. Hadiz17 menyebut gerakan IMF, Bank Dunia, dan institusiinstitusi internasional terkait untuk memaksakan pelembagaan nilai-nilai ekonomi neoliberal kepada negara-negara berkembang sebagai praktik “neoinstitusionalisme”. Neoinstitusionalisme dapat didefinisikan sebagai sebuah aliran pemikiran pembangunan yang bermaksud menjelaskan sejarah, keberadaan, dan fungsi berbagai institusi/lembaga (pemerintah, hukum, pasar, dan sebagainya) berdasarkan asumsiasumsi teori ekonomi neoliberal. Tidak diragukan lagi pandangan ini banyak memiliki kesamaan dengan teori modernisasi gaya lama yang sangat bersandar pada rasionalitas, kemauan baik, serta kecerdasan elite teknokratis dan birokratis modern (yang berpendidikan Barat).18 Teori neoinstitusionalisme mengusung aliran neoliberal, yang disebut Joseph E. Stiglitz sebagai menerapkan prinsip “one size fits all”, yang berarti bahwa model ekonomi yang mereka tawarkan berlaku universal tanpa melihat situasi, kondisi, 16 Meredith Jung-En Woo, Neoliberalism and Institutional Reform in East Asia: A Comparative Study (New York: Palgrave Macmillan, 2007), hal. 2; Moses Naim, “Fads and Fashion in Economic Reforms: Washington Consensus or Washington Confusion?”, Foreign policy Magazine, October 26, 1999. 17 Vedi R. Hadiz, Demokrasi dan Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto, Jakarta: LP3ES, 2005. 18 Ibid., hal. 286.

10


Kudeta Putih

dan konteks sosial politik yang berbeda-beda.19 Pandangan yang arogan namun naif ini menghasilkan apa yang terjadi di Indonesia berupa kerusuhan-kerusuhan sosial di masa krisis, ketika IMF memaksakan program-program pengetatan anggaran pada saat rakyat tercekik oleh kenaikan harga dan stabilitas sosial sedang terancam. Stiglitz secara lugas menyalahkan kebijakan-kebijakan yang dipaksakan IMF sebagai penyebab instabilitas Indonesia di tahun 1998.20

Seperti dikemukakan terdahulu, “tragedi Indonesia� berupa liberalisasi radikal di masa krisis ini terutama terjadi karena perokonomian Indonesia yang kekeringan likuiditas karena krisis moneter dikendalikan oleh IMF yang jelas-jelas mewakili kepentingan kapital internasional dan negara-negara kapitalis maju. Dalam hal ini, Vedi R. Hadiz menekankan bahwa lembaga-lembaga seperti Bank Dunia dan IMF, dan para sekutu domestik mereka, merupakan bagian dari suatu “koalisi kekuasaan dan kepentingan global yang agendanya, misalnya, sering kali serupa dengan agenda kelompok-kelompok korporasi yang secara global paling aktif �.21 Tekanan IMF agar pemerintah Indonesia melakukan privatisasi sejumlah BUMN misalnya, jelas diarahkan untuk memberikan akses lebar bagi pemilik modal di dalam dan di luar negeri untuk mengambil alih penguasaan negara atas perusahaanperusahaan yang biasanya bersifat strategis, sambil memastikan bahwa pemerintah mendapatkan dana dari penjualan itu, dalam rangka memastikan pembayaran utang kepada IMF, lembaga-lembaga donor lain, dan pemerintah negara-negara maju yang berpiutang kepada Indonesia. Praktik semacam ini persis yang dilakukan IMF dan Bank Dunia saat terjadi krisis ekonomi di Amerika Latin pada tahun 1980-an. Salah satu akar terpenting dari semua kondisi ini adalah pola hubungan yang diwarnai ketergantungan atau dependensi (dependency) terhadap pendanaan dari negara-negara maju dan lembaga-lembaga finansial internasional. Dalam bahasa Dos Santos, dependensi atau ketergantungan adalah sebuah situasi yang dikondisikan di mana ekonomi sebuah negara atau sekelompok negara ditentukan oleh pembangunan dan perluasan (kepentingan) dari negara-negara lain.22 19 Lihat Joseph E. Stiglitz, Globalization and Its Discontents, New York: Penguin, 2001. , 20 Ibid. 21 Vedi R. Hadis, op. cit., hal. 188. 22 RG Berry Jones, Routledge Encyclopedia of International Political Economy, London & New York; Routledge, 2001, hal. 311.

11


Kudeta Putih

Meminjam ungkapan Dudley Seers (1981), ketergantungan ekonomi sebenarnya tidak dengan sendirinya menutup ruang bagi suatu negara untuk meningkatkan kemajuan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Yang harus dipastikan adalah terjaganya otonomi untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan

guna meletakkan fondasi ekonomi nasional yang tahan uji dan berjangka panjang. Dependensi atau ketergantungan pada utang atau modal asing harus diimbangi dengan kemampuan memperkokoh, memperdalam, dan mengintegrasikan struktur ekonomi dan industri bangsa ini.23 Tantangannya adalah bagaimana pola dependensi atau ketergantungan itu tidak berjalan selamanya, yang membuat kinerja pembangunan ekonomi bangsa menjadi sebatas “perpanjangan” aneka kepentingan ekonomi internasional. Artinya, kepentingan nasional di bidang ekonomi mestinya secara detail teridentifikasi dalam setiap kebijakan ekonomi yang dipilih, dengan memperhatikan keterkaitannya dengan perspektif daya tahan dan penguatan ekonomi bangsa dalam jangka panjang. Jika tidak, agenda aktor-aktor internasional yang bermain melalui aneka bentuk “insitusionalisasi kebijakan” itu sudah pasti akan kian mengakar di negeri ini, karena memang para elite bangsa ini – dengan sadar atau tidak sadar – terus menyediakan dirinya sebagai “subordinat” dari kekuatan-kekuatan internasional yang bersenjatakan piutang dan “resep kebijakan” yang kerap kontraproduktif dengan kepentingan bangsa dan rakyat jelata.

23 Lihat Syamsul Hadi, Strategi Pembangunan Mahathir dan Soeharto: Politik Industrialisasi dan Modal Jepang di Malaysia dan Indonesia, Jakarta: Pelangi Cendekia, 2005.

12


BAB II Jejak Kepentingan Asing dalam Undang-Undang Investasi di Indonesia

II.1. Sejarah Liberalisasi Investasi di Indonesia Dalam perspektif ketergantungan atau dependency, investasi asing atau penanaman modal asing (PMA) di Indonesia dapat dibaca sebagai kelanjutan investasi asing di masa kolonial yang ditekankan pada beberapa hal, yaitu (1) investasi untuk eksploitasi sumber daya dan pertanian, (2) investasi baru yang bertujuan untuk mendapatkan pasar lokal serta bahan baku dan pekerja murah sehingga menjadi lebih kompetitif pada pasar internasional. Ini merupakan kesinambungan dari masa lalu, ketika investasi dari satu negara ke negara lain dapat terjadi karena adanya praktik kolonialisme.1

1

Salmuddin Daeng, “Investment in Indonesia “Neocolonialism and Its Destruction to Peoples Economy� diakses dari http://www.networkideas.org/ideasact/dec09/pdf/Daeng_Salamuddin.pdf pada tanggal 31 Desember 2011 pkl. 10.00.

13


Kudeta Putih

Sejarah investasi di Indonesia dimulai pada era kolonial Belanda dari tahun 1870 hingga tahun 1941 dan diikuti oleh era kolonial Jepang pada periode 1942-1945. Setelah pembebasan dari pemerintahan Jepang, diikuti oleh era Orde Lama selama periode 1945-1965, era Orde Baru dalam periode 1966-1998, dan era Reformasi yang dimulai pada tahun 1998. Di bawah rezim Orde Lama, pemerintah memberikan sedikit perhatian terhadap pembangunan ekonomi. Pemerintah bergulat dengan transisi dari kolonialisme ke kemerdekaan dan juga menghadapi banyak tantangan politik dan militer domestik, serta praktis tidak ada investasi langsung asing baru. II.1.1. Regulasi Investasi Masa Orde Lama Pemerintah Orde Lama untuk pertama kalinya membuat rancangan undangundang penanaman modal asing (RUU PMA) pada tahun 1952 pada masa kabinet Ali Sastromidjojo I. Pada tahun 1958, pemerintah bersama-bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat mengeluarkan Undang-undang Penanaman Modal Asing Nomor 78 Tahun 1958. Beberapa pertimbangan dikeluarkannya undang-undang ini adalah 1) bahwa untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia serta memperbesar produksi nasional guna mempertinggi tingkatan penghidupan rakyat, sangat diperlukan modal; 2) bahwa modal yang didapat di Indonesia pada waktu ini belum mencukupi sehingga dianggap berfaedah menarik modal asing untuk ditanam di Indonesia; dan 3) bahwa perlu diadakan ketentuan-ketentuan yang jelas untuk memenuhi kebutuhan akan modal guna pembangunan nasional, di samping menghindarkan keragu-raguan pihak modal asing.2 Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa modal asing diperkenankan bekerja dalam lapangan produksi dengan pembatasan-pembatasan terhadap jenis perusahaan termaksud dalam Pasal 3 dan mengingat ketentuan termaksud dalam Pasal 4. Pasal 3 berisi: (1) Perusahaan-perusahaan; a. Kereta Api, b. Telekomunikasi, c. Pelayaran dan penerbangan dalam negeri, d. Pembangkitan tenaga listrik, e. Irigasi dan air minum, f. Pabrik mesiu dan senjata, g. 2

14

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 1958 Tentang Penanaman Modal Asing


Kudeta Putih

Pembangkit tenaga atom. h. Pertambangan bahan-bahan vital, tertutup bagi modal asing. (2) Ketentuan dalam ayat 1 tidak mengurangi hak Negara untuk menggunakan modal asing dalam bentuk pinjaman atau dengan perjanjian khusus. Pasal 4 berisi: 1) Perusahaan yang lazim dikerjakan oleh warga negara Indonesia tertutup untuk modal asing. (2) Jenis suatu perusahaan termaksud dalam ayat 1 ditetapkan oleh Dewan. (3) Bagi suatu perusahaan tertentu teritori atau daerah kerja bagi modal asing ditetapkan oleh Dewan. (4) Ketentuan dalam ayat 1 tidak mengurangi hak Dewan untuk menetapkan cara kerja sama dengan modal asing yang bertujuan meninggikan mutu dan menambah produksi dalam lapangan perusahaan tersebut. (5) Permintaan yang berbentuk kerja sama antara pengusaha dan modal asing dengan pengusaha dan modal nasional (Pemerintah maupun partikelir) akan diutamakan. Jelas bahwa undang-undang tersebut berupaya secara optimal untuk melindungi kepentingan ekonomi rakyat dan kepentingan strategis bangsa dari ancaman modal asing. Pada masa ini juga, pemerintah banyak melakukan nasionalisasi atas aset-aset dan perusahaan asing milik Belanda yang berlokasi di dalam terirorial Indonesia. Regulasi ini dikuatkan dengan adanya UU No. 86 dan LN 1958 No.162 sebagai dasar hukum untuk nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda yang ada di Indonesia di berbagai sektor, seperti keuangan, perdagangan, industri, pertambangan, dan pertanian. Pada tahun 1960 diadakan peninjauan terhadap Undang-undang No. 78 Tahun 1958, dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 15 Prp Tahun 1960. Sebagai informasi bahwa Undang-undang No. 78 Tahun 1958 tentang Penanaman Modal Asing terbentuk dalam masa Kabinet Karya dan tersusun menurut UndangUndang Dasar 1950 di mana dengan sendirinya terdapat penyebutan jabatanjabatan, hubungan-hubungan, serta pertanggungjawaban yang telah disesuaikan dengan suasana pada waktu itu. Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal

15


Kudeta Putih

5 Juli 1959 tentang kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945, yang kemudian disusul dengan pembubaran Kabinet Karya, maka Kabinet Karya diganti dengan Kabinet Kerja sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 di mana susunannya dan pertanggungjawabannya berlainan pula. Dengan peraturan pemerintah pengganti

undang-undang ini, Dewan Penanaman Modal Asing menerima petunjuk-petunjuk dari Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Hal ini berbeda dari Undangundang No. 78 Tahun 1958, di mana Dewan Penanaman Modal Asing bertanggung jawab kepada Dewan Menteri.3 Undang-undang PMA ini pada tahun 1965 diubah menjadi Undangundang No. 16 Tahun 1965. Pergantian ini didasarkan atas pertimbangan 1) bahwa penanaman modal asing di Indonesia, yang bagaimanapun juga adalah bersifat menarik keuntungan sebanyak-banyaknya dan dengan demikian menjalankan terusmenerus pengisapan atas rakyat Indonesia, serta menghambat jalannya Revolusi Indonesia dalam menyelesaikan tahap nasional demokratis untuk mewujudkan Sosialisme Indonesia berdasarkan Pancasila; 2) bahwa oleh karena itu Undangundang No. 78 Tahun 1958 tentang Penanaman Modal Asing yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 15 Prp Tahun 1960, harus dicabut; 3) bahwa untuk melaksanakan prinsip berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi dan prinsip Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk membangun ekonomi nasional yang bersih dari sisa-sisa imperialisme dan feodalisme, harus dikikis habis penanaman/ operasi modal asing di Indonesia, sehingga dapat memperbesar produksi nasional guna mempertinggi tingkat penghidupan rakyat Indonesia; dan 4) bahwa dengan dihentikannya penanaman operasi modal asing di Indonesia perlu ada pengaturan pelaksanaan dari Pasal 10 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. VI/ MPRS/1965 dan kerja sama ekonomi dengan luar negeri, terutama negara-negara New Emerging Forces (Nefo).4 Jelas sekali watak revolusioner dan “antimodal asing� yang tercermin dari Undang-undang No. 16 Tahun 1965, yang mencerminkan betapa kental pengaruh 3 4

16

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1960 Tentang Perubahan UndangUndang No. 78 Tahun 1958 Tentang Penanaman Modal Asing. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1965 Tentang Pencabutan Undang-Undang No. 78 Tahun 1958 Tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran-Negara Tahun 1958, No. 138) Yang Telah Diubah Dan Ditambah Dengan Undang-Undang No. 15 PRP Tahun 1960 (Lembaran-Negara Tahun 1960 No. 42)


Kudeta Putih

Soekarno sebagai Presiden RI pada saat itu, sejak diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Soekarno yang berupaya memainkan “politik penyeimbangan” antara tentara (Angkatan Darat) yang konservatif di satu sisi dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang “revolusioner” pada sisi lain, akhirnya terjebak pada situasi yang sulit, khususnya sejak peristiwa berdarah pada akhir September 1965, yang kemudian dimanfaatkan secara baik oleh Soeharto dan Angkatan Darat untuk mengambil alih kekuasaan dari Soekarno. II.1.2. Regulasi Investasi Masa Orde Baru Memasuki era Orde Baru, terjadi perubahan signifikan terhadap regulasi investasi di Indonesia. Di bawah Soeharto, Indonesia mulai gencar menarik investasi asing dalam bentuk PMA. Pemerintah Orde Baru menerapkan kebijakan yang lebih berorientasi pada ekonomi pasar. Pemerintah melihat bahwa PMA merupakan media penting bagi transformasi sumber daya yang melimpah di Indonesia untuk meningkatkan pembangunan ekonomi. PMA diperlukan untuk membawa modal, inovasi teknologi, dan keterampilan yang dibutuhkan negara.5 Meski lebih liberal, masuknya PMA di era Orde Baru tetap dibatasi oleh negara yang masih memainkan peran aktif dalam meregulasi modal asing di Indonesia melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang berperan sebagai lembaga pengatur dan pemantau PMA yang masuk ke Indonesia. Namun dalam praktiknya BKPM bukanlah satu-satu instansi pemerintah yang berwenang dan mengatur investasi asing. Bagi perusahaan manufaktur besar, perizinan juga harus didapatkan melalui Departemen Tenaga Kerja, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Kantor Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Bank Indonesia, kantor pajak, kantor dinas tata kota serta tingkat pemerintahan yang lebih rendah.6 Liberaliasi di tahun 1967 dapat dilihat dari Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing pada Pasal 6 Ayat (1) termuat ketentuan: “Bidang5 6

Abdul Khaliq dan Ilan Noy, “Foreign Direct Investment and Economic Growth: Empirical Evidence from Sectoral Data in Indonesia”, diakses dari http://www.economics.hawaii.edu/research/workingpapers/WP_0726.pdf, pada tanggal 30 Desember 2011 pkl. 20.00 Mutiara Arumsari, Dinamika Hubungan Negara-Multinational Corporation (MNC): Studi Kasus Konflik Indonesia-Karaha Bodas Company (KBC) dalam Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Karaha Bodas (1998-2007), (Depok: Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP UI), hal. 52.

17


Kudeta Putih

bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal asing secara pengusahaan penuh ialah bidang-bidang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak sebagai berikut: a. pelabuhan-pelabuhan; b. produksi, transmisi, dan distribusi tenaga listrik untuk umum; c. telekomunikasi; d. pelayaran; e. penerbangan; f. air minum; g. kereta api umum; h. pembangkitan tenaga atom; i. mass media”. Walupun sektorsektor tersebut dinyatakan sebagai sektor strategis dan penting dan dikuasai oleh negara, di sisi lain Undang-undang No. 1 Tahun 1967 juga mencantumkan ketentuan bahwa asing boleh memiliki saham hanya sampai 5 %. Dengan demikian terlihat bahwa undang-undang ini telah membuka peluang keterlibatan asing pada sektorsektor strategis negara, meskipun masih dalam porsi yang amat terbatas.7 Liberalisasi sektor strategis ini kemudian berlanjut dengan diterbitkannya Undang-undang No. 6 Tahun 1968. Dalam Pasal 3 Ayat (1) tercantum ketentuan bahwa “Perusahaan nasional adalah perusahaan yang sekurang-kurangnya 51 % daripada modal dalam negeri yang ditanam di dalamnya dimiliki oleh negara dan/atau swasta nasional”. Dengan ketentuan ini sangat jelas bahwa kepemilikan asing mulai bertambah menjadi 49 %.8

Pada tahun 1985 BKPM selaku badan yang mengatur aliran PMA melakukan beberapa perubahan kebijakan menyangkut investasi, di antaranya adalah jangka waktu perserujuan investasi oleh BKPM dari 12 minggu menjadi 6 minggu. Selanjutnya pada tahun 1986 pemerintah melakukan perubahan secara mendasar pada UU PMA 1967 yaitu menyangkut perpanjangan izin perusahaan-perusahaan asing selama 30 tahun dan penghapusan persyaratan investasi sebesar US$ 1 juta pada beberapa kegiatan seperti konsultasi dan lain-lain.9 Pada masa ini inisiatif kebijakan investasi dikembangkan, karena dipandang mampu mendorong ekspor non-migas yang kemudian dikenal dengan Paket 6 Mei 1986 yang memiliki beberapa poin penting, yaitu (1) mendorong usaha yang sekurang-kurangnya 85 % outputnya diekspor, (2) memberikan fasilitas pinjaman dana bank apabila sekurang-kurangnya 75 % modal saham (equity) dimiliki oleh orang Indonesia, bila sekurang-kurangnya 51 % sahamnya ditawarkan di Bursa Efek Jakarta 7 8 9

18

Marwan Batubara, “Memanfaatkan Sumber Daya Alam untuk Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat”, diakses dari http://satunegeri.com/berita-86-memanfaatkan-sumber-daya-alam-untuk-sebesarbesarnyakemakmuran-rakyat.html, pada tanggal 12 Desember 2011 pkl.11.00 Ibid. Hal Hill, Ekonomi Indonesia: Edisi Kedua, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 102


Kudeta Putih

(BEJ), dan bila sekurang-kurangnya 51 % saham dimiliki oleh orang Indonesia dan sekurang-kurangnya 51 % dari saham yang ditawarkan 20 % di antaranya ditawarkan di BEJ.10 Di samping itu, untuk memberikan perlindungan hukum bagi investor asing,

pemerintah telah menyepakati Investment Guarantee Agreement (IGA) dengan 61 negara. Indonesia juga telah menandatangani secara bilateral the Investment Promotion and Protection Agreements dengan 55 negara dan, untuk menghindari pajak ganda insidental, perjanjian pajak dengan 50 negara. Selain itu, pemerintah telah berpartisipasi dan menandatangani kesepakatan Convention on the Settlement of Investment Disputes pada tahun 1970 dan bergabung dengan the Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) pada tahun 1986.11 Pada bulan Mei 1990 pemerintah Orde Baru mengubah kembali regulasi PMA melalui peraturan pemerintah dengan memperkecil investasi minimum yang dapat ditanamkan oleh investor asing di berbagai sektor dari US$ 1 juta menjadi US$ 250 ribu. Regulasi ini juga membuka kesempatan yang lebih luas kepada investor asing untuk berinvestasi di sektor-sektor yang sebelumnya tertutup bagi campur tangan asing, seperti telekomunikasi, perkapalan, industri penerbangan, jalur kereta api, dan media massa. Pada tahun 1993 pemerintah kembali memberikan insentif guna menarik aliran PMA yang lebih besar lagi ke dalam negeri melalui Paket Deregulasi 1993 (PAKTO 1993) yang isinya memudahkan investor asing menanamkan modal di Indonesia.12

Selanjutnya, pada tahun 1994 pemerintah menerbitkan PP No. 20/1994, di mana dalam Pasal 5 ayat (1) termuat ketentuan: “Perusahaan yang didirikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a dapat melakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, yaitu pelabuhan, produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api umum, pembangkitan tenaga atom, dan mass media”. Pasal 6 ayat (1) PP No. 20/1994 memuat ketentuan: “Saham peserta 10 Sarwedi, “Investasi Asing Langsung Di Indonesia dan Faktor yang Mempengaruhinya”, diakses dari puslit. petra.ac.id/journals/pdf.php?PublishedID=AKU02040102, pada tanggal 18 Januari 2012, pkl.10.00 11 Ibid. 12 Harvey Goldstein, “Doing Business in Indonesia,” dalam Richard Mann (ed.), United StatesInvestment in Indonesia, (Toronto: Gateway Books, 1994), hal 131

19


Kudeta Putih

Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a sekurang-kurangnya 5 % dari seluruh modal disetor perusahaan pada waktu pendirian”. Sehingga, dalam hal ini asing sudah boleh memiliki saham mencapai 95 %.13 Dari evolusi kebijakan pemerintah seperti ini dapat dilihat bahwa liberalisasi investasi, termasuk di sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak, dilakukan secara bertahap. II.1.3. Regulasi Investasi Masa Reformasi Pemerintah era reformasi melakukan liberalisasi di sektor investasi secara lebih radikal, termasuk di sektor perbankan, di mana pada tahun 1999 pemerintah mengeluarkan aturan yang mengizinkan pemilikan 99 % saham perbankan oleh pihak asing. Liberalisasi di sektor-sektor lain, termasuk di sektor ritel, juga membuka luas masuknya pihak asing untuk berinvestasi di Indonesia. Selanjutnya secara programatis pada tahun 2004 pemerintah membentuk kebijakan reformasi inisiatif investasi, yang bertujuan untuk memberikan dorongan dan fasilitasi terhadap swasta yang melakukan investasi, serta penerapan kebijakan yang sama untuk investor asing dan domestik. Investor diizinkan untuk berinvestasi di sektor ekonomi kecuali dalam kegiatan yang tercantum pada “negatif list”. Tidak ada pembatasan yang secara jelas diterapkan pada ukuran investasi, sumber dana atau apakah produk yang dihasilkan ditujukan untuk ekspor atau untuk pasar domestik.14 Liberalisasi yang paling radikal dalam regulasi di bidang investasi terjadi pada tahun 2007 dan 2009. Undang-undang No. 25 Tahun 200715 tentang Penanaman Modal (UUPM) menggantikan Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tahun 1968 dan Undang-undang PMA Tahun 1967. Undang-undang baru ini memiliki tujuan utama merivisi undang-undang sebelumnya yang dinilai banyak kelemahan oleh investor asing, seperti ketidakpastian hukum, kesulitan dalam melakukan negosiasi dan kontrak, serta adanya perlakuan yang tidak sama 13 Marwan Batubara, Log.Cit. 14 Tulus Tambunan, “Trade And Investment Liberalization Effects on Sme Development : A Literature Review And Case Study Of Indonesia”, diakses dari http://www.unescap.org/tid/artnet/pub/tipub2469_chap5. pdf pada tanggal24, pada tanggal 19 Januari 2012, pkl.12.45. 15 Indonesia Norway Business Council, “Doing Business in Indonesia: A Norwegian Perspective”, Februari 2011, diakses dari www.norway.or.id/PageFiles/364383/DOING_BUSINESS_IN_INDONESIA., pada tanggal 25 Januari 2012, pkl. 16.30

20


Kudeta Putih

antara perusahaan asing dan domestik. Sebelum lahirnya Undang-undang No. 25 Tahun 2007, investasi asing dan domestik dibedakan di hadapan hukum. Undangundang baru ini juga menyederhanakan regulasi investasi dan menyamaratakan ketentuan hukum baik untuk investor asing maupun domestik, kecuali investor

yang berasal dari negara-negara yang memiliki perlakuan khusus sesuai dengan kesepakatan yang dibuat negara-negara tersebut dengan Indonesia. Regulasi ini juga melindungi investasi asing dari nasionalisasi dan pengambilalihan, serta memandatkan hak untuk investor asing guna mencari keadilan lewat Pengadilan Arbitrase Internasional dalam kasus sengketa dengan pemerintah Indonesia. Pada tahun 2009 liberalisasi di bidang investasi dilakukan lebih lanjut, khususnya di sektor pertambangan, di mana pembatasan untuk kepemilikan asing dihilangkan dan untuk sektor listrik dimungkinkan adanya investasi baru dalam bidang infrastruktur. Bersamaan dengan liberalisasi yang dijalankan tersebut, tren jumlah perusahaan milik negara yang beroperasi di Indonesia mengalami penurunan.16 Liberalisasi di bidang investasi ini juga berlanjut dengan dikeluarkannya undang-undang tentang pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) pada tahun 2009. Pemerintah juga mendorong pembangunan zona ekonomi berbasis pada strategi promosi investasi, peningkatan promosi ekspor, serta kawasan berikat dan kawasan industri. Zona berbasis promosi investasi ditujukan bagi promosi investasi di seluruh Indonesia dalam waktu singkat. Undang-undang Kawasan Ekonomi Khusus yang diadopsi pada tahun 2009 bertujuan untuk memberikan kerangka hukum dan kelembagaan dalam mengembangkan zona ekonomi yang lebih komprehensif yang diharapkan menjadi lokomotif untuk pembangunan ekonomi di daerah yang ditargetkan.17 KEK merupakan salah satu bagian dari kegiatan mendorong penanaman modal di Indonesia seperti yang tercantum dalam Undang-undang No. 25 Tahun 2007, Pasal 31. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa KEK dibentuk untuk mempercepat pengembangan ekonomi di wilayah tertentu yang bersifat strategis 16 Tim Wilson, “Innovating Indonesian Investment Regulation: The need for further reform”, Institute of Public Affairs, Australia, Mei 2011, hal. 7. 17 Misuzu Otsuka, dkk., “Improving Indonesia’s Investment Climate”, dalam OECD Investment Insights, Februari 2011.

21


Kudeta Putih

bagi pengembangan ekonomi nasional dan untuk menjaga keseimbangan kemajuan suatu daerah. Pembentukan KEK merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan ekspor dan investasi dengan menggunakan berbagai kebijakan seperti kebijakan di bidang perpajakan, kepabeanan, infrastruktur, perizinan, keimigrasian, dan ketenagakerjaan.

Tabel di bawah ini menggambarkan kronologi liberalisasi PMA di Indonesia dari tahun 1986-2010: Tabel II.1 Kronologi Liberalisasi PMA di Indonesia 1986

Relaksasi pembatasan kepemilikan asing untuk perusahaan yang berorientasi ekspor Beberapa sektor yang sebelumnya tertutup bagi PMA dibuka, termasuk perdagangan ritel

1987 1988

Investor asing diperbolehkan di bursa saham

16 tahun larangan pada masuknya bank asing baru dihapus Joint ventures diperbolehkan untuk mendistribusikan produk asing secara lokal

1989

Ratusan industri yang tidak termasuk dalam daftar negatif dibuka untuk investasi asing sesuai dengan peraturan Orang asing diizinkan membeli 49 % dari saham perusahaan yang terdaftar

1994

Persyaratan modal minimum untuk investasi asing dihapus Sembilan sektor strategis dibuka untuk 95 % kepemilikan asing Kepemilikan asing diizinkan di seluruh Indonesia ditingkatkan dari 80 % hingga 100 % persyaratan kemitraan domestik lebih mudah

1995

22

Sepuluh sektor dihapus dari daftar negatif, termasuk kendaraan bermotor


Kudeta Putih

1997 1998 1999

Keputusan Presiden menghilangkan 49 % foreign equity limited pada saham yang tercatat dibeli Kepemilikan asing dalam perbankan diperbolehkan penuh

BKPM tidak lagi memerlukan tanda tangan Presiden untuk persetujuan Program konten lokal untuk kendaraan bermotor dihapus Kendali kepemilikan asing pada perusahaan diperbolehkan, termasuk melalui akuisisi

2007

2009

2010

Beberapa sektor dibuka lebih lanjut untuk PMA, termasuk ritel, general importing, perkebunan kelapa sawit, penyiaran, dan operasi minyak hilir

Undang-undang Investasi tidak jauh dengan persyaratan divestasi umum Daftar negatif baru membuka beberapa sektor untuk partisipasi asing yang lebih besar Hukum pertambangan memungkinkan konsesi kepemilikan asing Hukum listrik memungkinkan operator swasta di daerah tidak dilayani oleh PLN

Daftar negatif baru membuka beberapa sektor untuk partisipasi asing yang lebih besar

Sumber : Tim Wilson, Mei 2011 diolah kembali oleh tim peneliti

II.2. Peran Aktor Internasional Dalam Liberalisasi Investasi di Indonesia II.2.1. Aktor Internasional Dalam Liberalisasi Investasi di Tingkat Global Sejak tahun 1980-an pemikiran pembangunan di antara lembaga-lembaga bantuan multilateral, khususnya Bank Dunia dan bank pembangunan regional, termasuk di dalamnya Bank Pembangunan Asia/Asian Development Bank (ADB), menekankan pada pergeseran peran sentral negara ke pentingnya sektor swasta untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pentingnya pengembangan sektor swasta didasarkan pada pertimbangan bahwa kekuatan pasar dan mekanisme persaingan akan menyebabkan ekonomi bekerja secara lebih efisien, lebih produktif, dan lebih kondusif. Privatisasi BUMN dipandang perlu untuk memperkuat kekuatan pasar, meningkatkan

23


Kudeta Putih

persaingan dan memfokuskan kembali pada peran swasta menjadi slogan baru di antara rekomendasi kebijakan yang ditawarkan oleh lembaga bantuan multilateral.18 Mengikuti jejak lembaga bantuan multilateral, sejumlah lembaga donor bantuan bilateral juga tertarik pada model pengembangan sektor swasta. Akibatnya, mereka mengadopsi program bantuan baru yang bertujuan memperkuat sektor swasta negara penerima, dan memperkuat program-program pengembangan sektor swasta yang ada, atau mendesain ulang program bantuan mereka yang terkait dengan pengembangan sektor swasta, yang sebelumnya diklasifikasikan di bawah kategori yang berbeda. Bahkan, program pengembangan sektor swasta dari beberapa negara donor individu memiliki fokus lebih kuat pada pengembangan sektor swasta di negaranegara berkembang penerima bantuan, sedangkan lembaga bantuan multilateral lebih terfokus pada reformasi struktural.19

Di sisi lain, dalam sistem liberalisasi perdagangan di WTO tidak pernah ada kesepakatan multilateral yang komprehensif mengenai investasi asing. Dari perspektif perjanjian investasi WTO, terdapat hubungan yang erat antara investasi asing dan perdagangan. Perdagangan di antara perusahaan transnasional menyumbang sekitar sepertiga dari perdagangan dunia. Ada peningkatan pengakuan bahwa perdagangan dan PMA adalah dua hal yang komplementer.20 Beberapa prinsip dalam WTO yang berkaitan langsung dengan investasi, di antaranya:21 Most Favored Nation (MFN),22 Perlakuan Nasional atau National Treatment,23 dan Transparansi.24 Lain halnya dengan ADB yang merupakan lembaga keuangan regional. ADB berperan dalam memberikan bantuan substansial untuk Developing Member 18 THEE Kian Wie, “Policies for Private Sector Development in Indonesia”, ADB Institute Discussion Paper No. 46, Maret 2006, hal 2 19 Ibid. 20 Jürgen Kurtz, “A General Investment Agreement in the WTO? Lessons from Chapter 11 of NAFTA and the OECD Multilateral Agreement on Investment”, Jean Monnet Working Paper 6/02, New York University School of Law. 21 Indonesia Norway Business Council, Loc.Cit. 22 MFN adalah perlakukan yang sama untuk semua mitra dagang. Prinsip dasarnya mengatur agar negaranegara anggota tidak semena-mena mendiskriminaskan mitra-mitra dagangnya. Misalnya, tarif impor yang diberlakukan pada suatu produk suatu negara harus juga diberikan kepada produk impor dari mitra dagang negara anggota lainnya 23 Kewajiban negara anggota untuk memberikan perlakuan yang sama atas barang- barang impor dan lokal, paling tidak setelah barang impor memasuki pasar domestik. 24 Negara anggota diwajibkan untuk bersikap terbuka atau transparan terhadap berbagai kebijakan perdagangannya sehingga memudahkan para pelaku usaha untuk melakukan kegiatan perdagangan.

24


Kudeta Putih

Countries (DMC) untuk katalisasi investasi, terutama melalui pembiayaan langsung, peningkatan kredit, dan instrumen mitigasi risiko melalui operasi sektor swasta. Inisiatif ADB berada di bawah Private Sector Operations (PSO) dilengkapi dengan upaya regional dalam bentuk kerja sama regional dan strategi integrasi. Strategi ini diadopsi pada bulan Juli 2006 dan melibatkan empat pilar yang saling terkait, di antaranya:25 a) infrastruktur lintas-perbatasan dan perangkat lunak yang terkait; b) perdagangan dan kerja sama investasi dan integrasi; c) kerja sama integrasi moneter; dan d) kerja sama dalam barang publik regional. Sejumlah kegiatan yang diikuti di bawah empat pilar akan berdampak pada iklim investasi DMC secara individual serta regional secara keseluruhan. Kegiatan utama ADB berupa program-program dan proyek dengan tujuan mereformasi regulasi ekonomi. Bentuk program dari kegitan ini tertuang dalam dokumen Private Sector Development Strategy and Private Sector Operations yang dikeluarkan ADB, yang tujuannya menciptakan konsolidasi dan menyebarkan pengetahuan dan informasi tentang iklim investasi regional. Sebagai bagian dari tujuan manajemen pengetahuan, ADB menghasilkan berbagai produk pengetahuan yang mendukung perumusan kebijakan ekonomi dan dialog mengenai katalisator investasi. II.2.2. UU No. 25 Tahun 2007: Dominasi Asing yang Semakin Menguat Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah pasca Soeharto untuk menarik penanam modal, khususnya penanam modal asing untuk meningkatkan investasi di Indonesia, dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi. Salah satu strategi yang dilakukan adalah dengan menyediakan peraturan perundang-undangan yang lebih berpihak dan memberikan keuntungan besar bagi penanam modal asing. Banyaknya penanam modal yang memindahkan modal mereka dari Indonesia pada masa krisis, menjadi alasan utama bagi pemeritah untuk melakukan perubahan terhadap undangundang penanaman modal. 25 Jayant Menon, “Regional Efforts to Create an Attractive Investment Climate�, dalam makalah yang disampaikan dalam Creating an Attractive Investment Climate in Southeast Asia 2nd OECD-Southeast Asia Regional Forum, “Enhancing Competitiveness through Regional Integration�, 27-28 April 2009, BangkokThailand.

25


Kudeta Putih

Lahirnya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal ini melikuidasi dua undang-undang penanaman modal sebelumnya, yaitu Undangundang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undangundang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Undang-undang ini menetapkan landasan yang sama bagi aktivitas penanaman modal dari luar dan dari dalam negeri.26 Undang-undang ini juga memberikan kewenangan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) terkait dengan implementasi dan proposal kebijakan investasi untuk mempercepat persetujuan investasi dan menghadirkan konsultasi untuk investor yang hendak menanamkan modal. Hal lainnya yang juga dibahas adalah pemberian insentif pajak yang harus dipenuhi dengan beberapa kriteria tertentu. Insentif yang ditawarkan oleh Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007, di antaranya pengecualian atau pengurangan atas pajak pendapatan, pajak impor, atau pajak pertambahan nilai (PPN), serta engecalian atau pengurangan atas pajak tanah dan bangunan.

Undang-undang Penananaman Modal (UUPM) menimbulkan banyak penentangan di masyarakat karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Sebagian besar pasal dalam undang-undang tersebut dinilai sangat berpihak pada kepentingan pemodal asing, seperti pasal-pasal yang terkait dengan 1) sektor strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak dapat dikuasai secara mayoritas oleh modal asing; 2) pemberian berbagai macam hak istimewa kepada pihak asing melalui perjanjian dengan negara; 3) kemudahan memperoleh hak menguasai atas tanah dalam jangka waktu yang lebih panjang; 4) kemudahan melakukan repartiasi dan kebebasan mentransfer keuntungan; dan 5) pembebasan bea masuk impor barang modal. Dukungan terhadap modal asing tersebut sangat berpotensi merugikan masyarakat Indonesia, pelaku usaha nasional, dan pemerintah Indonesia sendiri.27 Terkait dengan hal tersebut di atas, sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengajukan peninjauan kembali undang-undang ini ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Perkara Nomor 21/PUU-V/2007. Beberapa ketentuan dalam UUPM yang didalilkan bertentangan dengan UUD 1945 adalah:28 26 Salamuddin Daeng, “Perluasan Dominasi Modal asing di Indonesia’ dalam Global Justice Update Tahun 6 Edisi 1 Mei 2008, hal.13 27 Salamuddin Daeng, “Perluasan Dominasi Modal asing di Indonesia�, Log.Cit. 28 Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi RI 2008, Menegakkan Kembali Keadilan Substantif, Maret 2009.

26


Kudeta Putih

1. Pasal 1 ayat (1) mengenai pengertian penanaman modal. 2. Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf d mengenai “asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara�. 3. Pasal 4 ayat (2) huruf a mengenai perlakuan sama bagi bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. 4. Pasal 8 ayat (1) dan ayat (3) mengenai pengalihan aset penanam modal; dan hak penanam modal untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing. 5. Pasal 12 ayat (1) dan ayat (3) mengenai bidang/jenis usaha yang terbuka bagi kegiatan penanaman modal; dan penetapan oleh pemerintah berkaitan dengan bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri. 6. Pasal 21 mengenai kemudahan pelayanan dan / atau perizinan yang diberikan pemerintah kepada perusahaan penanaman modal. 7. Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) mengenai perpanjangan atau pembaruan perizinan hak atas tanah; dan syarat pemberian dan perpanjangan hak atas tanah. Pada tanggal 25 Maret 2008 Mahkamah Konstitusi membacakan putusan atas

gugatan terhadap Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007. Dari keseluruhan gugatan, hanya Pasal 22 (tentang insentif hak penguasaan tanah/HGU, HGB dan hak pakai) yang dianulir. Selebihnya, majelis hakim menganggap tetap konstitusional.29 Putusan MK yang membatalkan Pasal 22 UUPM yang memberikan kepada pengusaha/penanam modal untuk memperoleh hak penguasaan tanah melalui perpanjangan penguasaan tanah (HGU selama 95 tahun, HGB selama 80 tahun, dan HPL selama 70 tahun) di muka sekaligus dan sekaligus di muka, hanyalah pembatalan pasal yang menyangkut tata cara pengusaha melakukan perpanjangan penguasaan tanah, sementara substansinya adalah bahwa hak penguasaan tanah oleh pengusaha 29 “Pernyataan Sikap Gerak Lawan Atas Putusan Judicial Review UU Penanaman Modal�, dalam Global Justice Update Tahun 6 Edisi 1 Mei 2008, hal. 17

27


Kudeta Putih

dapat diperoleh dalam jangka waktu yang sangat lama sesuai dengan kebutuhan pengusaha.30 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 menggambarkan kebijakan yang reseptif terhadap investor asing di mana untuk meningkatkan daya saing Indonesia

adalah dengan membuka seluas-luasnya pintu investasi berdasarkan prinsip equal treatment. Perlakuan yang sama antara investor asing dan investor dalam negeri mengakibatkan modal asing yang melakukan investasi di Indonesia memiliki hak yang sama dengan pemodal dalam negeri. Penetapan UUPM yang merupakan tindakan negara berdaulat justru telah mengurangi kedaulatannya sendiri dengan mengikatkan dirinya pada komitmen national-treatment dan non-discrimination (prinsip-prinsip WTO) dalam bidang investasi, termasuk di bidang yang menyangkut pengelolaan sumber daya alam dan cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pelimpahan wewenang untuk mengatur kriteria bidang usaha tertutup dan terbuka kepada presiden, menunjukkan bahwa penguasaan negara yang diperintahkan UUD 1945 telah diliberalisasi secara besar-besaran dan menyimpang dari amanat konstitusi.31 II.2.3. Implementasi Kaidah World Trade Organization (WTO) dalam UU Penanaman Modal di Indonesia Indonesia meratifikasi Perjanjian Pembentukan WTO pada tanggal 2 November tahun 1994 melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Indonesia tidak hanya telah meliberalisasi sistem perdagangan, tetapi juga mengambil sejumlah langkah penting untuk mengurangi proteksi. Pemerintah tidak hanya telah menciptakan sebuah lingkungan yang umumnya mendukung liberalisasi perdagangan seperti menurunkan tarif dan mengurangi hambatan non-tarif perdagangan, tapi juga melakukan reformasi dengan menetapkan pengurangan pajak, tarif, dan pembatasan kuantitatif pada ekspor dan impor. Contoh bentuk implementasi atuan-aturan WTO di tingkat domestik dapat dilihat bahwa sejak tahun 1994 Indonesia telah secara signifikan mengurangi tarif. 30 Salamuddin Daeng, “Putusan Mahkamah Konstitusi: Mengingkari Kepentingan Nasional�, dalam Global Justice Update Tahun 6 Edisi 1 Mei 2008, hal. 18 31 Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi RI 2008, Op.Cit.

28


Kudeta Putih

Penerapan tarif most favoured nation (MFN) telah berkurang dari rata-rata sekitar 20 % pada tahun 1994 menjadi 9,5 % pada tahun 1998. Pada tahun 1998 tarif untuk barang-barang makanan dikurangi menjadi maksimal 5 %. Indonesia berkomitmen untuk mengurangi tarif untuk semua produk hingga 10 % pada tahun 2003. Selain tarif, Indonesia berkomitmen untuk menghapus semua hambatan non-tarif dan pembatasan ekspor. Dengan demikian, persyaratan lisensi terbatas dan program konten lokal secara bertahap akan dihapus. Pembatasan kuantitatif terhadap ekspor diubah menjadi pajak, yang harus dikurangi menjadi maksimum 10 % pada tahun 2000.32 Sejalan dengan liberalisasi di bidang perdagangan, Indonesia juga melakukan reformasi di bidang investasi. Reformasi di bidang investasi dilakukan dengan penghapusan pembatasan kepemilikan pada tahun 1995. Pembukaan hampir semua industri untuk investasi langsung asing (PMA) antara tahun 1993 dan 1995 membantu menarik sejumlah besar PMA. Berdasarkan data PMA dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), PMA meningkat 10 % pada periode 1990-1993 dan 30 % pada periode 1993-1995.33 Implementasi aturan-aturan WTO juga dapat dilihat dari Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007, di mana dalam Pasal 3 disebutkan bahwa pemerintah memberikan perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. Asas ini sama dengan prinsip The Most Favored Nation (MFN) dari General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Trade-Related Investment Measures (TRIMs) dalam GATT/WTO menganut prinsip ini. Prinsip keterbukaan juga sama dengan prinsip yang dianut GATT/WTO. Berikut adalah beberapa prinsip yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 yang dinilai mengadopsi prinsip-prinsip dalam WTO seperti MFN, National Treatment, dan Transparansi:34 • Modal asing adalah modal yang dimiliki oleh negara asing, perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, badan hukum asing, dan/atau badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing. 32 “Trade Policy Reviews: First Press Release, Secretariat And Government Summaries Indonesia: December 1998â€?, diakses dari http://www.wto.org/english/tratop_e/tpr_e/tp94_e.htm, pada tanggal 19 Februari 2012, pkl. 14.50 33 Tulus Tambunan, Loc. Cit. 34 Bonnie Setiawan, Loc.Cit.

29


Kudeta Putih

• Ketentuan dalam undang-undang ini berlaku bagi penanam modal di semua sektor di wilayah negara Republik Indonesia. • Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan. • Penanaman modal diselenggarakan berdasarkan asas: perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara. • Dalam menetapkan kebijakan dasar, pemerintah memberikan perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. • Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara mana pun yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. • Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pemgambilalihan hak kepemilikan penanam modal, kecuali dengan undang-undang. Dalam hal pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan, maka pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar. • Jika di antara kedua belah pihak tidak tercapai kesepakatan tentang kompensasi atau ganti rugi, penyelesaiannya dilakukan melalui jalur arbitrase. • Penanam modal dapat mengalihkan aset yang dimilikinya kepada pihak yang diinginkan oleh penanam modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. • Penanam modal diberikan hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing. • Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah oleh pihak asing dalam jangka waktu yang panjang. • Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara pemerintah dan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak. 30


Kudeta Putih

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa kaidah perjanjian internasional WTO mewarnai regulasi penanaman modal di Indonesia. Terdapat beberapa asas ataupun ayat yang secara eksplisit ataupun tersirat merupakan bentuk implementasi dari prinsip-prinsip yang ada di WTO. Terkait dengan aturan adanya penyelesaian

sengketa antara penanam modal dan pemerintah melalui arbitrase internasional, ketentuan ini berpotensi merugikan negara. Hal ini dapat terjadi karena pemerintah jarang sekali memenangi kasus sengketa dengan penanam modal.35 II.2.4. Letter of Intent International Monetary Fund dan Liberalisasi Investasi di Indonesia IMF berperan besar dalam perubahan struktural ekonomi Indonesia, terutama dalam hal liberalisasi investasi pada masa reformasi. Melalui penerbitan Letter of Intent (LoI) sejak tahun 1997 hingga 1999, IMF membuat berbagai persyaratan kepada pemerintah Indonesia untuk merestrukturisasi makroekonomi Indonesia dengan berbagai kebijakan yang mengarah pada pasar bebas. Berikut ini adalah beberapa LoI dan kaitannya dengan liberalisasi investasi di Indonesia: 1. LoI 30 Oktober 1997 Pada LoI pertama ini, pemerintah membuat sebuah paket kebijakan makroekonomi dengan tujuan untuk mengembalikan kepercayaan pasar dan menahan laju penurunan rupiah. Berikut ini adalah beberapa poin dalam kaitannya dengan liberalisasi investasi di Indonesia: • aktivitas dan sektor yang terbuka bagi investor asing akan diperluas, di antaranya sektor perdagangan retail. Investor asing akan secara fair diberikan kesempatan berinvestasi dalam sektor minyak kelapa sawit; • pada bulan September 1997, aturan mengenai batas 49 % kepemilikan asing dalam perusahaan go public akan dihapus.

35 Seperti yang disampaikan oleh Ahmad Suryono dalam Seminar “Masih adakah independensi dalam pembuatan Undang-Undang Nasional di bidang Investasi dan Perdagangan di Indonesia?”, IGJ, 21 Februari 2012

31


Kudeta Putih

2. LoI 10 April 1998 LoI yang diterbitkan pada 10 April 1998 secara umum menegaskan kembali komitmen pemerintah Indonesia untuk menjalankan Momorandum of Economic and

Financial Policies (MEFP) yang ditandatangani pemerintah pada 15 Januari 1998. Salah satu poin penting yang dibahas dalam LoI ini terkait dengan investasi adalah menghapus hambatan bagi investasi asing di sektor perdagangan grosir.36 Dalam kaitan dengan MEFP, maka komitmen yang diambil pemerintah menyangkut kebijakan-kebijakan berikut ini:37 • Untuk mendukung program privatisasi secara penuh atas semua bank pemerintah, pemerintah akan mengajukan amandemen UU Perbankan pada akhir Juni 1998. Dalam rancangan amandemen ini, batas kepemilikan swasta akan dihapus sehingga pihak swasta dapat menguasai secara penuh bank pemerintah. Partner asing akan diminta untuk menarik investor swasta lainnya agar mau berpartisipasi dan jadwal bagi privatisasi ini akan dikonsultasikan dengan IMF dan Bank Dunia; • Pemerintah akan memberikan perlakuan yang adil bagi investor asing yang berinvestasi di sektor perbankan. Sejalan dengan komitmen Indonesia di WTO, pemerintah akan mengurangi hambatan bagi bank asing untuk membuka cabang di Indonesia menjelang Februari 1998. Selain itu, pemerintah juga menyerahkan rancangan undang-undang untuk menghapus hambatan kepemilikan asing di beberapa bank yang terdaftar di BEJ menjelang Juni 1998; • Percepatan program privatisasi dengan pengawasan oleh Kementerian Keuangan dan Dewan Privatisasi. Kerangka aturan bagi privatisasi akan dibuat sedemikian rupa untuk menjalankan privatisasi secara penuh bagi semua perusahaan negara.

36 The International Monetary Fund, “Indonesia-Supplementary Momorandum of Economic and Financial Policies”, The International Monetary Fund, Washington D.C., 10 April 1998. 37 The International Monetary Fund, “Indonesia-IMF Momorandum of Economic and Financial Policies”, The International Monetary Fund, Washington D.C., 15 Januari 1998

32


Kudeta Putih

3. LoI 29 Juli 1998 Dengan diterbitkan LoI ini maka pemerintah Indonesia membuat komitmen agar aturan-aturan investasi asing akan disederhanakan dan dipermudah. Selain itu, pemerintah juga berkomitmen akan menghapus hambatan bagi investasi asing di sektor perdagangan grosir. 4. LoI 11 September 1998 Ada tiga poin penting yang berkaitan dengan investasi dalam LoI ini, yaitu: (1) menghapus batasan kepemilikan asing dalam bank pemerintah; (2) mencabut subsidi pada produk terigu, gula, bawang putih, dan kedelai ; (3) memberikan izin bagi investasi asing di sektor perdagangan ritel dan grosir; (4) mencabut disinsentif pajak bagi kegiatan merger dan restrukturisasi perusahaan. Kebijakan pemerintah ini secara jelas memfasilitasi konsentrasi kekuatan bisnis dalam aktivitas perekonomian.38 5. LoI 19 Oktober 1998 Pemerintah menambah aspek baru dalam komitmennya dengan IMF, di antaranya pemerintah akan tetap membiarkan pergerakan modal lintas batas untuk menciptakan kepercayaan pasar. Selain itu, pemerintah tidak akan membatasi repatriasi kapital bagi investor asing dan juga memberikan kebebasan ekpor bagi mereka. Maka, kebijakan ini diharapkan kepercayaan akan meningkat yang pada gilirannya dapat mendorong peningkatan arus modal masuk ke Indonesia.39 6. LoI 13 November 1998 Dalam LoI ini pemerintah memfokuskan pada isu rencana privatisasi. Pemerintah berencana melakukan privatisasi terhadap 150 BUMN selama satu dekade ke depan. Privatisasi ini akan menyentuh semua BUMN dari sektor telekomunikasi, listrik, energi, hingga perusahaan penerbangan nasional. Pemerintah telah membuat 38 The International Monetary Fund, “Indonesia-Second Supplementary Momorandum of Economic and Financial Policies�, The International Monetary Fund, Washington D.C., 11 September 1998. 39 The International Monetary Fund, “Indonesia-Supplementary Momorandum of Economic and Financial Policies�, The International Monetary Fund, Washington D.C., 11 September 1998.

33


Kudeta Putih

master plan bagi proses ini dan telah mempublikasikannya. Salah satu bentuk implementasi dari rencana ini adalah dibuatnya UU Telekomunikasi yang meliputi aturan mengenai kompetisi bebas di sektor ini.40 7. LoI 16 Maret 1999 Pemerintah menyatakan bahwa investor-investor asing strategis akan diperbolehkan memegang kendali atas manajemen perusahaan, bahkan di perusahaan di mana saham mereka di bawah 49 %. Pemerintah menegaskan tidak akan membatasi investasi asing dan memperbolehkan investor asing untuk menguasai saham mayoritas perusahaan, kecuali menyangkut kepentingan strategis atau kepentingan nasional. Namun, pemerintah tidak menjelaskan kepentingan nasional seperti apa yang perlu dijaga untuk membatasi kepemilikan asing dalam sektor-sektor strategis ini.41 8. LoI 14 Mei 1999 Pemerintah berkomitmen untuk melakukan privatisasi terhadap sejumlah BUMN. Pemerintah akan melakukan privatisasi atas Pelabuhan Jakarta, Pelabuhan Surabaya, perusahaan telekomunikasi domestik, dan perusahaan pengelolaan makanan. Pemerintah sedang mengajukan RUU Telekomunikasi agar dapat melepas sebagian kepemilikan pemerintah dalam perusahaan telekomunikasi internasional (Indosat). Pemerintah juga tidak akan menetapkan batasan hukum atas kepemilikan asing dalam BUMN kecuali terkait dengan kepentingan strategis dan keamanan nasional.42 9. LoI 17 Mei 2000 Pemerintah akan memperbarui master plan bagi program privatisasinya untuk tahun 2000-2002. Privatisasi untuk sejumlah BUMN yang bergerak di industriindustri yang kompetitif akan dipercepat oleh pemerintah. Di samping itu, pemerintah 40 The International Monetary Fund, “Indonesia-Supplementary Momorandum of Economic and Financial Policies”, The International Monetary Fund, Washington D.C., 13 November 1998. 41 The International Monetary Fund, “Indonesia-Supplementary Momorandum of Economic and Financial Policies”, The International Monetary Fund, Washington D.C., 16 Maret 1999. 42 The International Monetary Fund, “Indonesia-Supplementary Momorandum of Economic and Financial Policies”, The International Monetary Fund, Washington D.C., 14 Mei 1998.

34


Kudeta Putih

telah mempersiapkan privatisasi PT Telkom dan Indosat dengan merasionalisasikan kepemilikan atau penguasaan aset di beberpa perusahaan telekomunikasi lainnya dan menjual saham-saham yang ada disektor-sektor yang bukan bisnis inti mereka. Pemerintah juga akan melakukan audit khusus dengan bantuan sebuah perusahaan internasional atas sejumlah BUMN dalam rangka program restrukturisasi dan privatisasi ini.43 10. LoI 31 Juli 2000 Pemerintah akan mempercepat privatisasi sektor telekomunikasi dan energi dengan segera menyiapkan perangkat hukum bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor ini. Selain itu, pemerintah juga akan memperluas lingkup sektor ekonomi yang terbuka bagi investor asing.44 11. LoI 7 September 2000 Mempertegas kembali komitmen-komitmen pemerintah yang telah dibahas dalam LoI 31 Juli 2000 dengan beberapa penambahan komitmen, di antaranya akan melibatkan IMF, Bank Dunia, dan komunitas internasional. 12. LoI 18 Maret 2003 Memfokuskan pada upaya pemulihan ekonomi tahun 2003, salah satunya adalah memperbaiki iklim investasi melalui reformasi hukum dan struktural. Melalui UU Komersial dan Kepailitan yang segera dijalankan untuk memberikan kepastian bagi investor. Kerangka hubungan industrial akan diperbaiki untuk memperbaiki iklim investasi ini.45

43 The International Monetary Fund, “Indonesia-Supplementary Momorandum of Economic and Financial Policies”, The International Monetary Fund, Washington D.C., 31 Juli 1998. 44 The International Monetary Fund, “Indonesia-Supplementary Momorandum of Economic and Financial Policies”, The International Monetary Fund, Washington D.C., 31 Juli 2000. 45 The International Monetary Fund, “Indonesia-Supplementary Momorandum of Economic and Financial Policies”, The International Monetary Fund, Washington D.C., 18 Maret 2003.

35


Kudeta Putih

II.2.5. Keterlibatan Bank Dunia Dalam Regulasi Penanaman Modal di Indonesia Keterlibatan Bank Dunia dalam realisasi undang UUPM dapat dilacak dalam dokumen program Development Policy Loan (DPL) edisi ketiga tahun 2006. Besarnya

nominal pinjaman yang dialokasikan untuk DPL ketiga adalah senilai US$ 400 juta. Dalam dokumen DPL tersebut, Bank Dunia menyebutkan perlu mengawal UUPM Nomor 25 Tahun 2007 agar dapat diterapkan dengan saksama di Indonesia. Berikut ini merupakan kutipan yang tertuang dalam dokumen DPL: “Completed a review of the investment negative list of areas closed to foreign investment to clarify and enhance the effective implementation of the Investment Law (Law No. UU 25/2007) and issued a revised Investment Negative List as Perpres 111 tahun 2007 in December 2007�46 [Menyelesaikan kajian mengenai daftar investasi negatif pada bidang tertutup bagi investasi asing untuk memperjelas dan meningkatkan efektivitas pelaksanaan UU Penanaman Modal (UU No. 25/2007) dan mengeluarkan Daftar Negatif Investasi dalam Perpres 111 Tahun 2007 pada bulan Desember 2007] Bank Dunia menggarisbawahi bahwa UUPM merupakan salah satu instrumen krusial untuk semakin meningkatkan iklim investasi di Indonesia. Terlebih lagi, sepanjang periode skema pinjaman DPL, yakni sejak tahun 2004, Indonesia telah sukes mempertahankan kestabilan makroekonominya, sehingga Indonesia menjadi potensi menarik bagi masuknya investasi asing. Rekomendasi selanjutnya dari Bank Dunia dapat dilihat dalam dokumen DPL edisi kelima mengenai anjuran untuk mendorong pembentukan Perpres 111 Tahun 2007 sebagai aturan tambahan atas Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007. Perpres tersebut bertujuan untuk merestrukturisasi daftar negatif investasi (DNI) sekaligus mempercepat proses transaksi dalam mekanisme investasi. Selain itu, Bank Dunia juga menekankan tentang pentingnya penerapan Treasury Single Account 46 Program document, on a proposed loan, in amount of $750 million to the republic of Indonesia for a fifth development policy loan, Bank Dunia, 2008. Hal., 31

36


Kudeta Putih

(TSA) atau dalam bahasa lain dikenal sebagai National Single Window (NSW). TSA diimplementasikan sebagai sebuah mekanisme untuk percepatan proses perizinan ekspor-impor di Indonesia yang semula memerlukan waktu 151 hari, menjadi 30 hari. Salah satu contoh implementasi atas TSA dapat ditinjau melalui proyek di Tanjung Priok. Bank Dunia bahkan menegaskan Indonesia untuk mengganti sistem perizinan investasi dengan sistem registrasi guna semakin memudahkan biaya dan waktu transaksi supaya kegiatan ekspor-impor menjadi semakin efisien. 47

II.2.6. Keterlibatan Asian Development Bank Dalam Regulasi Penanaman Modal di Indonesia Dukungan ADB terhadap regulasi investasi di Indonesia dapat dilihat dari ADB Program Number: 39605 Loan Number: 2228 mengenai “Indonesia: Development Policy Support Program (DPSP)�. DPSP ini terfokus pada empat bidang kebijakan, yaitu perbaikan stabilitas makroekonomi dan kredit, peningkatan iklim investasi, memperkuat sektor keuangan, dan manajemen keuangan publik dan antikorupsi. Biaya program ini sebesar US$ 200 juta. Disebutkan bahwa terkait dengan iklim investasi akan dilakukan penguatan kerangka hukum, peraturan, dan kelembagaan investasi seperti yang dikutip di bawah ini:48 “As part of the DPSP, specific measures taken by the Government to strengthen the investment environment included drafting and finalizing a new investment law, strengthening the National Team for Increasing Exports and Investments by empowering it to formulate investment policies and resolve key constraints faced by the private sector, and efforts to resolve high-profile investment disputes. The new investment law (i) creates a unified national framework law covering all investments, (ii) states the principle of equal treatment for all investors, (iii) streamlines entry for new investors by moving from an approval-oriented system to a simple registration framework, (iv) simplifies the registration process 47 Ibid. 48 ADB Validation Report, Program Number: 39605 Loan Number: 2228, Indonesia: Development Policy Support Program, Oktober 2008

37


Kudeta Putih

to reduce the time required, (v) stipulates a negative list of investments that is short and clear, (vi) reaffirms free repatriation of capital, (vii) allows for the use of dispute resolution mechanisms, (viii) reaffirms the principle of no expropriation without compensation, (ix) permits the use of foreign expertise, (x) provides a foundation for investment promotion and facilitation, (xi) removes the limited duration of investments, and (xii) abolishes the system of forced divestments�.

[Sebagai bagian dari DPSP, pemerintah akan mengambil langkahlangkah spesifik untuk memperkuat iklim investasi termasuk di dalamnya penyusunan dan finalisasi UUPM baru, memperkuat Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Investasi dengan memberdayakannya untuk merumuskan kebijakan investasi dan menyelesaikan kendala utama yang dihadapi oleh sektor swasta, dan upaya untuk menyelesaikan sengketa investasi tingkat tinggi. UUPM baru tersebut akan meliputi: (i) penciptakan kerangka hukum nasional terpadu yang mencakup semua investasi, (ii) prinsip perlakuan yang sama bagi semua investor, (iii) kerangka pendaftaran yang lebih sederhana bagi investor baru, (iv) menyederhanakan proses pendaftaran untuk mengurangi waktu yang dibutuhkan, (v) menetapkan daftar negatif investasi yang singkat dan jelas, (vi) menegaskan kembali repatriasi modal yang bebas, (vii) memungkinkan untuk penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa, (viii) menegaskan kembali prinsip pengambilalihan tanpa kompensasi, (ix) mengizinkan penggunaan tenaga ahli asing, (x) memberikan dasar untuk promosi investasi dan fasilitasi, (xi) menghapus durasi terbatas investasi, dan (xii) menghapuskan sistem forced divestments] Di samping itu, dukungan ADB terhadap kebijakan penanaman modal di Indonesia dapat dilihat dalam ADB Project Number: 31644 Loan Number: 1738 mengenai “Indonesia: Industrial Competitiveness and Small and Medium Enterprise Development Program�. Biaya pinjaman dari ADB untuk program ini adalah sebesar US$ 200 juta. Dalam program ini dijelaskan bahwa salah satu output dari pelaksanaan program ini adalah dukungan terhadap investasi melalui penguatan kebijakan PMDN

38


Kudeta Putih

dan PMA, seperti dikutip di bawah ini:49 The Program would therefore (a) increase competition by (1) establishing appropriate laws and regulations for commercial activity, (2) simplifying

regulations, (3) removing barriers to domestic competition and trade, and (4) liberalizing international trade; (b) promote investment and facilitate trade by (1) strengthening policies for domestic investment and PMA, and (2) improving duty drawback and customs procedures; and (c) provide more efficient assistance to SMEs by (1) reinforcing policy coordination and implementation, (2) improving financial intermediation, and (3) strengthening technical and business service support.

[Program ini bertujuan untuk (a) peningkatan persaingan dengan

(1) menetapkan hukum dan peraturan yang tepat untuk kegiatan perdagangan, (2) menyederhanakan peraturan, (3) menghilangkan hambatan untuk kompetisi dan perdagangan domestik, dan (4) liberalisasi perdagangan internasional, (b) mempromosikan investasi dan memfasilitasi perdagangan dengan (1) kebijakan penguatan untuk investasi domestik dan PMA, dan (2) memperbaiki kelemahan prosedur kepabeanan, dan (c) memberikan bantuan yang lebih efisien untuk UKM dengan (1) memperkuat koordinasi kebijakan dan implementasi, (2 ) meningkatkan intermediasi keuangan, dan (3) memperkuat dukungan teknis dan bisnis jasa] Dukungan ADB terhadap iklim investasi di Indonesia dapat dilihat dari ADB Sixth Development Policy Support, yang difokuskan pada pertumbuhan ekonomi, pengembangan sektor swasta dan governance. Biaya program ini sebesar US$ 200 juta. Program ini akan mendukung reformasi pemerintah yang ditujukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berpihak pada masyarakat miskin serta berkelanjutan. Prioritas reformasi mencakup upaya untuk memperbaiki iklim investasi, memperkuat manajemen keuangan publik, dan pemerintahan, serta meningkatkan 49 ADB Validation Report, Project Number: 31644 Loan Number: 1738, Indonesia: Industrial Competitiveness and Small and Medium Enterprise Development Program, Desember 2010.

39


Kudeta Putih

pengurangan kemiskinan dan akses terhadap pelayanan publik. Hal ini seperti terlihat dalam kutipan di bawah ini:50 “The program will support the government’s key reform priorities aimed

at achieving higher and pro-poor economic growth that is sustainable over the medium term. The reform priorities include efforts to improve the investment climate, strengthen public financial management, and governance, and enhance poverty reduction and access to public service delivery”. [Program ini akan mendukung reformasi prioritas utama pemerintah yang ditujukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berpihak pada masyarakat miskin yang berkelanjutan dalam jangka menengah. Prioritas reformasi mencakup upaya untuk memperbaiki iklim investasi, memperkuat manajemen keuangan publik, dan pemerintahan, dan meningkatkan pengurangan kemiskinan dan akses terhadap pelayanan publik]

II.3. Implikasi Liberalisasi Investasi di Indonesia Keterlibatan aktor-aktor internasional seperti IMF, Bank Dunia, ataupun ADB tidak bisa diterima secara taken for granted. Utang yang diberikan kepada Indonesia bukan hanya harus dibayar dengan utang berikut bunganya, melainkan juga dengan kebijakan-kebijakan yang pro investor asing. Dalam jangka pendek kebijakan seperti ini mungkin bisa dipandang baik karena menyebabkan terlaksananya pertumbuhan ekonomi, tersedianya sejumlah lapangan kerja, dan juga terkuranginya angka kemiskinan. Namun dalam jangka panjang yang terjadi adalah: (1) makin terbebaninya APBN dengan beban pembayaran utang dan bunganya: (2) tergusurnya peluang bagi munculnya usahawan-usahawan nasional yang basis ekonominya benarbenar berada di bumi Indonesia. Dengan aturan-aturan investasi yang makin liberal, makin mudah bagi para pemodal asing untuk mengalihkan keuntungan yang didapat 50 ADB Sixth Development Policy Support, Project number 43211- 01, Loan Number 2723, “Economic growth, Private Sector Development, dan Governance”.

40


Kudeta Putih

ke luar negeri dan dengan demikian sekadar menjadikan Indonesia sebagai tempat “mencari untung� alias akumulasi modal. Masuknya aturan-aturan di tingkat internasional ke dalam undang-undang nasional Indonesia, termasuk UUPM dan berbagai kebijakan lain yang jelas-jelas pro kepentingan asing, dapat semakin memperlemah kekuatan ekonomi nasional serta membuat semakin terpinggirnya kepentingan pengusaha lokal, termasuk usaha kecil dan menengah (UKM). Keanggotaan Indonesia dalam WTO menuntut Indonesia untuk selalu melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan dengan prinsip-prinsip yang ada di WTO. Dengan masuknya Indonesia sebagai anggota WTO memberikan konsekuensi bahwa Indonesia telah menjadi bagian dari globalisasi. Ketika pemerintah sudah melakukan ratifikasi terhadap aturan-aturan di tingkat internasional, maka konsekuensi yang terjadi adalah Indonesia wajib untuk melakukan internalisasi terhadap aturan-aturan internasional tersebut. Dalam hal ini, apabila hukum nasional Indonesia bertentangan dengan aturan di tingkat internasional, misalnya WTO, maka hal ini akan memungkinkan timbulnya sengketa dengan negara anggota lainnya. Tentu saja hal ini memberikan pelajaran berharga bagi Indonesia bahwa ratifikasi ataupun komitmen Indonesia di tingkat internasional di bidang ekonomi seharusnya mendapatkan perhatian yang serius dan memerlukan pertimbangan yang serius terkait dengan dampak yang akan ditimbulkan. Peran dan pengaruh aktor internasional dalam regulasi di bidang penanaman modal seperti yang telah dijelaskan pada sub-bab selumnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel II.2 Kontribusi Aktor Internasional Dalam Regulasi Penanaman Modal UndangUndang UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

Kontribusi Aktor Internasional Aktor WTO

Program/ Aturan MFN, National Treatment, dan Transparansi

Saran/Implementasi Pemerintah memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. Perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara

41


Kudeta Putih

UndangUndang

Kontribusi Aktor Internasional Aktor IMF

Program/ Aturan

Saran/Implementasi

LoI 30 Oktober 1997

Aktivitas dan sektor yang terbuka bagi investor asing akan diperluas

LoI 10 April 1998

Menghapus hambatan bagi investasi asing di sektor perdagangan grosir Mendukung program privatisasi secara penuh atas semua bank-bank pemerintah, pemerintah akan mengajukan amandemen UU perbankan pada akhir Juni 1998. Memberikan perlakuan yang adil bagi investor asing yang berinvestasi di sektor perbankan.

LoI 29 Juli 1998

Pemerintah Indonesia membuat komitmen agar aturan-aturan investasi asing akan disederhanakan dan dipermudah

LoI 11 September 1998

Menghapus batasan kepemilikan asing dalam bank pemerintah Mencabut subsidi pada produk terigu, gula, bawang putih dan kedelai Memberikan izin bagi investasi asing di sektor perdagangan ritel dan grosir Mencabut disinsentif pajak bagi kegiatan merger dan restrukturisasi perusahaan.

LoI 19 Oktober 1998

Pemerintah akan tetap membiarkan pergerakan modal lintas batas untuk menciptakan kepercayaan pasar. Pemerintah tidak akan membatasi repatriasi kapital bagi investor asing dan juga memberikan kebebasan ekpor bagi mereka.

42

LoI 13 November 1998

Memfokuskan pada isu rencana privatisasi

LoI 16 Maret 1999

Investor-investor asing strategis akan diperbolehkan untuk memegang kendali atas manajemen perusahaan, bahkan di perusahaan di mana saham mereka di bawah 49 %

LoI 14 Mei 1999

Tidak akan membatasi investasi asing dan memperbolehkan investor asing untuk menguasai saham mayoritas perusahaan


Kudeta Putih

UndangUndang

Kontribusi Aktor Internasional Aktor

Program/ Aturan

Saran/Implementasi

LoI 17 Mei 2000

Pemerintah berkomitmen untuk melakukan privatisasi terhadap sejumlah BUMN

LoI 31 Juli 2000

Pemerintah akan memperbarui master plan bagi program privatisasi untuk Tahun 2000-2002

LoI 7 September 2000

Pemerintah akan mempercepat privatisasi sektor telekomunikasi dan energi

LoI 18 Maret 2003

Pemerintah juga akan memperluas lingkup sektor ekonomi yang terbuka bagi investor asing Mempertegas kembali komitmen-komitmen pemerintah yang telah dibahas dalam LoI 31 Juli 2000 Memperbaiki iklim investasi melalui reformasi hukum dan struktural

ADB

ADB Program Number: 39605 Loan Number: 2228 (“ Indonesia: Development Policy Support Program (DPSP))�

Pemerintah akan mengambil langkah-langkah spesifik untuk memperkuat iklim investasi termasuk di dalamnya penyusunan dan finalisasi hukum investasi baru.

Development Policy Support Programme (DPSP) edisi kedua, 2006

Perlunya realisasi undang Undang nomer 25 tahun 2007 tentang penanaman modal.

ADB Sixth Development Policy Support: Economic growth, Private Sector Development, dan Governance

Prioritas reformasi mencakup upaya untuk memperbaiki iklim investasi, memperkuat manajemen keuangan publik, dan pemerintahan, serta meningkatkan pengurangan kemiskinan dan akses terhadap pelayanan publik.

43


Kudeta Putih

UndangUndang

Kontribusi Aktor Internasional Aktor

Bank Dunia

Program/ Aturan

Saran/Implementasi

ADB Project Number: 31644 Loan Number: 1738 (“Indonesia: Industrial Competitiveness and Small and Medium Enterprise Development Program”)

Salah satu output dari pelaksanaan program ini adalah dukungan terhadap investasi melalui penguatan kebijakan investasi domestik dan PMA.

Development Policy Loan edisi ketiga tahun 2006

Perlu mengawal Undang-undang Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007 agar dapat diterapkan dengan saksama di Indonesia.

Development Policy Loan edisi kelima

Mendorong pembentukan Perpres 111 Tahun 2007 sebagai aturan tambahan atas Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007. Perpres 117 tersebut bertujuan guna restrukturisasi daftar negatif investasi (DNI) sekaligus mempercepat proses transaksi dalam mekanisme investasi.

Undang-undang Penanaman Modal (investment law) merupakan salah satu instrumen krusial untuk semakin meningkatkan iklim investasi di Indonesia.

Sumber: Rangkuman Tim Peneliti

Terkait dengan masuknya kaidah internasional ke dalam hukum nasional, terdapat empat tahap dalam proses integrasi. Pertama, negara setuju untuk bergabung dalam rezim (aturan) internasional dan mengharmonisasikan kebijakan domestik agar sesuai dengan ketentuan rezim internasional tersebut. Kedua, harmonisasi formal yang berupa peraturan tertulis harus dilakukan. Ketiga, standar yang sudah diharmonisasikan harus diimplementasikan. Keempat, system monitoring dan implementasi ketentuan harus sesuai dengan perjanjian.51 51 Paul Thiers, “Challenges for WTO Implementation: Lesson from China’s Deep Integration into an International Trade Regime”, dalam Journal of Contemporary China, Vol.11:32 seperti yang dikutip dalam Ahmad Suryono & Dini Adiba S, Analisis Rezim Investasi dan Perdagangan, Laporan Penelitian, IGJ, 2012.

44


Kudeta Putih

Sejalan dengan undang-undang yang memberikan peluang besar bagi kepemilikan asing, kepemilikan asing semakin terjadi di sebagian besar sektor strategis di Indonesia, seperti pertambangan, perbankan, perkebunan, dan telekomunikasi. Di sektor keuangan masuknya kepemilikan asing dipicu oleh Peraturan Pemerintah

Nomor 29 Tahun 1999. Pasal 3 PP itu menyebutkan bahwa jumlah kepemilikan saham bank oleh warga negara asing dan atau badan hukum asing yang diperoleh melalui pembelian secara langsung ataupun melalui bursa efek sebanyak-banyaknya adalah 99 % dari jumlah saham bank yang bersangkutan. Sebagai akibatnya, per Maret 2011 pihak asing telah menguasai 50,6 % aset perbankan nasional, yaitu sekitar Rp 1.551 triliun dari total aset perbankan Rp 3.065 triliun. Dari total 121 bank umum, kepemilikan asing ada pada 47 bank dengan porsi bervariasi.52 Di samping liberalisasi di sektor perbankan, liberalisasi juga terjadi di sektor energi. Energi memerankan peran vital sekaligus strategis dalam kebijakan suatu negara. Dengan melemahnya ketahanan energi suatu negara, maka negara tersebut tidak bisa mengakses sumber daya energi seutuhnya yang diperlukan untuk pembangunan. Sistem energi nasional hingga tahun 2010 secara umum masih mengandalkan minyak bumi (46,93 %) sebagai penghasil energi listrik untuk menyokong kebutuhan energi dalam negeri, diiukuti gas alam (21,29 %), batu bara (26,38 %), panas bumi atau geothermal (1,5 %), dan tenaga air atau hydro (3, 29 %). Di sektor migas, upaya negara memberikan keleluasaan dan kemudahan investasi sektor energi migas dituangkan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi. Dampaknya, investasi asing di sektor ini meningkat. Dari total 225 blok migas yang dikelola kontraktor kontrak kerja sama non-Pertamina, 120 blok dioperasikan perusahaan asing, hanya 28 blok yang dioperasikan perusahaan nasional, serta sekitar 77 blok dioperasikan perusahaan gabungan asing dan lokal. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan produksi minyak bumi nasional jutru mengalami penurunan dari 1,4 juta barel per hari (bph) pada tahun 199953 menjadi 0,949 juta bph pada tahun 2009. Sedangkan tingkat konsumsi minyak bumi atau BBM di Indonesia mencapai lebih dari 1,2 juta bbl/ 52 “Menyoal Kepemilikan Asing”, diakses dari http://politikana.com/baca/2011/05/2…kan-asing.html pada tanggal 16 Desember 2011 pk. 20.00 53 Jati Andrianto, Wendy S. Hutahean, Irwansyah, Isno Usnodo, dan Fekum Ariesbowo, “Bola Panas: Revisi UU Migas No. 22 Tahun 2001”, dalam Warta Ekonomi, Edisi 20 Tahun XXI, 12 Oktober-18 Oktober 2009, hal. 57

45


Kudeta Putih

d.54 Defisit ini ditutupi dengan impor minyak dari negara lain. Selain itu, produksi LNG Indonesia meningkat seiring dengan keterlibatan pihak swasta asing di sektor ini. Indonesia menyuplai 2,3 % pasar produksi gas bumi pada tahun 2008. Namun, ironisnya sebagian besar LNG diekspor ke negara-negara industri, seperti Jepang,

Korea Selatan, Singapura, China, Amerika Serikat, dan Taiwan. Padahal di dalam negeri kebutuhan akan gas juga meningkat seiring dengan menurunnya produksi minyak bumi sebagai sumber energi yang dominan untuk memenuhi pasokan listrik. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM menetapkan target porsi operator oleh perusahaan nasional mencapai 50 % pada tahun 2025. Saat ini porsi nasional hanya 25 %, sementara 75 % dikuasai asing.55 Di samping itu, kepentingan asing dalam sektor energi panas bumi terlihat dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2003 yang mempertegas pencabutan hak monopoli Pertamina dalam pengusahaan energi panas bumi dan memiliki kedudukan yang sama dengan pelaku bisnis atau kontraktor swasta lainya. Selain itu, regulasi ini berisi peraturan baru terkait dengan kegiatan eksplorasi dan pembangunan yang kompetitif, memberikan penawaran izin selama 3 tahun untuk eksplorasi dengan perpanjangan waktu 2 tahun untuk melengkapi studi terkait kegiatan panas bumi. Namun, upaya pengembangan energi terbarukan ini bukan tanpa kendala. Isu yang dihadapi dalam mengembangkan energi terbarukan ini, karena tingginya nilai investasi dan untuk memproduksi energi dari sumber daya non-fosil ini, sehingga harga listrik yang dihasilkan dari sumber ini pun menjadi mahal. Di sisi lain, Perusahaan Listrik Negara (PLN) masih belum mau membeli listrik dari panas bumi, karena belum ada payung hukum yang mengatur pembelian listrik tenaga panas bumi tentang harga. Di sektor pertambangan, realisasi investasi asing di sektor pertambangan hingga kuartal II tahun 2011 mencapai US$ 1,51 miliar atau 31,5 % dari keseluruhan PMA US$ 4,78 miliar. Ini menggambarkan investasi yang disetujui didominasi investasi yang menguras sumber daya alam. Oleh karena itu, seharusnya pemerintah melakukan renegosiasi kontrak-kontrak pertambangan.56 54 Indonesia Norway Business Council, “Doing Business in Indonesia: A Norwegian Perspective”, Februari 2011, diakses dari www.norway.or.id/PageFiles/364383/DOING_BUSINESS_IN_INDONESIA 55 “Perusahaan Asing Mengancam Kedaulatan Indonesia?” diakses dari http://bisniskeuangan.kompas.com/ rea…atan.Indonesia pada tanggal 15 Desember 2011 pk. 11.00 56 “Mafia Tambang Global Kuasai Investasi di RI”, diakses dari http://koran-jakarta.com/index.php/detail/ view01/71680 pada tanggal 16 desember 2011 pk. 17.30

46


Kudeta Putih

Terkait dengan investasi di Indonesia, dari diagram di bawah dapat dilihat bahwa pada tahun 2011 realisasi investasi asing didominasi oleh lima negara besar seperti Singapura, Amerika Serikat, Jepang, British Virgin Island, dan Inggris. Sedangkan lima sektor bisnis utama investasi meliputi sektor pertambangan, kelistrikan, gas dan air, transportasi dan komunikasi, serta tanaman pangan dan perkebunan. Diagram II.1. Realisasi Investasi Asing Quarter I Tahun 2011 Berdasarkan Negara Asal

B = Billion Sumber : BKPM

Diagram II.2 Realisasi Investasi Asing Quarter I Tahun 2011 Berdasarkan Lima Sektor Bisnis Utama

B = Billion USD Sumber : BKPM

47


Kudeta Putih

Selanjutnya gambar di bawah ini menunjukkan besarnya kepemilikan asing pada sektor-sektor strategis di Indonesia. Dapat dilihat besarnya persentase kepemilikan asing baik di sektor pertambangan, perbankan, industri kelapa sawit, maupun industri telekomunikasi. Diagram II.3.

Kepemilikan asing yang semakin dominan di sektor-sektor strategis merupakan dampak dari liberalisasi ekonomi melalui UUPM dan instrumen-instrumen aturan investasi yang lain sebagai produk reformasi. Sementara di tingkat nasional IMF, Bank Dunia, dan ADB dengan leluasa mendesakkan aturan-aturan investasi yang pro asing, di tingkat global keanggotaan Indonesia dalam WTO mengakibatkan makin meluasnya komitmen liberalisasi yang harus dilakukan Indonesia. “Dukungan� aktor internasional dalam liberalisasi ekonomi Indonesia, dengan demikian, kian nyata menganulir kedaulatan ekonomi Indonesia, mengingat: (1) terus meningkatnya ketergantungan kepada utang, dan implikasinya (2) keharusan untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan yang tidak benar-benar didasarkan pada kepentingan nasional, tetapi pada “agenda internasional� yang terdengar indah namun justru mengerdilkan kemandirian dan kekuatan ekonomi bangsa ini.

48


BAB III Pengaruh Asing dalam Liberalisasi Serta Regulasi Sektor Keuangan dan Perbankan di Indonesia

III.1. Reformasi Sektor Keuangan dan Perbankan di Indonesia Sektor keuangan memegang peranan yang sangat signifikan dalam memicu pertumbuhan ekonomi suatu negara. Sektor keuangan menjadi lokomotif pertumbuhan sektor riil via akumulasi kapital dan inovasi teknologi. Dalam ruang lingkup kebijakan makroekonomi, sektor keuangan menjadi alat transmisi kebijakan moneter. Dengan demikian, shock yang dialami sektor keuangan juga mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter.1 Terjadinya supply shock, kejatuhan harga minyak dunia pada awal tahun 1980an, berakibat pada melemahnya aktivitas perekonomian Indonesia. Sebagai respons atas memburuknya kondisi perekonomian, pemerintah menjalankan serangkaian 1

Inggrid, “Sektor Keuangan dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia: Pendekatan Kausalitas dalam Multivariate Vector Error Correction Model (VECM)�, dalam Jurnal Manajemen Dan Kewirausahaan, Vol.8, No. 1, Maret 2006

49


Kudeta Putih

program penyesuaian makroekonomi (macroeconomic adjustment program). Kebijakan nilai tukar diimplementasikan melalui devaluasi rupiah sebesar 38 % pada bulan Maret 1983, reformasi struktural, seperti perbaikan struktur dan administrasi fiskal serta reformasi sektor keuangan. Fokus reformasi sektor keuangan diawali dengan

mengurangi kontrol pemerintah pada sektor perbankan. Sektor perbankan diberikan keleluasaan dalam menjalankan peran sebagai lembaga intermediasi. Pada waktu yang hampir bersamaan, otoritas moneter memperkenalkan fasilitas discount window dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk membantu perbankan dalam menjaga kecukupan likuiditasnya. Bank Indonesia juga merilis Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) sebagai instrumen pengendali jumlah uang beredar dan alat investasi alternatif perbankan, ketika sektor keuangan ini memiliki excess likuiditas atau menjadi sumber dana ketika mengalami kekurangan likuiditas.2 Paket deregulasi Juni 1983 menghapuskan sistem kontrol langsung di sektor moneter dimaksudkan untuk meningkatkan mobilisasi dana dan efisiensi alokasi sumber daya. Setelah implementasi paket 1983, bank pemerintah tetap mendominasi market share sektor perbankan. Bank-bank milik negara ini memegang aset sekitar 75,6 % dari total aset perbankan dan liability sebesar 81,5 % dari total liability. Besar sektor perbankan (aset perbankan/PDB) relatif konstan sekitar 20 % dari awal tahun 1980 hingga 1988 dan naik secara luar biasa sebelum krisis ekonomi tahun 1997 (56,57 %). Kebijakan liberalisasi sektor keuangan menyebabkan boom aset perbankan selama periode ini. Shock pada akhir tahun 1990-an membuat besaran aset-aset ini hanya tinggal 48,02 % dari PDB.3 Selanjutnya untuk meningkatkan pengerahan dana masyarakat guna pembiayaan pembangunan serta efisiensi dan daya saing perbankan Indonesia, pemerintah mengeluarkan paket deregulasi pada Oktober 1988 atau yang disebut dengan Pakto 1988. Beberapa aspek penting dalam Pakto 1988 adalah 1) kemudahan pembukaan kantor cabang; 2) kemudahan pendirian bank baru; dan 3) penurunan reserve requirement. Sejak dikeluarkan Pakto 1988, pemerintah secara berkelanjutan mengeluarkan berbagai paket kebijakan di sektor perbankan dalam rangka menciptakan kondisi perbankan yang sehat dan berdaya saing. 2

Inggrid, “Sektor Keuangan dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia: Pendekatan Kausalitas dalam Multivariate Vector Error Correction Model (VECM)�, dalam Jurnal Manajemen Dan Kewirausahaan, Vol.8, No. 1, Maret 2006 hal.43. 3 Inggrid, Log.Cit.

50


Kudeta Putih

Pada saat krisis mata uang pertengahan tahun 1997 berlangsung, banyak bank mengalami krisis likuiditas, insolvency, serta default dalam hal tingkat pengembalian kredit. Pemerintah terpaksa melikuidasi 16 bank swasta pada 1 November 1997, menutup 7 bank yang tidak sehat pada April 1998 dan 38 bank pada Maret 1999. Di samping itu, pemerintah melakukan rekapitalisasi terhadap sebagian besar perbankan nasional yang memiliki posisi neraca negatif di Bank Indonesia. Pemerintah juga membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada akhir Januari 1998. Tugas BPPN adalah menyelesaikan klaim nasabah di bawah skema penjaminan pemerintah, mengatur aset perbankan yang di-take over pemerintah, merestrukturisasi dan menjual kredit perbankan, dan melakukan divestasi terhadap bank-bank rekap. Ongkos restrukturisasi perbankan Indonesia menelan biaya 60 % dari Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2000 dan merupakan ongkos restrukturisasi terbesar sepanjang sejarah perbankan dunia.4 Dalam perkembangannya, saat ini Indonesia sedang berhadapan dengan liberalisasi keuangan global. Dampak yang dirasakan antara lain pesatnya pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) perbankan serta dinamisnya pasar modal yang tercermin dari meningkatnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Derasnya arus dana masuk ke sistem keuangan Indonesia memberikan beberapa konsekuensi. Dinamisnya pasar finansial dan pasar modal justru menimbulkan tekanan bagi produktivitas perekonomian, seperti meningkatnya beban anggaran pemerintah karena meningkatnya kewajiban suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) serta kecenderungan terjadinya disintermediasi perbankan. Aliran modal masuk ini sifatnya juga sebagai dana panas karena penempatannya bukan pada direct investment, tapi lebih kepada penempatan pada instrumen investasi yang sifatnya mudah untuk ditarik keluar kembali.5 Bentuk liberalisasi sistem keuangan yang telah diberlakukan di Indonesia ditunjukkan dari pertumbuhan pasar modal yang cukup signifikan. Indikatornya, pasca krisis, IHSG terus melambung dari di bawah 1.000 menjadi 2.400. Angka IHSG ini mencerminkan adanya aliran dana masuk atau keluar sistem keuangan nasional. 4 Inggrid, Log.Cit. 5 Ugie Nugroho, Bank & Liberalisasi Keuangan, diakses dari http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid= 8723&coid=4&caid=33&gid=2 pada tanggal 19 Desember 2011,pkl 17.30

51


Kudeta Putih

Melonjaknya IHSG mengindikasikan sistem keuangan di Indonesia dibanjiri dana dari investor global. Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa sebenarnya liberaliasi di sektor keuangan dan perbankan telah dimulai sejak deregulasi Juni 1983. Dalam hal ini, ketika saat itu

harga minyak anjlok, pemerintah mengandalkan dari ekspor non-migas. Di samping itu, suku bunga pada tahun 1983 dilepas ke pasar dan menarik orang untuk melakukan bisnis di sektor perbankan. Puncak liberaliasi adalah saat dikeluarkannya Pakto 1988. Untuk mendorong peningkatan ekspor, orang dibebaskan mendirikan bank. Dampak dari kebijakan ini adalah bank yang didirikan digunakan untuk mengambil uang. Di samping itu, pengawasan saat itu juga tidak sebanding karena jumlah bank yang banyak. Sehingga yang terjadi saat itu pengawasan terhadap bank tidak bisa mengcover perkembangan bank. Sebagai akibatnya adalah krisis yang terjadi pada tahun 1998 mengkonfirmasi industri perbankan yang dibuat sangat mudah dan sangat cepat, tidak hati-hati, dan melangggar batas maksimum pemberian kredit.6

III.2. Peran Aktor Internasional Dalam Sektor Keuangan dan Perbankan di Indonesia III.2.1. General Agreement on Tariff and Trade (GATS) dan ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS): Komitmen Indonesia di Tingkat Internasional Kerangka untuk menganalisis perdagangan jasa keuangan adalah GATS, yang menyediakan kerangka hukum multilateral untuk lebih dari 95 persen perdagangan dunia dalam jasa keuangan. Jasa keuangan diberikan terutama dalam dua cara, yaitu lintas-perbatasan (mode 1) dan melalui kehadiran suatu bentuk usaha asing (mode 3).7 Fokus utama liberalisasi perbankan di dalam GATS adalah mengenai akses pasar dan perlakuan nasional (National Treatment) yang menginginkan dihilangkannya hambatan di sektor jasa perbankan, khususnya berkaitan dengan : (1) kemudahan masuknya bank asing untuk beroperasi di suatu negara; Â (2) diperbolehkannya investor 6 7

52

Hasil wawancara dengan Ahmad Iskandar, Produser Eksekutif Kabar Pasar TV One, pada tanggal 27 Maret 2012, di TV One pkl. 11.00. Masamichi Kono dan Ludger Schuknecht, “Financial Services Trade, Capital Flows, and Financial Stability�, dalam Staff Working Paper ERAD-98-12, November, 1998, World Trade Organization Economic Research and Analysis Division, Geneva.


Kudeta Putih

asing untuk dapat memiliki saham perbankan hingga 100 %; (3) keberadaan tenaga kerja asing. Hambatan-hambatan ini hanya bisa dihilangkan dengan melakukan harmonisasi regulasi domestik yang berkaitan dengan sektor perbankan.8 Terkait dengan ketentuan dalam GATS tersebut, beberapa contoh bentuk

komitmen Indonesia dalam GATS meliputi:9 1) semua pembatasan akses pasar dan national treatment dalam sektor perbankan akan dihapuskan pada tahun 2020; 2) kepemilikan perusahaan keuangan bukan bank yang tercatat dalam bursa saham, boleh dimiliki oleh investor asing hingga 100 persen; 3) pembatasan perlakuan nasional (national treatment) dalam hal perpajakan yang dikenakan dalam komitmen horizontal tidak berlaku pada sektor perbankan; dan 4) semua perusahaan joint ventures harus menyediakan pelatihan untuk karyawan. Selain GATS, ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS), yang lahir dari KTT ASEAN di Bangkok pada tahun 1995, juga memberikan dasar bagi negaranegara ASEAN untuk melakukan negosiasi pada tujuh bidang jasa, yaitu perbankan, pariwisata, transportasi udara, transportasi laut, telekomunikasi, konstruksi, dan jasa profesional. Komitmen yang dibuat hanya di sektor primer seperti keuangan dan telekomunikasi pada September 1998. Kerangka GATS memberikan dasar bagi negosiasi AFAS dan pendekatan daftar positif yang diadopsi dalam liberalisasi sektor jasa.10 Komitmen Indonesia dengan AFAS (September 1998) dan GATS (Februari 1998) di sektor perbankan (horizontal dan general conditions) meliputi: (i) keterbatasan akses pasar dan perlakuan nasional yang ditentukan akan dihilangkan pada tahun 2010 (2020 untuk GATS), (ii) bank asing dan badan hukum asing yang bekerja sama dengan Indonesia dan / atau badan hukum Indonesia diperbolehkan untuk menetapkan atau memperoleh locally incorporated banks with existing regulations (lisensi baru tidak diizinkan untuk GATS); (iii) kantor cabang bank asing dan bank-bank usaha patungan dapat membuka kantor di kota-kota Jakarta, Surabaya, Semarang, 8

“Rezim Internasional Sektor Keuangan dan Dominasi Modal Asing”, diakses dari http://www.igj.or.id/ index.php?option=com_content&task=view&id=554&Itemid=168 pada tanggal 18 Desember 2011 pk.09.30 9 Lutfiyah Hanin dan Yanuar Nugroho, GATS: Liberalisasi Kehidupan, The Institute for Global Justice, Jakarta Mei 2008, hal.35. 10 Yun-Hwan Kim, “Financial Opening Under The Wto Agreement In Selected Asian Countries: Progress And Issues”, ERD Working Paper No. 24, ADB, September 2002, Hal. 4

53


Kudeta Putih

Bandung, Medan, Denpasar, Batam, Padang, Manado, Ambon, dan di semua ibu kota provinsi lain sesuai dengan kebutuhan yang ada (hanya satu sub-cabang dan satu tambahan kantor per cabang bank asing); (iv) akuisisi bank lokal melalui pembelian saham di bursa saham diperbolehkan hingga mencapai 49 persen (51 persen untuk AFAS) dari saham yang tercatat, dan (v) untuk kehadiran natural persons, orang asing yang dipekerjakan sebagai manajer atau ahli teknis dipersyaratkan untuk memiliki minimal dua warga negara Indonesia sebagai understudies selama jabatannya.11

Komitmen tersebut terlihat sangat liberal. Sebagai contoh, kepemilikan bank domestik oleh investor asing dibatasi maksimal 49 persen pada GATS (51 persen pada AFAS), tetapi Indonesia memungkinkan kepemilikan hingga 99 persen setelah disetujui oleh pemerintah. Berkenaan dengan masuknya bank asing, pemerintah memandang kehadiran bank asing diperlukan untuk menarik lebih banyak dana dari bank-bank tersebut, daripada membatasi ruang lingkup bisnis mereka. Kehadiran natural persons umumnya dilarang kecuali untuk manajer non-Indonesia atau ahli teknis. Temporary entry dapat diberikan kepada ahli teknis atau penasihat dari cabang bank asing untuk bank joint venture selama maksimal tiga bulan per orang untuk setiap tahun tertentu.12 III.2.2. International Monetary Fund (IMF) dan Restrukturisasi Perbankan di Indonesia Krisis ekonomi tahun 1997 yang dialami Indonesia merupakan pintu masuk bagi liberalisasi perbankan di Indonesia. Agenda yang diterapkan IMF kepada Indonesia mengharuskan Indonesia untuk melakukan penyesuaian struktural terhadap seluruh regulasi perbankan. IMF menerapkan persyaratan liberalisasi sektor perbankan yang harus dilakukan Indonesia sesuai dengan kesepakatan di dalam WTO.13 Paket-paket program pemulihan yang disusun IMF dalam program pemulihan ekonomi tersebut adalah program pemulihan dan rehabilitasi sektor industri perbankan. Indonesia diharuskan melakukan deregulasi sektor perbankan. 11 Ibid. 12 Ibid. 13 Ketentuan WTO yang berkaitan dengan sektor perbankan terdapat dalam General Agreement on Trade in Services (Selanjutnya disebut “GATS�) yang merupakan salah satu lampiran (annex) dari Perjanjian WTO. Prinsip-prinsip dasar yang berlaku dalam GATS antara lain yang terpenting adalah Prinsip non diskriminisasi (Most Favoured Nation/MFN), Prinsip national treatment, Transparansi, dan Liberalisasi bertahap.

54


Kudeta Putih

Kesepakatan yang dilakukan antara pemerintah dan IMF yang tercantum pada Memorandum on Economic and Financial Policies (MEFP) 15 Januari, 10 April, dan 25 Juni 1998 dalam rangka penyehatan perekonomian Indonesia, khusus di sektor perbankan antara lain memuat hal-hal:14 a) Menghilangkan seluruh pembatasan kepemilikan bank oleh pihak asing; b) Menghilangkan pembatasan pembukaan kantor cabang bank asing; c) Menghilangkan pembatasan kepemilikan asing pada bank yang telah tercatat di Bursa Efek Jakarta; d) Menghilangkan semua pembatasan pemberian pinjaman oleh bank kecuali untuk alasan prudensial atau dalam rangka mendukung koperasi atau pengusaha kecil; e) Menjamin simpanan masyarakat yang ada di bank nasional; f ) Mendirikan Badan Penyehatan Perbankan Nasional; g) Melakukan merger bank-bank pemerintah; dan h) Mendirikan skema asuransi deposito.

Di sisi lain, agenda restrukturisasi juga menjadi salah satu agenda utama IMF. Dalam hal ini, bank-bank yang memiliki kredit macet harus ditutup, perusahaanperusahaan yang berutang harus dilikuidasi atau diambil alih oleh kreditor. Bank-bank diminta untuk memiliki rasio modal atau rasio kecukupan modal. Namun, desakan agar bank-bank segera memiliki rasio kecukupan modal semakin mempercepat terjadinya krisis. IMF dinilai melakukan kesalahan dalam hal ini. Ketika hanya terdapat satu bank yang bermasalah, maka permintaan untuk segera memenuhi rasio kecukupan modal masih masuk akal. Namun, ketika banyak bank yang bermasalah, kebijakan tersebut semakin memperbesar krisis. Dengan banyaknya bank yang dilikuidasi, sementara bank-bank yang masih bertahan memiliki pinjaman bermasalah sehingga tidak mau menerima nasabah baru, dunia usaha memiliki kesulitan memperoleh kredit. Kebijakan penutupan 16 bank di Indonesia memicu penarikan dana serempak dari bank-bank swasta yang tersisa. Ini merupakan bencana bagi sistem perbankan dan perekonomian Indonesia saat itu.15 Di samping itu, agenda yang diterapkan IMF kepada Indonesia mengharuskan Indonesia melakukan penyesuaian terhadap seluruh regulasi perbankan yang ada. Regulasi perbankan yang berhasil dibuat atas kesepakatan Letter of Intent (LoI) terhadap pinjaman IMF adalah Undang-undang No.10 Tahun 1998 yang menggantikan 14 Zulkarnain Sitompul, “World Trade Organization, International Monetary Fund Dan Perubahan Sistem Perbankan�, dalam Pro Justitia, Tahun XVI Nomor 4 Oktober 1998 15 Joseph E.Stiglitz, Kegagalan Globalisasi dan Lembaga-lembaga Keuangan Internasional, PT. Ina Publikatama, Jakarta, 2012, hal. 160

55


Kudeta Putih

Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan beberapa Paket Kebijakan Peraturan Bank Indonesia yang mendukung pelaksanaan undang-undang tersebut, serta Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1999 tentang Pembelian Saham Bank Umum.16 III.2.3. Basel Committee on Banking Supervision: Kerangka Aturan Internasional di Bidang Perbankan Kondisi perbankan di Indonesia juga dipengaruhi oleh standardisasi perbankan secara internasional yang dibuat oleh Basel Committee on Banking Supervision (BCBS). Standarisasi ini menjadi acuan wajib bagi negara-negara yang menerapkan liberalisasi perbankan. Pada tahun 1988, BCBS mengeluarkan suatu rumusan permodalan yang dapat dijadikan acuan oleh bank dalam menetapkan permodalan yang dilandasi dengan prinsip kehati-hatian dalam memanajemen risiko (Prudential Banking). Rumusan ini dikenal dengan nama Basel Accord (Basel I). Basel I diakui telah berhasil mencapai dua sasaran utama, yaitu menjaga tingkat kecukupan modal dalam sistem perbankan internasional dan menciptakan iklim kompetisi yang lebih seimbang melalui pemeliharaan modal yang cukup di antara perbankan internasional. Namun, pada tahun 1999 (setelah dibahas sejak tahun 1996), BCBS melakukan penyempurnaan terhadap Basel I yang dianggap masih kurang mampu untuk meredam dan menghadapi potensi risiko dari sistem perbankan di masa depan.17 Penyempurnaan Basel I diarahkan untuk membuat kesepakatan modal baru yang tujuan utamanya adalah untuk mengarahkan semua risiko perbankan ke dalam suatu kerangka pemikiran kecukupan modal secara menyeluruh. Kesepakatan modal baru ini dinamakan dengan Basel Capital Accord II (Basel II). Di dalam Basel II ada tiga pilar yang harus diterapkan secara bersamaan. Pertama, syarat modal minimum (minimum capital requirement); kedua, proses review pengawasan bank (supervisory review process); ketiga, disiplin pasar. Pada tahun 1997 BCBS melengkapi lagi Basel II dengan sistem supervisor yang lebih detail sehingga menjadi prinsip-prinsip dasar dalam melakukan supervisi yang bernama Basel Core Principles (BCP). BCP 16 “Rezim Internasional Sektor Keuangan dan Dominasi Modal Asing”, Loc. Cit. 17 “Rezim Internasional Sektor Keuangan dan Dominasi Modal Asing”, dalam Free Trade Watch Edisi IIIOktober 2011

56


Kudeta Putih

diharapkan dapat menjadi rujukan dasar bagi institusi supervisor keuangan/perbankan dan otoritas publik lainnya yang berlaku secara internasional. BCP memiliki 25 acuan dasar perbankan yang telah dikelompokkan ke dalam tujuh prinsip dasar (core principles), yaitu (1) Prinsip prakondisi bagi pengawasan bank yang efektif; (2) Prinsip perizinan dan struktur; (3) Prinsip dan persyaratan ketentuan kehati-hatian; (4) Prinsip metode pengawasan perbankan yang sedang berjalan; (5) Prinsip persyaratan informasi; (6) Prinsip kewenangan pengawas; (7) Prinsip lintas batas perbankan.18

Di samping Basel I dan Basel II, terdapat Basel III yang merupakan sekumpulan aturan yang pada intinya mewajibkan bank untuk menambah modal sebagai bantalan risiko semua aset yang dimiliki. Salah satu ketentuan dalam Basel III menyatakan selambatnya pada tahun 2015 perbankan komersial global harus mampu mengalokasikan sebagian dana sebagai cadangan risiko aset-aset inti (tier 1) yang mereka miliki senilai 4,5 % dari dana pihak ketiga (DPK). Selain itu, mereka juga diwajibkan membentuk semacam kumpulan dana yang diperuntukkan bagi modal penyangga sebesar 2,5 % dari dana DPK. Kewajiban ini harus dilaksanakan pada 1 Januari 2018, sehingga total modal berkualitas yang harus dihimpun bank pada januari 2019 menjadi 7 %.19 Dengan penerapan Basel III, terdapat tiga poin penting yang akan berpengaruh terhadap oprasional bisnis perbankan secara keseluruhan. Pertama, pengaturan capital buffer bagi aset-aset yang dimiliki perbankan komersial. Kedua, kemungkinan pengenaan leverage ratio yang cenderung akan meningkat pada periode-periode yang akan datang. Ketiga, penguatan manajemen likuiditas perbankan. Berkaitan dengan penguatan manajemen likuiditas perbankan, ketentuan Basel III memberikan tiga tahap penerapan hingga tahun 2019.20 Dampak penerapan aturan Basel III dinilai akan memperkuat sisi permodalan perbankan komersial di Indonesia. Namun, di sisi lain, ketentuan Basel III akan mendorong makin tingginya suku bunga kredit.Tingginya suku bunga kredit merupakan konsekuensi atas makin mahalnya biaya modal yang harus ditanggung. Tingginya 18 Ibid. 19 “Regulasi Perbankan, Pedang Bermata Dua Bernama Basel III�, dalam Warta Ekonomi Edisi 20 Th. XXII, 7 Oktober-17 Oktober 2010 20 Ibid.

57


Kudeta Putih

suku bunga kredit perbankan dinilai dapat mengganggu pergerakan roda ekonomi domestik suatu negara. Efek dari penerapan aturan baru perbankan Basel III memiliki implikasi positif dan negatif. Sisi negatifnya adalah kemungkinan munculnya banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor perbankan. Hal ini dapat terjadi karena

aturan perbankan model baru ini akan menjadi semacam seleksi alam bagi bank-bank di suatu negara. Bank yang mampu bertahan adalah bank yang cenderung menjadikan bisnis intinya, bisnis simpan-pinjam, sebagai kekuatan utama penggerak laju usahanya. Di negara berkembang, satu-satunya risiko dari penerapan aturan perbankan baru ini berupa kemungkinan kelangkaan likuiditas. Hal ini berakibat banyaknya bank dengan rasio kecukupan modal yang rendah sangat kesulitan dalam memenuhi aturan baru perbankan global tersebut. Sebagai konsekuensi, perbankan di negara berkembang akan menaikkan tingkat suku bunga kredit. Tingginya suku buga pinjaman akan berpengaruh pada lambatnya laju perekonomian negara-negara tersebut.21 III.2.4. Bentuk Pengaruh Asing Dalam Regulasi Sektor Keuangan dan Perbankan di Indonesia III.2.4.1. UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan PP No. 29 Tahun 1999 tentang Pembelian Saham Bank Umum A. Sejarah dan Prinsip Umum Dengan telah diratifikasinya beberapa perjanjian internasional di bidang perdagangan barang dan jasa, diperlukan penyesuaian terhadap peraturan perundangundangan di bidang perekonomian, khususnya sektor perbankan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, pemerintah memandang perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Pokok-pokok Perbankan menjadi UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan berakibat pada peranan Bank Indonesia dalam kebijakan perbankan mengalami perubahan yang drastis. Perubahan tersebut antara lain mengatur:22 1) 21 Ibid. 22 “Sejarah Bank Indonesia : Perbankan Periode 1997-1999� diakses dari http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/ A6011CBA-1B4E-49B1-9DDC CB01AB6C60D0/19387/SejarahPerbankanPeriode19971999.pdf pada tanggal 10 Januari 2012 pkl. 10.00

58


Kudeta Putih

pengalihan wewenang perizinan di bidang perbankan dari Menteri Keuangan kepada Pimpinan Bank Indonesia; 2) pemilikan bank oleh pihak asing tidak dibatasi tetapi tetap memperhatikan prinsip kemitraan; 3) pengembangan bank berdasarkan syariah; 4) perubahan cakupan rahasia bank yang semula meliputi sisi aktiva dan pasiva dari neraca bank, menjadi nasabah penyimpan dan simpanannya; 5) pembentukan lembaga penjamin simpanan (LPS); dan 6) pendirian badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka penyehatan perbankan.

Dengan amandemen UU No. 7 Tahun 1992 tentang Pokok-pokok Perbankan menjadi UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, wewenang perizinan di bidang perbankan beralih dari Menteri Keuangan kepada Pimpinan Bank Indonesia. Sebagai otoritas pengawas bank, dalam masa krisis, Bank Indonesia menjalankan wewenangnya untuk mengatasi kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha bank. Dalam undang-undang ini juga disebutkan program penyehatan yang dilakukan BPPN adalah khusus terhadap bank-bank yang ditetapkan dan diserahkan oleh Bank Indonesia kepada BPPN. Di luar itu, seluruh otoritas perbankan masih tetap berada di Bank Indonesia.23 Di sisi lain terkait dengan kepemilikan bank oleh pihak asing, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1999 tentang Pembelian Saham Bank Umum. Disebutkan bahwa untuk menciptakan sistem perbankan yang sehat, efisien, tangguh,. dan mampu bersaing dalam era globalisasi dan perdagangan bebas, diperlukan upaya yang dapat mendorong bank memperkuat permodalannya, dengan kemungkinan yang lebih besar bagi masyarakat untuk membeli saham bank. Pasal 3 regulasi ini menyebutkan: “Jumlah kepemilikan saham Bank oleh Warga Negara Asing dan atau Badan Hukum Asing yang diperoleh melalui pembelian secara langsung maupun melalui Bursa Efek sebanyak-banyaknya adalah 99 % (sembilan puluh sembilan per seratus) dari jumlah saham Bank yang bersangkutan.�

23 Ibid.

59


Kudeta Putih

Ketentuan ini berakibat pada kepemilikan asing di sektor perbankan di Indonesia juga sangat dominan. Terdapat 47 bank yang ada kepemilikan asing, tepatnya 10 kantor cabang bank asing, 16 bank campuran, dan 21 bank nasional. Salah satu regulasi yang mendukung hal ini adalah Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1999. 24 PP No. 29 Tahun 1999 yang memungkinkan penguasaan saham bank oleh satu pihak, termasuk asing, hingga 99 persen menjadikan Indonesia satu-satunya negara yang memberikan peluang kepada asing memiliki saham sangat besar di industri perbankan. Padahal di negara-negara lain, pihak asing hanya bisa memiliki saham maksimal 30 persen. PP No. 29 Tahun 1999 memungkinkan bank didominasi oleh satu pemilik sehingga bisa mengatur sendiri operasional bank tanpa diawasi pemilik lain.25 Praktik kepemilikan asing di dalam perbankan Indonesia juga didukung dengan konsep Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang dikeluarkan Bank Indonesia pada 9 Januari 2004. API terdiri atas enam pilar yang secara normatif memiliki tujuan untuk membentuk sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Pilar 1, struktur perbankan yang sehat; Pilar 2, sistem pengaturan yang efektif; Pilar 3, sistem pengawasan yang independen dan efektif; Pilar 4, industri perbankan yang kuat; Pilar 5, infrastruktur pendukung yang mencukupi; Pilar 6, perlindungan konsumen. Salah satu implementasi dari Program API, khususnya Pilar 1 mengenai penguatan struktur perbankan Nasional dan Pilar 3 mengenai peningkatan fungsi pengawasan adalah dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/15/PBI/2005 tanggal 1 Juli 2005 tentang Pemenuhan Modal Inti Minimum Bank Umum agar bank-bank yang beroperasi dapat meminimalkan risiko. Pasal 2 PBI tersebut menyebutkan bank diwajibkan untuk dapat memenuhi modal inti paling sedikit sebesar Rp 80 miliar pada tanggal 31 Desember 2007 dan Rp 100 miliar pada 31 Desember 2010.26 24 Budi Hermana, “Menyoal Kepemilikan Asing di Perbankan Nasional”, diakses dari http://ekonomi. kompasiana.com/moneter/2011/05/30/menyoal-kepemilikan-asing-di-perbankan-nasional/ pada tanggal 17 Desember 2011 pk. 11.00 25 “Bank-bank Plat Merah Dukung Revisi Aturan Kepemilikan Bank”, diakses dari http://www.lppi.or.id/ index.php/module/Blog/sub/9/id/bank-bank-plat-merah-dukung-revisi-aturan-kepemilikan-bank pada tanggal 10 Januari 2012 pkl. 10.45. 26 “Rezim Internasional Sektor Keuangan dan Dominasi Modal Asing”, Log. Cit.

60


Kudeta Putih

Untuk mendapatkan struktur perbankan yang efisien dan efektif, kemudian

dikeluarkan Peraturan Bank Indonesia No.8/16/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Kepemilikan Tunggal Perbankan Indonesia atau Single Presence Policy (SPP)

untuk Bank Umum. Praktik SPP yang sering terjadi adalah dengan menggunakan metode divestasi dibandingkan dengan metode merger atau pembuatan holding company. Kebijakan SPP ini pada akhirnya menimbulkan banyak pergeseran

kepemilikan bank nasional kepada pihak asing, misalnya saja Bank Danamon, BII,

Bank NISP, dan Bank Buana yang saat ini mayoritas sahamnya dimiliki Singapura. Sedangkan investor dari Malaysia menguasai saham Bank Niaga, Bank Lippo, Bank Bumiputera. Investor India menguasai saham Bank Indomonex. Investor Mauritius

mengusai saham BCA. Investor Inggris menguasai saham Bank Permata. Investor Amerika Serikat menguasai saham Bank Century. Investor Australia menguasai Bank Panin dan Bank Muamalat. Investor Jepang menguasai Bank Nusantara Parahyangan.27 B. Peran IMF Dalam Liberalisasi Sektor Perbankan Besarnya kepemilikan asing di sektor perbankan tidak terlepas dari program

yang diberikan IMF. Program IMF dilakukan melalui Letters of Intent (LoI) dan Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP). Program IMF mensyaratkan

keseimbangan antara kebutuhan jangka pendek dan jangka menengah dari restrukturisasi sektor keuangan, yang sering melibatkan langkah dan negosiasi di luar

kendali langsung pemerintah.28 Melalui LoI, Indonesia membuat sejumlah komitmen perubahan struktural sebagai syarat dikucurkannya pinjaman bagi perbaikan neraca

pembayaran, termasuk restrukturisasi perbankan. Misalnya dalam MEFP yang ditandatangani pada 15 Januari 1998, pemerintah membuat sejumlah komitmen terkait

dengan restrukturisasi perbankan. Dalam MEFP tersebut pemerintah berkomitmen

melakukan amandemen dalam UU Perbankan. Amandemen ini dilakukan untuk mendukung program privatisasi secara penuh atas semua bank pemerintah. Dalam

rancangan amandemen ini, batas kepemilikan swasta akan dihapus sehingga pihak

swasta bisa menguasai secara penuh bank pemerintah. Partner asing akan diminta 27 Ibid. 28 “Financial Sector Crisis and Restructuring Lessons from Asia�, diakses dari http://www.imf.org/external/ pubs/ft/op/opfinsec/index.htm pada tanggal 25 Januari 2012 pkl. 20.30.

61


Kudeta Putih

untuk membantu menarik investor swasta lainnya agar mau berpartisipasi dan jadwal program privatisasi ini akan dikonsultasikan dengan IMF dan Bank Dunia.

Agenda utama dari LoI adalah liberalisasi perbankan Indonesia dan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Indonesia menjadi negara paling

liberal karena membolehkan pihak asing menguasai saham bank umum hingga 99 %. Sebagai contoh, 51 % saham BCA telah jatuh ke tangan Farallon Investmen, 65,76 % saham Bank Danamon dikuasai Temasek, 55,60 % saham BII berada di tangan Maybank, BTPN jatuh ke tangan Texas Pasific Group. Hegemoni asing ini sangat mengkhawatirkan, karena membuat pihak asing mempunyai akses yang sangat kuat terhadap data dan jaringan perekonomian dalam negeri. Dampaknya, Indonesia semakin mudah dipenetrasi oleh pihak asing yang mengakibatkan ketergantungan yang semakin kuat kepada pihak asing.29 III.2.4.1. UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 1999 A. Posisi dan Peran Bank Indonesia Kedudukan hukum Bank Indonesia sebagai bank sentral sebelum adanya amendemen UUD 1945 berada di bawah presiden. Saat itu Bank Indonesia dalam kondisi belum independen. Namun, seiring reformasi dan amendemen UUD 1945, Bank Indonesia telah menjadi lembaga independen. Menurut pemerintah, motivasi dan pemberian independensi kepada bank sentral dilakukan untuk melindungi pelaksanaan kebijakan moneter dari campur tangan politik. Adanya bank sentral independen diperlukan proteksi berupa kerangka institusional dan aspek hukum yang mengikat sebagai sumber legitimasi dan kredibilitas dari kemandirian bank sentral. Untuk itu diperlukan ketentuan yang mengatur organisasi bank sentral dan hubungan institusionalnya dengan pemerintah serta menetapkan fungsi dan lingkup kewenangan bank sentral. Dengan demikian, ketentuan tersebut akan menjadi pelindung fungsional dan operasional bagi bank sentral. Di lain pihak, ketentuan tersebut harus mengatur 29 “Hegemoni Kepentingan Asing Dalam Struktur Kekuasaan Ekonomi di Indonesia�, diakses dari http:// www.starbrainindonesia.com/site/journal/11/hegemoni-kepentingan-asing-dalam-struktur-kekuasaan-ekonomidi-indonesia, pada tanggal 12 Januari 2012 pkl. 11.50.

62


Kudeta Putih

tata cara untuk menguji pertanggungjawaban dari tindakan-tindakan yang diambil bank sentral.30 Berdasarkan UU No.23 Tahun 1999, Bank Indonesia adalah bank sentral yang merupakan lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan pemerintah

dan / atau pihak-pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini. Peran Bank Indonesia dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan mencakup:31 1) Menciptakan kebijakan moneter yang kondusif; 2) Melakukan pemantauan terhadap stabilitas sistem keuangan (financial system surveillance); 3) Melakukan koordinasi dan memberikan rekomendasi kebijakan stabilitas sistem keuangan pada otoritas lain, misalnya kepada pemerintah cq Depertemen Keuangan selaku otoritas fiskal,dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK); 4) Menciptakan efisiensi dalam sistem pembayaran dengan terselesaikannya transaksi secara aman dan tepat waktu (safe and robust payment system), antara lain melalui kegiatan desain, operasional, dan pengawasan sistem pembayaran; dan 5) Menyediakan mekanisme Lender of Last Resort (LOLR) dalam upaya menangkal terjadinya kegagalan bank karena liquidity mismatch. Dalam perkembangannya UU No. 23 Tahun 1999 kemudian disempurnakan menjadi menjadi UU No. 3 Tahun 2004. Sebagai lembaga negara yang indepedenden, Bank Indonesia adalah badan hukum yang status badan hukumnya diperoleh melalui penetapan undang-undang. Independensi Bank Indonesia memberikan kewenangan yang lebih besar dengan harapan akan dapat lebih besar meningkatkan efektivitas pelaksanaan tugasnya. Jika dikaitkan dengan independensi bank sentral, maka independensi bank sentral seperti Bank Indonesia terkait hal-hal sebagai berikut: suatu bank sentral yang efektif harus kuat dengan cakupan ekonomi yang luas dalam operasinya dan terlepas dari campur tangan partisan serta tekanan partai politik. Sebagai lembaga independen di lingkungan pemerintahan suatu negara, bank sentral seharusnya memiliki kemampuan atau otoritas atau kewenangan judgment dalam kaitan dengan persoalan kebijakan moneter suatu negara, namun tidak dalam arti 30 “Menunggu Independensi Bank Indonesia�, diakses dari http://www.lampungpost.com/opini/10458menunggu-independensi-bank-indonesia-habis.html pada tanggal 8 Januari 2012, pkl. 15.30 31 Anwar Nasution, Masalah-Masalah Sistem Keuangan Dan Perbankan Indonesia, diakses dari http://www. lfip.org/english/pdf/bali-seminar/Masalah%20sistem%20keuangan%20dan%20perbankan%20-%20anwar%20 nasution.pdf, pada tanggal1Januari 2012 pkl. 13.00

63


Kudeta Putih

berada dalam posisi isolasi terhadap seluruh kebijakan perekonomian suatu negara. Bank Indonesia dituntut mempunyai kemandirian, terutama dalam empat hal, yaitu: kemandirian institusi, kemandirian fungsi, kemandirian keuangan, dan kemandirian organisasi.32 Terkait dengan independensi Bank Indonesia, walaupun posisinya dalam konteks ini independen terhadap pemerintah, Bank Indonesia masih dependen terhadap asing. Misalnya posisi Bank Indonesia terhadap UU Basel yang sangat mencerminkan kepentingan IMF, Amerika Serikat, dan Eropa. Di samping itu, independensi Bank Indonesia dinilai berbahaya karena di sini memiliki otoritas untuk menetapkan nilai tukar.33 Dengan demikian seandainya melihat terjadi ketidakstabilan dalam hal moneter sebagai akibat kebijakan pertumbuhan pemeritah, maka Bank Indonesia akan melakukan pengetatan moneter yang bisa jadi akan menghambat kebijakan pro pertumbuhan pemerintah. A. Peran IMF dan Bank Dunia Dalam Regulasi Bank Indonesia Terkait dengan amandemen yang dilakukan pada UU No. 23 Tahun 1999, perwakilan IMF Asia Pasifik, Anoop Singh, mengadakan pertemuan dengan Ketua Panitia Khusus Amandemen Undang-undang Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999, yaitu Theo F. Toemion. Pertemuan ini membahas independensi Bank Indonesia. Anoop Singh meminta agar amendemen tak dilakukan sekadar untuk mengejar target. Persoalan amendemen ini mendapat perhatian serius IMF karena, menurut Theo F. Toemion, bantuan dana IMF dikaitkan dengan perubahan Undang-undang Bank Indonesia.34 Dalam rangka amandemen UU Bank Indonesia, pemerintah membentuk Dewan Pakar Internasional Bank Indonesia yang terdiri atas empat anggota dan dibentuk pada awal April 2001 seiring dengan desakan IMF untuk menjadikan hal itu sebagai bahan pertimbangan pengucuran dana US$ 400 juta kepada Indonesia. 32 Nindyo Pramono, “Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi Dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan dan Pelaksanaan”, dalam Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 3, September 2010, hal. 1-2. 33 Hasil wawancara dengan Ahmad Iskandar, Log.Cit. 34 “Pemerintah-IMF Sepakat BI Independen”, diakses dari http://berita.liputan6.com/read/6006/pemerintahimf-sepakat-bi-independen pada tanggal 10 Januari 2012 pkl. 07.45.

64


Kudeta Putih

Pinjaman IMF sebesar US$ 400 juta yang tertunda sejak Desember 2000 merupakan cicilan ketiga dari paket bantuan US$ 5 miliar yang dijanjikan untuk membantu Indonesia mengatasi krisis keuangan. Dewan ini dibentuk guna membantu amandemen UU Bank Indonesia dan menyelesaikan tugasnya hingga akhir Mei.35 Sebagai tindak

lanjut amandemen UU Bank Indonesia, maka pada tahun 2004 disahkan UU No. 3 Tahun 2004. Terkait dengan UU Bank Indonesia ini, Bank dunia juga menyatakan pentingnya melakukan amandemen UU Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999, supaya peranan lembaga keuangan non-bank dan bank swasta dapat membantu mengurangi beban negara. Sebagaimana tercatat di dalam Development Policy Loan (DPL), sekitar 80 persen aset perbankan dikuasai oleh negara sebelum pemerintah melakukan amandemen UU No. 23 Tahun 1999. 36 III.2.4.2. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) A. Prinsip Umum OJK Dalam rangka mengupayakan meningkatnya efisiensi, keamanan, dan kestabilan di sektor jasa keuangan di bidang pengawasan bank, maka paradigma pola pengawasan bank diubah. Pengawasan bank yang semula didasarkan pada pola pendekatan pengawasan institusional, oleh UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia diubah menjadi pola pendekatan pengawasan fungsional. Berkenaan dengan itu, maka Pasal 34 UU No. 23 Tahun 1999 mengamanatkan perlunya pemisahan fungsi otoritas moneter dan sistem pembayaran di satu sisi dengan fungsi pengawasan dan pembinaan bank di sisi lainnya. Dengan demikian, sesuai dengan amanat undangundang tersebut, Bank Indonesia selaku bank sentral hanya akan menjalankan otoritas di bidang kebijakan moneter dan sistem pembayaran, sedangkan otoritas di bidang 35 “IMF Gembira BI Bentuk Dewan Pakar Internasional:, diakses dari http://www.tempointeractive.com/hg/ ekbis/2001/05/24/brk,20010524-12,id.html padatanggal10 Januari 2012 pkl. 15.50 36 Bank Dunia, Program Document, On A Proposed Loan, In Amount of $300 Million to the Republic of Indonesia for a First Development Policy Loan, 2004. Hal. 34

65


Kudeta Putih

pengawasan dan pembinaan bank akan dilakukan oleh sebuah lembaga independen (OJK).37 Dalam UU No. 21 Tahun 2011 dijelaskan bahwa OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan. Tujuan pembentukan OJK adalah agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan a. terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; b. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan c. mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: a. kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan; b. kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal; dan c. kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.

Sasaran penyatuan seluruh institusi pengaturan dan pengawasan ke dalam OJK dinilai pemerintah dapat menciptakan efektivitas pengaturan sektor jasa keuangan yang diyakini menjadi sumber utama dalam rangka pencapaian efisiensi mekanisme pasar industri keuangan di Indonesia. Berdasarkan pengalaman dari berbagai negara, yaitu Belgia, Denmark, Finlandia, Prancis, Luxemburg, Swedia, Swiss, Meksiko, Peru, Kanada, Venezuela, Panama, China, Selandia Baru, dan Singapura, pengalihan fungsifungsi pengawasan dari bank sentral ke lembaga pengatur secara umum dilakukan secara sekaligus, kecuali Australia, Korea, Jepang, Inggris, Jerman, dan China yang dilakukan secara bertahan, yaitu berkisar 3 hingga 7 tahun.38 Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan, OJK mempunyai wewenang: a. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi: 1) perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran 37 Anwar Nasution, “Stabilitas Sistem Keuangan : Urgensi, Impllkasi Hukum, Dan Agenda Kedepan”, diakses dari http://Www.Lfip.Org/English/Pdf/Bali-Seminar/Masalah%20sistem%20keuangan%20dan%20 perbankan%20-%20anwar%20nasution.Pdf, pada tanggal 19 Januari 2012, Pkl.20.00 38 Andika Hendra Mustaqim, “Otoritas jasa Keuangan Sebagai Solusi Sistem Ekonomi Nasional” dalam Perspektif Volume VIII No.I Maret 2010.

66


Kudeta Putih

dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; 2) kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa. b. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank, meliputi: 1) likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank; 2) laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; 3) sistem informasi debitur; 4) pengujian kredit (credit testing); dan 5) standar akuntansi bank. c. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi: 1) manajemen risiko; 2) tata kelola bank; 3) prinsip mengenal nasabah dan anti-pencucian uang; 4) pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan 5) pemeriksaan bank. Terkait dengan tugas dan wewenang OJK, undang-undang mengenai OJK ini dinilai sangat liberal karena cenderung mengarah pada pengurangan kontrol negara dalam sektor keuangan, mengurangi kewenangan Bank Indonesia atas kontrol sektor keuangan.39 Dengan adanya undang-undang ini, maka peran Bank Indonesia sebagai otoritas tunggal pengawas dan pengatur bank yang diemban sejak tahun 1953 beralih ke lembaga baru ini paling lambat akhir tahun 2013 atau awal 2014. Institusi baru ini juga akan mengambil alih fungsi, tugas, dan wewenang Bapepam-LK, salah satu lembaga dalam Kementerian Keuangan, dalam pengaturan dan pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan non-bank selambat-lambatnya akhir tahun 2012. Secara normatif kehadiran OJK dinilai paling tidak menawarkan empat kemanfaatan, yaitu pencapaian economies of scope pengawasan sektor keuangan; mengurangi kecenderungan moral hazard dari produk lintas lembaga; penciptaan basis data sektor keuangan yang terintegrasi; dan mengakhiri dualisme otoritas keuangan antara Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan karena otoritas tersebut sekarang menjadi domain OJK.40 39 “Fraksi PDIP Menilai UU OJK Terlalu Liberal�, diakses dari http://bisniskeuangan.kompas.com/ read/2011/12/26/14412257/Fraksi.PDIP.Menilai.UU.OJK.Terlalu.Liberal, pada tanggal 9 Januari 2012 pkl. 14.50. 40 “Bom Waktu OJK�, dalam Majalah Manajemen Resiko Stabilitas Perbankan No. 66 Desember 2011 Th.VI.

67


Kudeta Putih

OJK dapat dikatakan tempat para “dewa” karena kepentingan IMF, Bank Dunia, negara-negara investor,. serta kepentingan para elite Indonesia ada di situ. OJK yang merupakan gabungan lembaga pengawasan, asuransi, pasar modal, leasing, multifinance, merupakan lembaga yang memiliki peran sangat besar. Di samping itu, lembaga baru ini sangat membutuhkan biaya yang banyak dari segi gaji, gedung baru, dan sebagainya.41 B. Peran IMF Dalam Pembentukan Regulasi OJK Ide pembentukan lembaga pengawasan di sektor keuangan sebenarnya sudah mulai ada sejak tahun 1999. Hal ini terdapat dalam Pasal 34 UU No. 23 Tahun 1999. Pasal 34 menjelaskan bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan undangundang. Pembentukan lembaga pengawasan akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002. Pembentukan lembaga ini dipertegas dengan adanya komitmen Indonesia dalam LoI dengan IMF tertanggal 13 Desember 2001, di mana pemeritah akan membuat timetable yang jelas untuk pembentukan OJK. Terkait dengan komitmen ini, perwakilan IMF di Indonesia, David Nellor, meminta DPR membantu pemerintah dalam upaya menyelesaikan pembahasan RUU OJK sesuai LoI yang disepakati 18 Maret 2003.42 Tindak lanjut dari komitmen ini, pada 22 November 2011, telah disahkan dan diundangkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK), Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253.43 C. Peran Asian Development Bank dan Bank Dunia dalam Pembentukan Regulasi OJK ADB merupakan salah satu lembaga donor yang mendukung terbentuknya OJK. ADB mendukung rencana pemerintah Indonesia untuk membentuk lembaga 41 Hasil wawancara dengan Ahmad Iskandar, Log.Cit.. 42 “IMF: Percepat Pembahasan RUU OJK”, diakses dari http://www.pelita.or.id/baca.php?id=15075 pada tanggal 10 Januari 2012 pkl. 13.30 43 Kementerian Keuangan Republik Indonesia, “Keterangan Pers Pengundangan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan”, diakses dari http://www.depkeu.go.id/ind/Data/Siaran_Pers/ OJK09122011.pdf pada tanggal 8 Januari 2012 pkl. 21.00

68


Kudeta Putih

OJK dalam bentuk memberikan pinjaman dan menggalang dana dari negara-negara donor. Namun, syaratnya, pemerintah harus mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR. Sebagaimana diungkapkan Head Principal Financial Sector Specialist ADB, Michael W. Ryan, bahwa ADB menyiapkan dana dalam program pinjamannya

(loan) kepada pemerintah mengenai rencana pembentukan OJK. Sebagai dukungan pada rencana pembentukan OJK, ADB bekerja sama dengan negara-negara donor lainnya akan memastikan perencanaan dan jadwal pembentukan OJK konsisten atau tidak dengan lembaga yang lainnya, antara lain dengan blankeed guarantee. Michael W. Ryan menyatakan fungsi OJK sangat penting guna memperbaiki sistem regulasi dan supervisi perbankan.44 Pada tahun 2001, atas permintaan pemerintah Indonesia, ADB memberikan dukungan penasihat untuk merumuskan kerangka kelembagaan dan hukum dalam menetapkan OJK melalui TA 3620-INO2 (Development of a Financial Services Supervisory Institution). Sebagai otoritas publik yang independen, OJK akan bertanggung jawab atas konsolidasi pengaturan dan pengawasan bank, Non-Bank Financial Institutions (NBFIs), dan pasar modal. Pada tahun 2002 ADB menyediakan dana sebesar US$ 1,5 juta dari Source of Funding Asian Currency Crisis Support Facility (ACCSF) untuk mendukung pembentukan dan pelaksanaan OJK. Dua Technical Assistance (TAs), yaitu TA3620-INO dan TA3850-INO (Establishment of a Financial Services Authority) bersama-sama akan memberikan dukungan teknis yang berkesinambungan dan penting untuk pemerintah dalam membuat desain yang kompleks serta implementasi OJK. Tujuan utama bantuan teknis (TA) adalah:45 “The overall goal of the TA was to consolidate and strengthen the regulatory and supervisory framework by supporting the establishment of the OJK to provide effective and efficient oversight for the financial sector. The OJK would have the necessary mandate and functions; and appropriate governance, administrative structures, policies, procedures and regulations. The TA’s planned outputs were generally to support the orderly transition 44 “RUU OJK Harus Segera Diajukan Ke DPR” dalam Suara Karya 18 Juni 2003 45 “ADB Technical Assistance Completion Report: TA 3850-INO: Establishment of a Financial Services Authority”, diakses dari http://www.adb.org/Documents/TACRs/INO/35499-INO-TCR.pdf pada tanggal 14 Januari 2012 pkl.08.00

69


Kudeta Putih

from a multiagency to a single agency model for financial regulation and supervision. These included drafting and supporting implementation of OJK’s regulations, initial operating budget, fee structures; organization, information technology, human resources and staff training plans. The TA was also designed to provide technical support and advice in steering the legislation through Parliament and in introducing key features to industry professionals and the Government�.

[Tujuan keseluruhan dari TA ini adalah untuk mengkonsolidasikan dan

memperkuat kerangka peraturan dan pengawasan dengan mendukung pembentukan OJK untuk memberikan pengawasan yang efektif dan efisien bagi sektor keuangan. OJK akan memiliki mandat dan fungsi yang penting, dan tata pemerintahan yang tepat, struktur administratif, kebijakan, prosedur dan peraturan. Output yang direncanakan dalam TA ini pada umumnya untuk mendukung transisi dari multiagensi menjadi model agen tunggal untuk regulasi dan pengawasan keuangan.Ini termasuk merancang dan mendukung pelaksanaan peraturan OJK, anggaran operasi awal, struktur biaya, organisasi, teknologi informasi, sumber daya manusia dan rencana pelatihan staf. TA tersebut juga dirancang untuk memberikan dukungan teknis dan saran dalam mengarahkan undangundang melalui parlemen dan dalam memperkenalkan fitur kunci untuk profesional di bidang industri dan pemerintah] Di samping itu, Loan 1965-INO mengenai program Financial Governance and Social Security Reform (FGSSR) digunakan untuk mendukung finalisasi dan pengajuan draf hukum OJK pada bulan Mei 2003. Pembentukan OJK dipertimbangkan untuk dilakukan dalam dua tahap, yaitu (i) persiapan bekerja untuk pembentukan OJK dan meninjau kebutuhan untuk restrukturisasi dan penguatan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan, Departemen Keuangan, dan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) untuk memfasilitasi konsolidasi ke dalam OJK, dan (ii) penguatan lebih lanjut pengawasan dan pengaturan sektor keuangan dengan pengembangan kapasitas OJK.46 46 Ibid.

70


Kudeta Putih

Tujuan keseluruhan dari bantuan teknis yang diberikan ADB adalah untuk mengkonsolidasikan dan memperkuat kerangka peraturan dan pengawasan dengan mendukung pembentukan OJK untuk memberikan pengawasan yang efektif dan efisien di sektor keuangan. Output yang diharapkan dari bantuan teknis (TA) ADB adalah untuk mendukung transisi dari model multiagency mejadi model single agency untuk regulasi keuangan dan pengawasan. Di dalamnya termasuk penyusunan dan dukungan untuk pelaksanaan peraturan OJK, anggaran operasional awal, struktur biaya, organisasi, teknologi informasi, sumber daya manusia, dan rencana pelatihan staf. TA juga dirancang untuk memberikan dukungan teknis dan saran dalam mengarahkan regulasi di tingkat parlemen dan dalam memperkenalkan fitur kunci undang-undang ini untuk profesional di bidang industri dan pemerintahan.47 Selain ADB, Bank Dunia menjadi salah satu lembaga finansial internasional yang terlibat dalam proses pembentukan OJK. Undang-undang OJK merupakan salaph satu rekomendasi kebijakan yang disebutkan secara eksplisit dalam program Development Policy Loan (DPL) ketiga. Development Policy Loan edisi ketiga diluncurkan Bank Dunia pada 20 November 2006.48 Nominal bantuan berkisar US$ 600 juta diberikan Bank Dunia kepada pemerintah Indonesia sebagai bagian dari paket pinjaman DPL yang di dalamnya mensyaratkan percepatan realisasi Undangundang OJK. Berikut kutipan dokumen program DPL edisi ketiga: “The Bank Indonesia Law no. 23/1999 was amended in 2003 with the objective of transferring the supervisory role of the banking sector from Bank Indonesia to OJK by the end of 2010.� 49 [UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia telah diubah pada tahun 2003 dengan tujuan untuk mentransfer fungsi pengawasan perbankan dari Bank Indonesia kepada OJK pada akhir tahun 2010]

47 Ibid. 48 Bank Dunia, 2006. Lihat lebih lanjut pada Program document, on a proposed loan, in amount of $600 million to the republic of Indonesia for a third development policy loan, , hal. 32 49 Bank Dunia. Op., cit hal 33.

71


Kudeta Putih

Bank Dunia memandang salah satu penyebab Indonesia terkena imbas krisis Asia tahun 1997 adalah kurang berkembangnya institusi finansial non-bank. Dengan Undang-undang OJK, maka peranan lembaga finansial non-bank akan mengurangi beban negara dalam pengelolaan keuangan. Bagi Bank Dunia, pembentukan Undangundang OJK juga diyakini akan membantu peningkatan iklim investasi di Indonesia.

III.2.4.3. UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial A. Prinsip dan Pengelolaan Jaminan Sosial Undang-undang No. 40 Tahun 2004 menyebutkan jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Sedangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara jaminan sosial. Sistem Jaminan Sosial Nasional bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan / atau anggota keluarganya. Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan pada prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dan amanat, serta hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta. Program jaminan sosial menurut undang-undang tersebut meliputi: jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial dibentuk dengan undang-undang. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial meliputi Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja ( Jamsostek), Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen), Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI), dan Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (Askes). Untuk penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional dengan undang-undang ini dibentuk Dewan Jaminan Sosial Nasional.

72


Kudeta Putih

Implementasi UU No. 40 Tahun 2004 pasca putusan Mahkamah Konstitusi memerlukan penyelesaian beberapa agenda, meliputi agenda bidang regulasi, agenda bidang pengorganisasian, pembangunan peran serta pemangku kepentingan, serta perluasan kepesertaan dan manfaat program jaminan sosial. Salah satu agenda regulasi

yang dimaksud adalah penyusunan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Sedangkan agenda pengorganisasian SJSN meliputi 1) Mempercepat pembentukan Dewan Jaminan Sosial Nasional; 2) Memberikan dasar hukum pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; dan 3) Mempersiapkan peralihan PT Jamsostek, PT Askes, PT Taspen, dan PT ASABRI menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.50 Pada Oktober tahun 2011 DPR dan pemerintah mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menjadi undang-undang. Secara subtansi, UU BPJS mengatur kewajiban negara untuk memberikan lima jaminan dasar bagi rakyatnya. BPJS I yang akan mengatur tentang jaminan kesehatan, di mana PT Askes akan ditransformasi menjadi badan hukum baru yang bersifat nirlaba. Selain itu ada BPJS II yang akan mengatur tentang kecelakaan kerja, kematian, pensiun, dan tunjangan hari tua. Pelaksanaannya nantinya akan mentransformasi tiga BUMN, yakni Jamsostek, ASABRI, dan Taspen. BPJS I akan dilaksanakan mulai 1 Januari 2014. Sedangkan BPJS II badan hukumnya dibentuk pada 1 Januari 2014 dan selambat-lambatnya pada Juli 2015 harus sudah dilaksanakan.51 Dalam perjalanannya Undang-undang SJSN menimbulkan kontroversi di masyarakat. Setidaknya terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan. 1) Asas kepesertaan. Asas ini berarti bahwa setiap orang yang menjadi peserta berhak mendapatkan jaminan sosial dan sebaliknya setiap orang yang tidak terdaftar tidak berhak atas jaminan sosial. 2) Kelembagaan yang melaksanakan jaminan sosial, yaitu badan hukum yang otonom. Ini berarti jaminan sosial diselenggarakan secara mandiri oleh badan hukum tersebut, baik menyangkut sumber dana maupun alokasi anggarannya. 3) Sumber pendanaan jaminan sosial yang bersumber dari premi yang dibayarkan peserta. Dikarenakan kepesertaan bersifat wajib, maka dalam tahap awal untuk 50 “Agenda Pengimplementasian UU No. 40 Tahun 2004”, diakses dari http://www.djsn.go.id/home/22-agendapengimplementasian-uu-no-40-tahun-2004-.html pada tanggal 27 Januari 2012 pkl. 11.00. 51 “Undang Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial disahkan”, diakses dari http://yustisi.com/2011/10/ undang-undang-badan-penyelenggara-jaminan-sosial-disahkan/ pada tanggal 28 Januari 2012, pkl. 12.30.

73


Kudeta Putih

jaminan kesehatan, anggarannya akan ditanggung oleh negara dan disesuaikan dengan kemampuan negara.52 Undang-undang yang mengatur SJSN dinilai telah mengadopsi prinsipprinsip pengelolaan jaminan sosial secara swasta, baik dari sudut pandang teori ekonomi maupun menurut terminologi UUD 1945. Pembentukan UU No. 40 Tahun 2004 diindikasikan melibatkan pembiayaan yang berasal dari utang luar negeri dari tiga lembaga keuangan internasional, yaitu IMF, Bank Dunia, dan ADB. Ide dasar membentuk jaminan sosial di bawah program Financial Governance and Social Security Reform (FGSSR) dan mendudukkan lembaga jaminan sosial di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan bukti bahwa program jaminan sosial menyatu dengan pasar keuangan.53 B. Peran ADB dan Bank Dunia Dalam Regulasi Sistem Jaminan Sosial Nasional Pada 10 Desember 2002 ADB menyetujui program kluster, Financial Governance and Social Security Reform Program (FGSSR) dan pinjaman pertama (FGSSR-I) sebesar US$ 250 juta dari sumber modal ADB. FGSSR dibangun atas pinjaman 1618-INO: Financial Governance Reforms: Sector Development Program (FGRSDP), yang dikembangkan untuk membantu Indonesia mengatasi dampak dari krisis keuangan Asia tahun 1997. FGSSR dirancang untuk membawa reformasi dalam memperkuat sektor keuangan, peningkatan transparansi, dan penegakan peraturan, audit perusahaan, dan kerangka hukum sebagai upaya melawan korupsi dan pencucian uang. FGSSR I bertujuan untuk mendukung kerangka kerja yang luas dalam memperkuat sektor keuangan dan sistem jaminan sosial.54 Kontribusi ADB dalam regulasi SJSN dapat dilihat misalnya dalam Technical Assistance (TA) 4024-INO tentang Financial Governance and Social Security Reform. Bantuan teknis (TA) adalah bagian dari dukungan lanjutan dari ADB 52 “Jaminan Sosial, Nasib Buruh dan Kegagalan Rezim SBY”, dalam Free Trade Watch Edisi II Juli 2011, hal. 137. 53 Salamuddin Daeng, “Krisis Utang AS: Sebuah Pelajaran Tentang Privatisasi Jaminan Sosial”, dalam Free Trade Watch Edisi Oktober 2011 54 ADB Cpmpletion Report, Project Number: 33399 Loan Number: 1965 November 2006, “Indonesia: Financial Governance and Social Security Reform Program”, diakses dari http://www.adb.org/Documents/ PCRs/INO/33399-INO-PCR.pdf, pada tanggal 28 Januari 2012, pkl. 09.00

74


Kudeta Putih

kepada pemerintah Indonesia untuk mengatasi dampak fiskal dari krisis keuangan Asia dengan memperkuat pasar modal domestik dengan penguatan regulasi dan pengawasan. Program reformasi jaminan sosial bertujuan untuk memfasilitasi transisi menuju pembentukan otoritas regulasi di sektor keuangan dan pengawasan dan untuk mendukung pengembangan sistem jaminan sosial nasional. Bantuan teknis ini bertujuan untuk mendukung pelaksanaan kunci reformasi sektor keuangan di bawah program pinjaman, yang berfokus pada penguatan sektor asuransi dan jaminan sosial pada pembangunan. Tujuan bantuan teknis ini adalah:55 “The aimed impact of the project was to strengthen financial sector governance and the social security system in order to facilitate broad-based economic growth and reduce vulnerability to crises. The aimed outcome of the TA was to support (i) the restructuring of the insurance sector and (ii) the development of a national social security system. The TA focused on: (i) the assessment of the financial condition of the insurance sector; (ii) a feasibility study for social security reform; (iii) a stakeholder consultation on social security; (iv) the preparation of legislation and regulations for the national social security system law; (v) the development of a unified identification system for national social security; (vi) a public education campaign on social security; (vii) training for key officials in core concepts of social security administration; (viii) the development of the actuarial profession�. [Tujuan dari proyek ini adalah memperkuat sektor keuangan pemerintahan dan sistem jaminan sosial dalam rangka memfasilitasi pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kerentanan terhadap krisis. TA tersebut bertujuan untuk mendukung (i) penilaian kondisi keuangan sektor asuransi, (ii) studi kelayakan untuk reformasi jaminan sosial; (iii) konsultasi stakeholder di bidang jaminan sosial; (iv) penyusunan undang-undang dan peraturan untuk hukum sistem keamanan sosial nasional; (v) pengembangan sistem identifikasi terpadu untuk jaminan 55 ADB Technical Assistance Completion Report, TA 4024-INO: Financial Governance and Social Security Reform.

75


Kudeta Putih

sosial nasional; (vi) kampanye pendidikan publik tentang keamanan sosial; (vii) pelatihan bagi pejabat kunci dalam konsep inti administrasi jaminan sosial; dan (viii) pengembangan profesi aktuaria] Dukungan ADB terhadap SJSN diberikan dalam dua tahap. Selama tahap

pertama, dukungan diberikan dalam penyusunan Rancangan Undang-undang SJSN. Pada tahap kedua, menyediakan penilaian fiskal dan tata kelola sistem jaminan sosial, yang mengarah ke sebuah rancangan roadmap yang menguraikan secara bertahap pengembangan sistem jaminan sosial yang berkelanjutan. Temuan dari studi dan rancangan roadmap dibagikan kepada Departemen Keuangan.56 Di samping itu, dalam Project Number: 42461 Policy and Advisory Technical Assistance, Desember 2008, juga dijelaskan bahwa ADB telah mendukung reformasi jaminan sosial dan persiapan pembentukan Undang-undang SJSN di Indonesia melalui bantuan teknis dan dukungan program. ADB memberikan bantuan untuk mengembangkan konsep desain dari sistem jaminan sosial. Pemerintah Indonesia telah meminta ADB untuk memberikan konsultasi tambahan bantuan teknis untuk menyelesaikan desain sistem, termasuk kontribusi dan struktur manfaat, dan aspek dukungan implementasi. Hal ini seperti terdapat pada kutipan:57 “The Asian Development Bank (ADB) has supported social security reform and preparation of the National Social Security System (SJSN) law in Indonesia through technical assistance (TA) and program support. Currently, ADB is providing assistance to develop a draft white paper on the design of the social security system”. [Asian Development Bank (ADB) telah mendukung reformasi jaminan sosial dan persiapan hukum Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) di Indonesia melalui bantuan teknis (TA) dan dukungan program. Saat ini, ADB memberikan bantuan untuk mengembangkan rancangan white paper pada desain sistem jaminan sosial] 56 Ibid. 57 ADB Technical Assistance Report, Project Number: 42461 Policy and Advisory Technical Assistance December 2008, “Republic of Indonesia: Social Security Reform and Economic Modeling Capacity Building”, diakses dari http://www.adb.org/Documents/TARs/INO/42461-INO-TAR.pdf, pada tanggal 27 Januari 2012 pkl. 11.30.

76


Kudeta Putih

Dalam hal ini pemerintah perlu meningkatkan kemampuan untuk mengantisipasi berbagai permasalahan terkait dengan kemiskinan, makroekonomi, dan fiskal. Oleh karena itu, pemerintah juga meminta bantuan untuk memperkuat kapasitas di daerah-daerah. Dampak yang diharapkan dari bantuan teknis ADB

adalah pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif yang mendukung pemerintah dalam menerapkan sistem perlindungan yang lebih efisien dan berkelanjutan. Hasil yang diharapkan dari bantuan teknis ini untuk meningkatkan reformasi jaminan sosial pemerintah dan kapasitas pemantauan makroekonomi. Total biaya bantuan teknis itu diperkirakan US$ 960.000 dengan dukungan dana dari ADB US$ 800.000, yang dibiayai secara hibah melalui program pendanaan ADB untuk bantuan teknis. Dalam hal ini, pemerintah akan memberikan in-kind contribution setara dengan US$ 160.000 melalui penyediaan counterpart staf, ruang kantor dan utilitas, pelayanan administrasi, dan fasilitas fisik.58 Output utama yang diharapkan adalah (i) desain akhir dari sistem jaminan sosial, termasuk kontribusi dan manfaat struktur, dan dukungan untuk implementasi dari sistem; (ii) dukungan pembangunan kapasitas pada Risk Management Unit (RMU) untuk meningkatkan kapasitas staf dalam menganalisis implikasi fiskal dan efek economywide dari reformasi jaminan sosial; dan (iii) dukungan untuk pemerintah dalam meningkatkan sistem pemantauan ekonomi untuk mengantisipasi berbagai permasalahan yang timbul akibat kemiskinan yang signifikan, ekonomi makro, dan implikasi fiskal. Untuk menjamin keberlanjutan program ini, para konsultan akan memberikan (i) pelatihan formal untuk 10 hingga 15 staf the Fiscal Policy Office (FPO) dan RMU, (ii) on-site training and mentoring bagi trainee, dan (iii) bantuan penggunaan model dan sistem pemantauan ekonomi. Tim ADB akan memonitor kemajuan upaya pembangunan kapasitas dan menyediakan umpan balik yang diperlukan untuk mencapai hasil yang dimaksudkan.59 Upaya untuk mempersiapkan pelaksanaan SJSN telah diintensifkan sejak tahun 2007 dan ADB telah mendukung pemerintah melalui analisis staf untuk mempersiapkan serangkaian studi latar belakang untuk meninjau program yang ada

dan menghitung biaya fiskal program yang diusulkan dan ditetapkan dalam UU SJSN. 58 Ibid. 59 Ibid.

77


Kudeta Putih

ADB memberikan bantuan pada pegembangan rancangan desain dari semua lima program asuransi sosial. Rancangan ini menyediakan peta jalan dan masukan untuk penyusunan peraturan pelaksanaan hukum SJSN.60 Di samping ADB, Bank Dunia juga memberikan kontribusi terhadap

terbentuknya Undang-undang SJSN. Bank Dunia pada tahun 2006 mengeluarkan program Development Policy Loan (DPL) edisi keenam. Nominal yang dipinjamkan Bank Dunia kepada Indonesia guna implementasi program dalam DPL keenam adalah senilai US$ 750 juta. Dalam DPL keenam Bank Dunia melakukan perubahan terhadap agenda sebelumnya. Stabilitas makroekonomi, yang disebut dalam edisi sebelumnya, tidak lagi menjadi fokus Bank Dunia dengan asumsi bahwa kondisi makroekonomi Indonesia telah stabil. Oleh karena itu, Bank Dunia merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk lebih fokus pada “pelayanan publik� (public service). Salah satu rekomendasi kebijakan yang ditawarkan Bank Dunia sebagai manifestasi pelayanan publik adalah supaya pemerintah segera mempercepat realisasi Undangundang No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN. 61 Menurut DPL edisi keenam, ada dua keuntungan yang akan diperoleh Indonesia jika membuat Undang-undang SJSN. Pertama, memiliki keterbukaan finansial dan pasar modal yang stabil sehingga membuat kepercayaan bagi investor untuk menananamkan modal. Kedua, menghindari depresiasi mata uang dan memberikan perlindungan ekonomi bagi kelompok masyarakat di bawah garis kemiskinan.62 Pada DPL edisi ketujuh, Bank Dunia kembali merekomendasikan pentingnya Undang-undang No. 40 tentang SJSN bagi agenda pelayanan publik. DPL edisi ketujuh yang dikeluarkan pada 21 oktober 2010 menyetujui paket bantuan senilai US$ 600 juta.63

60 Ibid. 61 Bank Dunia, 2009. Report No. 50149-ID. Program document, on a proposed loan, in amount of $750 million to the republic of Indonesia for a sixth development policy loan, hal 22 62 Ibid hal. 22 63 Bank Dunia, 2010. Report No: 57111-ID Program document, on a proposed loan, in amount of $600million to the republic of Indonesia for a seventh development policy loan. Hal.41.

78


Kudeta Putih

III.3. Implikasi Pengaruh Asing Dalam Liberalisasi serta Regulasi di Sektor Keuangan dan Perbankan Pengaruh asing dalam regulasi di sektor keuangan dan perbankan memberikan

sejumlah implikasi bagi sektor perbankan dan keuangan di Indonesia. Dalam hal ini beberapa implikasi dilihat dari dampak lahirnya beberapa undang-undang yang telah dijelaskan sebelumnya, seperti undang-undang di bidang perbankan, Bank Indonesia, OJK, ataupun SJSN. Pengaruh asing dalam sektor keuangan perbankan juga dilihat dari indikasi kerterlibatan aktor-aktor internasional dalam regulasi di sektor ini seperti IMF, Bank Dunia, dan ADB. Seperti dijelaskan dalam sub-bab di atas, indikasi keterlibatan lembaga-lembaga ini dilakukan melalui beberapa bentuk, baik dalam bentuk internalisasi hukum nasional maupun dalam bentuk bantuan teknis. Berikut ini tabel yang merangkum kontribusi aktor-aktor tersebut: Tabel III.1. Kontribusi Aktor Internasional Dalam Regulasi Sektor Keuangan dan Perbankan Undangundang UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Kontribusi Aktor Internasional Aktor

Program/Aturan

Saran/Implementasi

IMF

LoI tanggal 13 Desember 2001

Pemeritah akan membuat timetable yang jelas bagi pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

ADB

TA 3620-INO2 (Development of a Financial Services Supervisory Institution) dan TA3850-INO (Establishment of a Financial Services Authority)

Memberikan dukungan teknis yang berkesinambungan dan penting untuk pemerintah dalam membuat desain yang kompleks serta implementasi OJK

Loan 1965-INO mengenai program Financial Governance and Social Security Reform (FGSSR)

Mendukung finalisasi dan pengajuan draft hukum OJK pada bulan Mei 2003

Development Policy Loan edisi ketiga tanggal 20 November 2006

Sebagai bagian dari paket pinjaman DPL yang didalamnya menyaratkan percepatan realisasi UU OJK.

Bank Dunia

79


Kudeta Putih

Undangundang UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)

Kontribusi Aktor Internasional Aktor ADB

Bank Dunia

Program/Aturan

Saran/Implementasi

Financial Governance and Social Security Reform Program I (FGSSR-I) dibangun atas pinjaman 1618-INO: Financial Governance Reforms: Sector Development Program (FGRSDP)

Mendukung kerangka kerja yang luas dalam memperkuat sektor keuangan dan sistem jaminan sosial

Technical Assistance (TA) 4024-INO tentang Financial Governance and Social Security Reform

Memperkuat sektor keuangan pemerintahan dan sistem jaminan sosial dalam rangka memfasilitasi pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kerentanan terhadap krisis

Project Number: 42461 Policy and Advisory Technical Assistance, Desember 2008

ADB memberikan bantuan untuk mengembangkan konsep desain dari sistem jaminan sosial

Development Policy Loan (DPL) edisi keenam dan DPL Edisi Ketujuh

Pemerintah segera mempercepat realisasi UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Sumber: Rangkuman Tim Peneliti

Kebijakan pemerintah di bidang perbankan terkait pembelian saham bank umum membawa akibat semakin banyak bank asing yang beroperasi di Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dengan adanya PP No. 29 Tahun 1999 tentang Pembelian Saham Bank Umum, kepemilikan asing di sektor perbankan di Indonesia menjadi sangat dominan. Dibandingkan dengan sektor-sektor industri lain, perbankan dan keuangan menempati daftar paling atas dalam hal keuntungan dan pendapatan.64 Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila banyak bank asing yang membuka cabang di Indonesia. Bahkan, bank atau investor asing kemudian membeli bank-bank nasional ataupun lembaga keuangan nasional lainnya, tak terkecuali Malaysia. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kepemilikan asing sudah ada di 47 bank dengan perincian 10 kantor cabang bank asing (induknya di luar negeri), 16 bank 64 “Membidik yang Paling Rendah�, dalam Warta Ekonomi Edisi 20, Tahun XXI 12 Oktober-18 Oktober 2009.

80


Kudeta Putih

campuran (asing dan nasional), dan 21 bank nasional atau lokal. Kepemilikan asing juga menyebar pada bank-bank skala kecil. Per maret 2011, kepemilikan asing pada 47 bank menguasai ekuivalen 50,6 % dari total aset perbankan nasional yang mencapai Rp 3.065 triliun.65 Dari sekian investor asing, Malaysia bisa disebut yang paling ekspansif. Malaysia memiliki Bank Internasional Indonesia (BII), CIMB Niaga, dan Bank Bumiputera. Lebih dari 90 % saham BII dimiliki Malayan Banking Berhad (Maybank). Maybank merupakan bank terbesar di Malaysia. Sedangkan CIMB Niaga dimiliki Khazanah Nasional Berhad. Sebagai informasi, CIMB Niaga adalah salah satu bank yang berdasarkan data Bank Indonesia per Agustus 2009, merupakan bank yang berada di urutan keenam terbesar dari segi aset. Per 31 Maret 2009, aset CIMB Niaga mencapai Rp 102,9 triliun dengan nilai kapitalisasi pasar Rp 11,25 triliun. CIMB Niaga merupakan hasil merger Bank Niaga dan Bank Lippo pada November 2008. Kedua bank ini sama-sama dimiliki Khazanah Nasional Berhad. Di Bank Lippo, Khazanah memiliki 93 % saham lewat Santubong Investments BV dan Greatville Pte Ltd. Sedangkan di Bank Niaga, melalui Bumiputera Commerce Holdings Bhd (BCHB), Khazanah memiliki 64 % saham. Pada 16 Agustus 2007, BCHB mengalihkan sahamnya kepada CIMB Group Sdn. Bhd., perusahaan 100 % sahamnya dimiliki oleh BCHB. Saat ini sekitar 77,8 % saham CIMB Niaga dimiliki CIMB Group.66 Di samping CIMB Niaga dan BII, kepemilikan Malaysia di sektor keuangan dan perbankan Indonesia juga terdapat di Bank Bumiputera dan Asuransi Takaful Indonesia. Bank Bumiputera yang merupakan bank milik pemerintah yang berdiri sejak tahun 1972, pada tahun 2004 International Comercial Bank (ICB) Financial Group Holdings AG, perusahaan keuangan besar asal Malaysia, membeli kepemilikan mayoritas Bumiputera. Per Desember 2008, ICB menguasai 67,07 % saham Bumiputera, AJB Bumiputera memiliki 5,98 %, dan sisanya 26,95 % dikuasai publik. Sedangkan Asuransi Takaful Indonesia (ATI) merupakan pelopor asuransi syariah di Indonesia yang berdiri sejak 1994. Kepemilikan mayoritas saham ATI berada di 65 “Gara-gara 99% Saham Itu”, dalam inilah REVIEW 17 Tahun I 19-25 Desember 2011, hal.13 66 “Malaysia yang Kian Merajalela”, dalam Warta Ekonomi Edisi 20, Th.XXI, 12 Oktober-18 Oktober 2009, hal. 20

81


Kudeta Putih

tangan Takaful Malaysia Berhad (TMB) yakni sebesar 56 %, Islamic Development Bank (IDB) menguasai 26,39 %, dan sisanya dimiliki lembaga keuangan nasional.67 Masuknya investor asing ke Indonesia pada dasarnya melalui empat gelombang besar. Pertama, jauh sebelum kemerdekaan Indonesia hingga awal pembangunan, sudah ada cabang-cabang bank asing di Indonesia, misalnya The Hongkong and Shanghai Banking Corporation (HSBC), Standard Chartered Bank, serta Citibank. Kedua, pada masa Paket Oktober 1988 (Pakto-88), peran cabang-cabang bank asing diperluas dengan dibolehkannya membuka cabang di beberapa wilayah kota besar. Selain itu, juga adanya kemudahan untuk pembentukan bank campuran. Di samping itu, lembaga keuangan non-bank (LKBB) berubah menjadi bank campuran.68 Ketiga, era krisis yang ditandai dengan proses divestasi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan juga didorong keinginan membuka seluas-luasnya inestasi asing di perbankan. Hal ini seperti tertera pada PP No. 23 Tahun 2009 seperti dijelaskan sebelumnya. Kondisi ini terus berlanjut ketika BPPN harus melepas saham bank-bank yang dikuasai pasar dan ini menjadikan pintu masuk bagi investor asing. Keempat, era Arsitektur Perbankan Indonesia atau API yang mensyaratkan modal bank RP 100 miliar, bank-bank pun mengalami tekanan modal dan akhirnya ada yang dijual ke pihak asing.69 Masuknya asing ke perbankan Indonesia dilatarbelakangi oleh beberapa hal. Selain saham bank di Indonesia murah, tingkat keuntungan perbankan di Indonesia juga sangat tinggi. Misalnya net interest margin (NIM) bank-bank di Indonesia ratarata 6 %. Bahkan, Bank Danamon dan Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) NIM-nya hingga mencapai 11 % dan 14 %. Terdapat beberapa efek penting masuknya asing di perbankan Indonesia. Pertama, penguasaan pasar aset oleh pihak asing diperkirakan makin besar sejalan dengan gerak ekspansi terutama dalam kaitannya dengan Basel II. Bank-bank asing dengan modal besar dapat memenuhi ketentuan Basel II. Jadi, ekspansi bank-bank swasta asing tidak bisa dihentikan.70

67 “Membidik yang Paling Rendah�, Log. Cit. 68 Kepemilikan Bank: Asing, ASENG atau ASEP, Bagaimanakan Konsep API Yang Baru? dalam Infobank, No.366, Vol. XXXI, September 2009. 69 Ibid. 70 Ibid., hal .13

82


Kudeta Putih

Kedua, bank-bank yang dimiliki asing dengan cabang yang tersebar di tanah air memungkinkan masuk pasar kredit mikro yang memberikan keuntungan besar. Ketiga, kredit konsumsi dengan suku bunga tinggi telah menjadi pasar dominan bagi bank-bank asing. Keempat, masuknya para bankir asing ke Indonesia diharapkan

sebagai upaya transfer teknologi dan pengetahuan. Namun, faktanya mereka mengendalikan bank-banknya untuk bermain di pasar konsumsi yang sebenarnya tidak membutuhkan pengetahuan tinggi. Kelima, bank-bank swasta yang dimiliki pihak asing dengan bankir asingnya bukan jaminan tidak melakukan praktik moral hazard. Tidak semua bank yang dimiliki asing menerapkan tata kelola perusahaan yang baik. Keenam, hampir seluruh bank swasta rekap sudah dipimpin bankir-bankir asing. Tujuh, adanya praktik transfer pricing bank-bank swasta yang dimiliki asing, baik dalam praktik kredit, tenaga kerja yang bermotif technical assistance, maupun pembelian barang. Delapan, jurang gaji yang sangat lebar.71 Gambaran tentang dominasi asing ini berbeda dari kondisi di China ataupun Malaysia. China membatasi kepemilikan oleh investor asing sebesar 30 %. Di China tidak ada investor asing yang dapat mengakuisisi lebih dari 30 % lembaga keuangan. Hal ini dilakukan agar pemerintah tetap memiliki hak veto, mengingat masih menguasai mayoritas saham dan makin banyak pemegang saham, maka akan tercipta diversifikasi risiko. Hal yang sama juga terjadi di Malaysia, kepemilikan investor asing dibatasi hingga 30 %. Sedangkan di Thailand sebesar 49 %.72 Berikut ini tabel yang menggambarkan batas kepemilikan asing di bank di beberapa negara: Tabel III.2. Batas Kepemilikan Asing pada Bank di Beberapa Negara Negara

Batas Kepemilikan Asing

Indonesia

99%

Filipina

51%

71 Ibid. 72 Ibid. hal 15.

83


Kudeta Putih

Negara

Batas Kepemilikan Asing

Thailand

49%

India

49%

Amerika Serikat

30%

Malaysia

30%

Vietnam

30%

China

30%

Meksiko

20%

Nigeria

10%

Sumber: Biro Riset Infobank dalam majalah Infobank, No. 366, Vol. XXXI, September 2009

Dari tabel di atas dapat dilihat Indonesia menduduki peringkat pertama dalam besaran batas kepemilikan asing pada bank. Dilihat dari persentase, terlihat selisih persentase batas kepemilikan asing di Indonesia jauh lebih besar dibandingkan negara lain. Terkait dengan dominasi asing di perbankan, sejak tahun 1824 bank-bank milik Belanda sudah bermunculan di Indonesia. Dapat dikatakan sebelum Indonesia merdeka, kegiatan perbankan di tanah air sangat dikuasai pihak asing dan bukan hanya bank-bank milik Belanda, melainkan juga-juga bank-bank seperti The Chartered Bank, The Hongkong and Shanghai Bank, The Bank of China, The Great Eastern Banking Corporation, The Overseas Chinese Banking Corporation, The Yokohama Speciebank, Mitsui Bank, dan Bank of Taiwan.73 Terkait dengan struktur kepemilikan bank di Indonesia, berikut ini tabel yang menggambarkan ketentuan dan praktik struktur kepemilikan yang berlaku di negara lain:

73 “Bank Milik Asing Selamat Datang kembali�, dalam Infobank, No.366, Vol. XXXI, September 2009.

84


Kudeta Putih

Tabel III.3. Perbandingan Pengaturan Kepemilikan Bank di Beberapa Negara Keterangan

Indonesia

Malaysia

Korea Selatan

Amerika Serikat

Pembukuan bank asing

Tidak dilarang

Tidak dilarang

Tidak dilarang

Tidak dilarang

Bentuk kepemilikan bank asing

- Kantor Cabang - Anak Perusahaan - Kantor Perwakilan

- Anak Perusahaan

- Kantor Cabang - Anak Perusahaan

- Kantor Cabang - Anak Perusahaan - Kantor Perwakilan - Agensi

Persyaratan modal bank asing

Rp 3 triliun - Anak perusahaan berupa modal disetor - Kantor cabang berupa dana usaha

RM 300 juta

- 100 miliar won (anak perusahaan) - 3 miliar won (kantor cabang)

Tidak ada -

Tidak dilarang -

Tidak dilarang na

- Anak perusahaan bank domestik - Kantor cabang & agensi tidak terdapat persyaratan permodalan secara individual

Persyaratan modal minimum untuk bank

Rp 3 triliun

Anak Perusahaan RM 300 juta

Presentase saham pengendali

- 25% - 50% - Hak suara - Memiliki kuasa dan - Tindakan pengendalian pengaruh

- 100 miliar won (anak na perusahaan) - 3 miliar won (kantor cabang)

Pembatasan kepemilikan saham oleh individual dan badan hukum & maks %

- Asing: maksimum 99% - Badan hukum domestik: maksimal sebesar modal bersih

Kewajiban go publik Bila wajib, berapa % yang harus dijual

Tidak ada

Tidak dilarang -

- 10% - 5% atas pertimbangan pengawas

- Individu: maksimum 10% - < 4%: tanpa persetujuan Tidak ada - Non-Individu: - < 10%: syarat keuangan maksimum 20% - > 10%: dengan persetujuan

Sumber: Bank Indonesia, September 2003

Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa pada prinsipnya tidak ada pembatasan perizinan pembukaan bank asing. Bank asing dapat beroperasi sebagai kantor cabang penuh dan atau anak perusahaan, selain kantor perwakilan yang pada dasarnya tidak melakukan kegiatan operasional. Persyaratan permodalan, terutama untuk bank asing, pada tiap-tiap negara responden ataupun di Indonesia berbeda-beda. Amerika Serikat membedakan pengaturan mengenai persyaratan permodalan. Demikian pula Korea Selatan, jumlah modal minimum yang dipersyaratkan oleh otoritas pengawas untuk bank asing yang beroperasi sebagai kantor cabang berbeda dari jumlah minimum untuk bank asing yang beroperasi sebagai anak perusahaan. Sedangkan di Indonesia tidak membedakan jumlah persyaratan modal minimum. Di Malaysia, bank asing beroperasi sebagai anak perusahaan dengan badan hukum setempat. Negara yang secara tegas mengatur dan menyebutkan pembatasan jumlah kepemilikan saham oleh individu 85


Kudeta Putih

dan non-individu adalah Malaysia. Sedangkan di Indonesia pengaturan pembatasan kepemilikan saham hanya untuk kepemilikan oleh pihak asing, baik perseorangan maupun badan hukum, serta kepemilikan oleh badan hukum Indonesia.74 Di samping kebijakan mengenai perbankan, regulasi pemerintah mengenai

OJK juga memberikan sejumlah implikasi. Regulasi pemerintah mengenai OJK terutama Pasal 34 UU Bank Indonesia yang mengamanatkan pembentukan Lembaga Pengawas Sektor Keuangan (LPJK) paling lambat pada tahun 2010 sejak awal penyusunannya telah mengandung kontroversi dan perdebatan. Berdasarkan Pasal 34 fungsi Bank Indonesia dalam mengawasi bank dialihkan kepada LPJK. Bank sentral yang diberikan tanggung jawab untuk menciptakan stabilitas nilai rupiah tentu akan menemukan kesulitan untuk memenuhi tanggung jawab tersebut apabila tidak memiliki kewenangan mengawasi bank.75 Apabila bank sentral kehilangan perannya mengawasi kegiatan industri perbankan,maka kebijakan moneter ataupun keuangan tidak akan dapat dilakukan dengan baik. Hal ini dapat terjadi karena kedua fungsi ini saling terkait. Misalnya, ketika bank sentral harus menstabilkan kurs untuk merespons gejolak pasar, maka Bank Indonesia membutuhkan informasi tentang bank mana yang spekulan, siapa yang menimbun valuta asig, atau mana yang mengalami kekeringan likuiditas sebelum mengambil kebijakan. Keterlambatan informasi tentu saja akan menimbulkan permasalahan. Operasi moneter Bank Indonesia yang berdampak pada pengetatan likuiditas akan kontraproduktif ketika bank justru sedang mengalami kesulitan likuiditas. Walaupun dalam UU OJK Pasal 37 juga dijelaskan bahwa OJK wajib berkoordinasi dengan Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan LPS, tidak dapat dimungkiri bahwa kerja sama antar-otoritas cenderung tidak efektif ketika tujuan mereka berbeda.76 Seperti terjadi di Inggris, terjadi kegagalan dalam mensinergikan peran dua otoritas, yaitu Bank of England (BOE) yang bertugas mengontrol moneter dan 74 Muliaman D Hadad, dkk., Kajian Mengenai Struktur Kepemilikan Bank Di Indonesia, diakses dari http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/0A5EA2D0-5D87-488E-A263 44988C6EE1A0/7825/ KajianmengenaiStrukturkepemilikanBank.pdf, pada tanggal 17 Februari 2012, pkl.10.00. 75 Bismar nasution, “Implementasi Pasal 34 Undang-Undang Tentang Bank Indonesia dan Dampaknya Pada Peranan dan Fungsi Bank Indonesia Di Bidang Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas Keuangan�, dalam dalam Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Log. Cit., hal. 13 76 “Bom Waktu OJK�, Log.Cit.

86


Kudeta Putih

Financial Supervisory Authority (FSA) yang bertanggung jawab mengatur perbankan. Ketidakmampuan FSA mengawasi industri perbankan membuat BOE harus membailout sejumlah bank bermasalah seperti Nothern Rock Bank, salah satu lembaga keuangan tertua dan terbesar di Inggris, senilai Rp 416 triliun. Permasalahan lain

adalah terkait dengan peran pengawasan OJK yang hanya terbatas pada bank, bank perkreditan rakyat (BPR), dan lembaga keuangan non-bank. Lalu bagaimana dengan lembaga keuangan berbentuk koperasi, lembaga keuangan mikro, Baitul Mal wa Tamwil (BMT / lembaga keuangan berbasis syariah). Kekosongan pengawasan bisa berpotensi menimbulkan permasalahan baru. Di samping itu, juga perlu dipikirkan sejumlah biaya otomatis dari pembentukan OJK, seperti biaya gaji, remunerasi karyawan, pendirian kantor-kantor perwakilan di berbagai daerah, pembangunan sistem dan infrastruktur IT, penyusunan standar operasional perusahaan (SOP), pelatihan karyawan, dan operasional pengawasan semua lembaga di bawah otoritas OJK. Diperkirakan estimasi biaya pengalihan pengawasan dari Bank Indonesia ke OJK akan memerlukan biaya Rp 11,240 triliun hingga Rp 20,697 triliun.77 Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa besarnya kepemilikan asing pada sektor perbankan di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Masuknya asing dalam sektor ini tentu saja tidak dapat dilepaskan dari komitmen Indonesia pada kesepakatan di tingkat internasional. Di samping itu, Bank Indonesia juga belum terlalu fokus mengatur ruang gerak bank milik asing di tanah air. Misalnya, menerapkan izin berjenjang alias multiple license seperti yang berlaku di negara-negara lain. Misalnya di China atau Malaysia, bank dari luar negeri umumnya tidak bisa langsung mengantongi izin cabang penuh. Sedangkan di Indonesia, bank asing atau bank milik investor asing bisa leluasa beroperasi penuh. Di Indonesia para investor asing lebih memilih mengakuisisi bank lokal. Selain harganya terjangkau, ongkos mengakuisisi bank yang sudah beroperasi jauh lebih ekonomis daripada membangun bank baru. Di samping itu, bank yang sudah beroperasi umumnya telah mengantongi izin penuh.78 Di sektor jaminan sosial, UU Sistem Jaminan Sosial Nasional juga masih menimbulkan banyak masalah. Banyak pihak yang masih mempertanyakan efektivitas 77 Ibid. 78 “Sulit Batasi Kepemilikan Asing di Bank�, diakses dari http://nasional.kompas.com/ read/2010/05/04/13071180/sulit.batasi.kepemilikan.asing.di.bank, pada tanggal 18 Februari 2012, pkl. 11.30

87


Kudeta Putih

undang-undang ini, karena dinilai tidak mencerminkan aspirasi masyarakat yang menghendaki sistem jaminan sosial pro rakyat, khususnya kaum miskin yang merupakan kelompok mayoritas di Indonesia. Kelompok masyarakat tersebut adalah para penganggur, pekerja informal, pekerja formal yang upahnya rendah, buruh tani

/ petani yang tidak memiliki tanah, serta petani kecil. Sebagai informasi, tenaga kerja dengan status buruh atau pegawai negeri sipil (PNS) adalah sebanyak 28,9 juta jiwa dari 104,48 juta jiwa penduduk yang bekerja. Hal ini membuktikan sebagian besar tenaga kerja yang bekerja di sektor informal dengan pendapatan yang sangat rendah.79 UU Sistem Jaminan Sosial Nasional dinilai akan menjadi pintu masuk bagi perusahaan asuransi besar luar negeri. Peluang dominasi asing semakin menguat dengan adanya UU No. 25 Tahun 2007, kemudian dikeluarkan Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2007 tentang daftar negatif investasi yang telah membuka sektorsektor strategis bagi penanaman modal asing. Padahal penguasaan modal asing dalam sektor asuransi saat ini diperkirakan sudah mencapai 95 %. Kondisi semacam ini dikhawatirkan akan mengakibatkan penyelenggaraan asuransi sosial jatuh ke tangan perusahaan-perusahaan asing.80 Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa sektor keuangan merupakan jantung ekonomi suatu negara. Di Indonesia, liberalisasi pertama kali dilakukan pada sektor keuangan. Independensi lembaga-lembaga pengelolaan keuangan di Indonesia menjadi luar biasa independen dan tidak terkait dengan program-program pembangunan pemerintah di dalam negeri sendiri. Misalnya, lembaga-lembaga ini harus mengelola program-program pembangunan dalam negeri, tetapi yang terjadi mereka hanya mengelolanya akan tetapi tidak dikaitkan dengan program pembangunan yang riil. Tidak ada kebijakan Bank Indonesia, OJK, dan perbankan untuk menyelesaikan kemiskinan. Tugas mereka hanya menjaga nilai tukar dan inflasi agar senantiasa stabil, sehingga dijauhkan dari kegiatan-kegiatan riil.81

79 “Kritik Terhadap UU Sistem Jaminan Sosial Nasional�, dalam Free Trade Watch Edisi Khusus-Agustus 2010, hal.43. 80 Ibid. 81 Hasil wawancara dengan Hendri Saparini, Pengamat Kebijakan Publik Indonesia, di Kantor ECONIT, pada tanggal 4 April 2012 pukul 16.00

88


BAB IV Kepentingan Asing dalam Liberalisasi Sektor Migas Indonesia

Setelah penandatanganan Letter of Intent antara Presiden Soeharto dan IMF pada tahun 1997, liberalisasi ekonomi di Indonesia berjalalan masif. Banyak sektor

strategis yang diliberalisasikan sebagai prasyarat pinjaman IMF. Pilihan ini diambil pemerintah saat itu karena merasa tidak memiliki alternatif lain untuk mengatasi krisis ekonomi yang melanda Indonesia selain pinjaman dana lembaga moneter tersebut. Sektor strategis pertama yang diliberalisasikan adalah energi, khususnya minyak dan gas (migas). Ini didukung fakta bahwa peran dan kepentingan asing sangat nyata dalam mengonsepkan dan mendanai regulasi energi migas di Indonesia. Namun, sebelum membahas lebih lanjut isu tersebut, berikut ini pemaparan evolusi regulasi migas nasional yang dimulai sejak era Orde Lama hingga era reformasi sampai saat ini. Tujuan pembahasan ini untuk memberikan gambaran kebijakan energi Indonesia, khususnya migas dari berbagai era kepemimpinan yang berbeda, dan melihat di mana “tempat� kepentingan asing di dalamnya.

89


Kudeta Putih

IV. 1. Evolusi Kebijakan Minyak dan Gas Bumi Nasional Evolusi kebijakan minyak dan gas Indonesia yang dibahas dalam penelitian ini dapat dibagi ke dalam tiga era pemerintahan, yaitu Orde Lama (Demokrasi

Terpimpin) yang dipimpin Soekarno, Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, dan era Reformasi di bawah kepemimpinan BJ Habibie hingga Susilo Bambang Yudhoyono. IV. 1. 1. Kebijakan Migas pada Masa Orde Lama Pada periode setelah kemerdekaan atau Demokrasi Terpimpin, Indonesia berada dalam masa transisi dari era kolonial ke era kemerdekaan. Salah satu agenda penting era pemerintahan Soekarno adalah mengganti struktur ekonomi kolonial dengan menciptakan fondasi bagi perekonomian nasional.1 Beberapa regulasi terkait migas dalam periode Soekarno: v UU No. 44 Prep Tahun 1960 tentang Minyak dan Hasil Tambang Undang-undang ini disahkan pada 26 Oktober 1960 untuk menggantikan UU Pertambangan Kolonial, Indische Mijnwet,2 tahun 1899. Undang-undang ini lahir atas dorongan banyaknya partikelir (swasta) yang memiliki izin konsesi dengan dasar 1 2

90

M. Kholid Syeirezi, Op. Cit. hal. 89. Indische Mijnwet 1899 adalah sebuah peraturan dalam sektor pertambangan yang pertama kali dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda yang merupakan landasan hukum bagi segala bentuk kegiatan pertambangan, baik pertambangan minyak dan gas bumi maupun pertambangan umum lainnya. Peraturan ini memisahkan antara deposit kepemilikan mineral dengan kepemilikan tanah. Mijnwet ini menguatkan dominasi kepentingan pemilik modal dalam sektor pertambangan dan melestarikan sistem konsesi yang merugikan rakyat Indonesia. Secara umum, Mijnwet 1899 ini memuat empat ketentuan pokok: (1) pemerintah kolonial Hindia-Belanda memberikan hak konsesi kepada pihak partikelir untuk menambang galian mineral dan minyak bumi; (2) jangka waktu konsesi tidak lebih dari 75 tahun; (3) pemegang konsesi wajib membayar sewa tanah kepada pemerintah kolonial sesuai dengan undang-undang khusus; (4) mineral yangdiproduksi dari areal konsesi menjadi hak milik penerima konsesi. Pemegang konsesi bebas menjual atau mengekspor tanpa harus mendapatkan izin dari pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Mijnwet 1899 berhasil menarik sejumlah investasi pertambangan asing, khususnya yang melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi di Indonesia. Kondisi ini dapat dilihat dari jumlah perusahaan asing yang masuk ke Indonesia yang mencapai 18 perusahaan pada awal abad ke-20. banyaknya jumlah perusahaan asing yang beroperai di Indonesia pada masa kolonial Hindia Belanda dan substansi peraturan yang ada, penegembangan industri minyak bumi lebih banyak menguntungkan perusahaan asing, yaitu di mana pemerintah kolonial mendapatkan keuntungan kurang dari 30%. Untuk lebih lengkapnya baca M. Kholid Syeirezi, Ibid, hal. 8488 dan Tirta N. Mursitama dan R. Maisa Yudono, Strategi Tiga Naga: Ekonomi Politik Industri Minyak Cina di Indonesia, (Depok: Buku Kepik Ungu), hal. 65.


Kudeta Putih

hukum Indische Mijnwet 1899, tetapi belum melakukan kegiatan penambangan dan dianggap merugikan peluang akan potensi ekonomi yang dapat dihasilkan negara.3 UU No. 44 Prep Tahun 1960 menetapkan kekuasaan dan mengusahakan pertambangan diselenggarakan oleh pemerintah melalui perusahaan pertambangan migas negara dalam bentuk kuasa pertambangan. Kebijakan ini melahirkan perusahaan negara (PN), yaitu PN Pertambangan Minyak Nasional (Permina), PN Pertambangan Minyak Indonesia (Permindo), dan PN Gas Bumi Nasional (Permigan). Undangundang ini menekankan peningkatan peran negara dan DPR dalam kontrak kerja sama yang mengubah sistem konsesi menjadi sistem kontrak karya (KK) atau Contract of Works (CoW’s) dengan pembagian bersih 60 % untuk Indonesia dan 40 % untuk asing. Undang-undang ini juga mengesahkan KK kontraktor perusahaan minyak asing tersebut selama 20 tahun hingga 30 tahun ke depan.4 Secara umum, undang-undang ini mengakomodasi Pasal 33 UUD 1945, yaitu bahwa semua mineral, termasuk minyak bumi, adalah milik seluruh rakyat dan hanya diatur oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Berikut ini adalah penguatan dari pernyataan tersebut yang tertulis dalam pasal-pasal UU No. 44 Tahun 1960:5 1. semua minyak dan gas yang ditemukan di wilayah teritorial Indonesia adalah aset nasional yang diatur oleh negara; 2. pertambangan minyak dan gas bumi hanya dilakukan oleh negara dan dilaksanakan oleh perusahaan negara; 3. Kementerian Pertambangan dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor perusahaan jika diperlukan; 4. Kontrak karya perusahaan negara dan kontraktor lainnya harus dilegalisasikan hukum; 5. kewenangan untuk menambang tidak termasuk di dalamnya hak-hak permukaan tanah; 3 4 5

M. Kholid Syeirezi, Ibid, hal. 89. Hengki Purwoto dan Mudrajad Kuncoro dalam Mudrajad Kuncoro, dkk. , Transformasi Pertamina: Dilema Antara Orientasi Bisnis dan Pelayanan Publik, (Yogjakarta: Galangpress, 2009), hal. 19. Mirza A. Karim dan Karen Mills, �Indonesian Legal Framework in the Oil, Gas, Energy and Mining Sectors: Including Dispute Resolution.� sebuah makalah Karimsyah Law Firm, Jakarta, 2003 diakses dari http://www.arbitralwomen.org.

91


Kudeta Putih

6. jika ada hak tanah lain yang bukan hak negara dan berbenturan dengan kegiatan otoritas tambang, maka pemilik tanah akan mendapatkan kompensasi. Penguatan peran negara yang dilegalkan dalam undang-undang ini mendorong

nasionalisasi tiga perusahaan minyak asing besar yang beroperasi di Indonesia pada saat itu, yaitu Shell, Stanvac, dan Caltex Pacific Indonesia. Ini dimungkinkan karena kontrak karya harus dilegalisasikan secara hukum. Namun, ketiga perusahaan tersebut keberatan dan melakukan negosiasi ulang dengan pemerintah pada tahun 1963. Pada 1 Juni 1963 ketiga perusahaan minyak asing tersebut menandatangani perjanjian dengan pemerintah Indonesia di Tokyo atau yang dikenal sebagai Tokyo Heads of Agreement. 6 Menindaklanjuti perjanjian tersebut, diberlakukan sistem kontrak karya antara tiga perusahaan negara dengan tiga perusahaan minyak asing, yaitu: • PN Pertamin dengan PT Caltex Pacific Indonesia, California Asiatic Oil Company (Calasiatic), dan Texoco Overseas Petroleum Company (Topco) • PN Permina dengan PT Shell Indonesia • PN Permigan dengan PT Stanvac Indonesia IV. 1. 2. Kebijakan Migas pada Masa Orde Baru v UU No.8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara

Undang-undang ini sering kali disebut sebagai UU Pertamina yang menggantikan UU No. 44 Tahun 1960. Pertamina ditetapkan sebagai satu-satunya perusahaan minyak negara yang diharapkan dapat mendatangkan pendapatan negara dari sektor migas kepada pemerintah Orde Baru yang berkuasa saat itu.7 Penetapan UU No. 8 Tahun 1971 menegaskan kedudukan Pertamina sebagai perusahaan negara dengan dua tanggung jawab berbeda: (1) sebagai pengelola sumber daya migas; 6 7

92

Ooi Jin Bee, The Petroleum Resources of Indonesia, (Oxford: Oxford University Press, 1982), hal. 21. Francisia S.S.E. Seda, “Petroleum Paradox: The Politics of Oil and Gas”, dalam Budi P. Resosudarmo (ed.), The Politics and Economics of Indonesia’s Natural Resources, (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2006), hal. 179


Kudeta Putih

(2) sebagai perangkat negara yang berkewajiban memberikan pelayanan dalam penyediaan BBM bagi publik. Fungsi pertama membuka peluang bagi Pertamina sebagai representasi negara untuk melakukan kegiatan ekspor migas dengan tujuan mengisi kas negara. Fungsi kedua menempatkan Pertamina sebagai stabilisator sosial ekonomi publik.8

Perjalanan Pertamina untuk menjalankan kedua fungsi tersebut tidak berjalan mulus. Untuk menyelaraskan kedua fungsi tersebut, Pertamina mengejawantahkannya melalui bentuk kerja sama dengan pihak swasta nasional dan asing pada sektor hulu migas.9 Kondisi ini mendorong Pertamina melakukan banyak kontrak dengan perusahaan minyak asing sebagai kontraktornya yang tertuang dalam berbagai kontrak kerja sama (KKS), seperti Production Sharing Contract (PSC), kontrak karya (KK), Enhanced Oil Recovery Contract, dan kontrak operasi bersama. Undang-undang ini menegaskan peran Pertamina secara legal untuk menentukan PSC dengan perusahaan minyak asing yang tidak lagi melalui persetujuan DPR. Secara umum dapat dikatakan Pertamina berperan sebagai kepanjangan tangan pemerintah dan negara dalam mengelola serta mengawasi kegiatan kontraktor asing.10 Beberapa keuntungan kerja sama dalam moda KK migas, di antaranya:11 1. Operasi perminyakan berada di bawah kendali Pertamina; 2. Sumber dana investasi, teknis, dan risiko operasi ditanggung kontraktor; 3. Biaya operasi termasuk peralatan dapat diganti; 4. Peralatan yang digunakan dapat menjadi milik Pertamina dan kontraktor harus mempekerjakan tenaga Indonesia serta mendidiknya; 5. Bagi hasil antara Pertamina dan kontraktor minyak berkisar 67 % - 70 % untuk Pertamina dan 30 % - 35 % untuk kontraktor asing, sesuai dengan perhitungan produksi minyak mentah.

8

Fekum Ariesbowo W.,�PT. Pertamina: Kuda Laut Menuju Kelas Dunia�, dalam Warta Ekonomi, Edisi 20 Tahun XXI, 12 Oktober-18 Oktober 2009, hal. 66 9 Loc. Cit. 10 Baihaki Hakim, The Lone Ranger: Lekak-Likuk Transformasi Pertamina, ( Jakarta: Kata Hastaka Pustaka, 2009), hal. 7 11 Sebagaimana yang dikutip oleh Tirta N. Mursitama dan R. Maisa Yudono dari Hengki Purwoto dan Mudrajad Kuncoro, dkk., Transformasi Pertamina: Dilema antara Orientasi Bisnis dan Pelayanan Publik, (Yogjakarta: Galang Press, 2009), hal. 20.

93


Kudeta Putih

Sampai tahun 1966 konsesi pertambangan untuk perusahaan asing masih dalam bentuk kontrak kerja. Pada tahun yang sama, Ibnu Sutowo mengembangkan jenis terbaru dari kontrak konsesi pengeboran, yaitu Production Sharing Contract (PSC). Pada tahun 1966 perjanjian PSC pertama kali ditandatangani dan diimplementasikan oleh Independent Indonesian American Petroleum Company (IIAPCO), sebuah kelompok operator minyak independen yang berasal dari Amerika Serikat. Maka sejak saat itu seluruh kontrak konsesi pengeboran masuk ke dalam bentuk PSC.12

PSC memiliki beberapa karakteristik. Pertama, PSC berisi klausa manajemen yang memaksa para kontraktor untuk melakukan konsultasi secara rutin dengan Pertamina dan meminta persetujuan atas beberapa masalah terkait dengan operasi dasar. Dampak bagi kontraktor atau perusahaan asing adalah mereka harus beroperasi dengan cara-cara yang transparan dan mengembangkan sebuah proses pembelajaran untuk para pejabat Pertamina terkait dengan masalah operasional dan termasuk di dalamnya transfer teknologi. Kedua, PSC diharapkan dapat menjadi penyelesaian damai bagi pemerintah dan perusahaan minyak asing, karena setelah cost recovery, produksi migas akan dibagi menjadi dua. Ketiga, PSC memuaskan aspirasi nasional untuk otonomi negara yang lebih luas lagi sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. Keempat, PSC menjamin bahwa para kontraktor hanya akan berhubungan dengan satu entitas dari pemerintah Indonesia, yakni Pertamina.13 Pada praktiknya di lapangan, di bawah perjanjian PSC, perusahaan minyak asing yang memiliki teknologi, organisasi, dan risiko kapital yang diperlukan untuk menemukan dan mengembangkan blok-blok migas. Jika minyak ditemukan melalui kegiatan eksplorasi, maka akan diperhitungkan cost recovery dan dibagi antara Pertamina (65 %) dan kontraktor asing (35 %). Namun, kecenderungannya bagian Pertamina akan selalu meningkat dan bagian kontraktor asing akan terus menurun.14 Kontrak kerja KKS/PSC antara Pertamina dan pihak kedua mendorong akumulasi kapital yang besar membuat Pertamina pada posisi pemegang kuasa pertambangan dibandingkan dengan fungsi utamanya sebagai stabilisator penyedia

12 Francisia S.S.E. Seda, Op. Cit., hal. 182 13 Ibid. 14 Ibid.

94


Kudeta Putih

BBM untuk publik seperti yang diamanatkan dalam UU No. 8 Tahun 1971.15 Keadaan ini diperkuat oleh pendapat Maizar Rahman, komisaris Pertamina, yang menyatakan kedudukan Pertamina lebih bercorak politis ketimbang sebuah korporasi dengan kemampuan yang kompetitif pada kala itu.16 Hal ini juga diperkuat oleh Francisia

S.S.E Seda yang mengatakan bahwa adanya nature of powers yang mengontrol manajemen Pertamina.17 Kepentingan penguasa Orde Baru, Soeharto dan militer, atas Pertamina pada saat itu sangat jelas, sebagaimana disampaikan Richard Robison, pengamat ekonomi politik Indonesia:18 “Pertamina constituted the channel through which the bulk of the state’s revenue flowed, as well as the largest and the most concentrated source of contracts for construction and supply. Pertamina therefore was the strategic focus of economic power and the crucial source of revenue. The autonomy and hagemony of the military was closely dependent upon its ability to maintain its control over this terminal and to prevent this absorption by any regulised state apparatus.” [“Pertamina memiliki saluran di mana pendapatan negara terbesar mengalir, dan juga sumber-sumber kontrak yang terbesar dan terkonsentrasi untuk konstruksi dan suplai. Oleh karena itu, Pertamina merupakan fokus strategik dari kekuatan ekonomi dan sumber penting pendapatan. Otonomi dan hagemoni militer sangat bergantung erat atas kemampuannya untuk mempertahankan kontrol atas terminal ini dan untuk mencegah penyerapan ini oleh alat regulasi negara.”] Pada pertengahan 1990-an, ada usulan untuk merevisi UU No. 8 Tahun 1971 tentang migas yang menjadi salah satu penyebab buruknya tata kelola perusahaan yang baik di Pertamina.19 Upaya pembaruan tersebut juga didukung dengan momentum 15 16 17 18 19

Fekum Ariesbowo W., Loc. Cit. Ibid. Francisia S.S.E. Seda, Op. Cit. hal. 180 Seperti yang dikutip oleh Francisia S.S.E. Seda dari Richard Robison dalam Budi P. Resosudarmo (ed.), Op. Cit. Jati Andrianto, Wendy S. Hutahean, Irwansyah, Isno Usnodo, dan Fekum Ariesbowo, “Bola Panas: Revisi UU Migas No. 22 Tahun 2001”, dalam Warta Ekonomi, Edisi 20 Tahun XXI, 12 Oktober-18 Oktober 2009, hal. 59.

95


Kudeta Putih

krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997. Perubahan struktural tata kelola energi nasional, khususnya sektor migas, banyak diwarnai oleh kepentingan asing yang menjadi dasar lahirnya UU No. 22 Tahun 2001 tentang migas nasional yang baru. IV. 1. 3. Kebijakan Migas pada Masa Reformasi v UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi Pada saat UU Migas yang baru ini disahkan oleh DPR dan pemerintahan Presiden Megawati, ada beberapa perubahan terkait dengan kontrak karya antara kontraktor migas dan pemerintah. Salah satunya adalah PSC yang berkembang dan menjadi satu-satunya kontrak kegiatan usaha hulu migas di Indonesia hingga lahirnya UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Sejak UU Migas tahun 2001 hadir, PSC tidak lagi menjadi satu-satunya kontrak kerja. Pasal 11 Ayat (1) mengamanatkan kegiatan usaha hulu migas dilaksanakan dalam bentuk kontrak kerja sama (KKS). Maka, kegiatan usaha hulu migas dapat berupa PSC atau KKS sejauh tidak bertentangan dengan prinsip “dikuasai negara dan dipergunakan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat”.20 Perlu ditekankan di sini adalah konsep “dikuasai negara” pada era pemerintahan Orde Baru telah bergeser dari “pemilikan dan penguasaan secara langsung” menjadi “penguasaan secara tidak langsung” melalui kepemilikan seluruh saham di BUMN.21 Pemerintah pada era Orde Baru dan Reformasi sekarang berusaha meningkatkan investasi swasta maupun asing untuk masuk ke dalam usaha industri migas di tanah air. Hal ini dikarenakan pengelolaan sumber daya alam secara langsung memerlukan keterampilan sumber daya manusia, modal yang besar atau capital intensive, teknologi tinggi, dan risiko tinggi. Dalam tataran praktis, kontrak atau perjanjian kerja sama selalu mengikat secara ketat. Undang-undang di hampir semua negara menghormati dan menjamin sepenuhnya bahwa perjanjian yang dibuat

20 Agus Salim, “Pengusahaan Migas di Indonesia dalam Perspektif Kedaulatan Negara atas Sumber Daya Alam (SDA)”, dalam Jurnal Energi, Edisi Delapan, November-Februari 2012, hal. 26. 21 Ibid.

96


Kudeta Putih

oleh para pihak harus dipatuhi sesuai dengan asas pacta sunt servanda.22 Apabila PSC berakhir, maka sesuai isi undang-undang, seluruh aset termasuk potensi penerimaan dari sumber kekayaan tersebut (blok migas) dikuasai atau dimiliki oleh negara.23 Setidaknya terdapat empat hal yang perlu dicermati dalam KKS/PSC pada

industri hulu migas jika dihubungkan dengan kedaulatan negara atas migas. Pertama, semua kontrak KKS/PSC berdurasi 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun. Banyak hal yang dapat terjadi di masa depan yang tidak diantisipasi saat kontrak tersebut dibuat, seperti kondisi di masa depan tidak sesuai dengan perasaan keadilan pada saat ini. Maka, perubahan atas kontrak tersebut tidak diperlukan kecuali atas persetujuan kedua belah pihak. Kedua, tiadanya prinsip penomorsatuan kedaulatan negara dapat terlihat di dalam klausul kontrak yang mengatur Domestic Market Obligation (DMO). Jika kontraktor tidak melakukan kewajibannya sesuai DMO, pemerintah tidak dapat melakukan pemaksaan terhadap kontraktor, kecuali menggugatnya ke forum arbitrase internasional yang sudah disepakati di dalam kontrak tersebut. Ketiga, sebagian besar pihak-pihak yang terlibat di dalam kontrak hulu migas tunduk pada stelsel hukum yang berbeda, karena perbedaan kewarganegaraan. Maka, kontrak seperti ini masuk ke dalam perdata internasional. Keempat, kontrak-kontrak hulu migas KKS/PSC bersifat unik, karena kontrak migas banyak memuat kewajiban yang harus dilakukan oleh para kontraktor daripada kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah (BP Migas). Oleh karena itu, perusahaan asing yang bergerak sebagai kontraktor selalu meminta kepastian hukum terhadap pelaksanaan kontrak yang telah disepakati bersama. 24 IV. 1. 3. 1. Campur Tangan Asing Dalam RUU Migas Era Reformasi RUU Migas yang baru ini lahir pada era reformasi dan banyak dipengaruhi oleh LoI dengan IMF yang diterbitkan tahun 1998 hingga 2001. Pada saat Indonesia terkena krisis ekonomi pada tahun 1998, IMF melalui paket bantuannya meminta pemerintah Indonesia melakukan sejumlah agenda reformasi ekonomi untuk mendapatkan pinjaman dana pemulihan krisis ekonomi. Salah satunya adalah reformasi di sektor energi. Selain itu, IMF juga mendesak pemerintah untuk membuat 22 Ibid, hal. 30-31 23 Bukhari, “Blok West Madura Offshore (WMO): Berselisih? Kembalilah ke UUD 1945�, dalam Geo Energi, Tahun II Edisi 14, September 2011, hal. 62. 24 Agus Salim, Loc. Cit.

97


Kudeta Putih

Rancangan Undang-undang Migas untuk mereformasi harga energi dan reformasi lembaga pengelola energi, termasuk mereduksi peran monopolistik Pertamina. Pertamina yang semula terintegrasi dari hulu ke hilir kini didudukkan pada posisi yang jauh lebih powerless, ketika pemerintah dengan dorongan IMF bermaksud meliberalisasi sektor migas dengan membuka selebar-lebarnya investasi bagi swasta, baik asing maupun lokal.

RUU Migas pada era reformasi diajukan pertama kali di bawah Presiden BJ Habibie. Namun, RUU ini ditolak oleh DPR. Pada masa pemerintahan berikutnya, Presiden Abdurrahman Wahid, draf RUU yang sama diajukan ke DPR oleh Menteri Pertambangan dan Energi saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, dan pemerintah pada masa itu berhasil meyakinkan anggota DPR untuk membahasnya. Pada era Presiden Megawati Soekarnoputri atau tepatnya pada 23 November 2001, RUU Migas disahkan menjadi UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.25 Banyak pihak yang menilai UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas sangat liberal, karena mengusung norma-norma neoliberal yang ditetapkan dalam persyaratan IMF yang tertuang dalam beberbagai LoI untuk pemerintah Indonesia pada masa itu. Kebijakan-kebijakan liberal ini seperti divestasi, deregulasi, kompetisi, equal treatment atau perlakuan sama (antara Pertamina sebagai BUMN dan perusahaanperusahaan asing), dan penyerahan harga pada mekanisme pasar. Adapun beberapa LoI yang diterbitkan oleh IMF yang menjadi dasar kuat hadirnya UU migas tersebut, di antaranya: V. 1. 1. LoI Tanggal 11 September 1998 Menekankan upaya pemerintah untuk melakukan sejumlah kebijakan, seperti divestasi BUMN. V. 1. 2. LoI Tanggal 19 Oktober 1998 Pemerintah menambah aspek baru dalam komitmennya dengan IMF, di antaranya pemerintah akan tetap membiarkan pergerakan modal lintas batas untuk 25 Ibid., hal. 59-60.

98


Kudeta Putih

menciptakan kepercayaan pasar. Selain itu, pemerintah tidak akan membatasi repatriasi kapital bagi investor asing dan juga memberikan kebebasan ekpor bagi mereka. Kebijakan ini diharapkan meningkatkan kepercayaan yang pada gilirannya dapat mendorong peningkatan arus modal masuk ke Indonesia.26 V. 1. 3. LoI Tanggal 13 November 1998 Rencana pemerintah untuk memprivatisasi 150 BUMN selama satu dekade ke depan. Privatisasi ini akan menyentuh semua BUMN mulai dari sektor telekomunikasi, listrik, energi, hingga perusahaan penerbangan nasional. Sementara efisiensi perusahaan akan ditingkatkan melalui sejumlah rencana strategis, seperti pemberian otonomi bagi pengelolaan perusahaan, peningkatan kompetisi, pengetatan anggaran, dan penghapusan terhadap akses keistimewaan akses kredit bank.27 V. 1. 4. LoI Tanggal 20 Januari 2000 Pemerintah berencana melakukan sejumlah perubahan struktural pada dua sektor energi, di antaranya sektor ketenagalistrikan dan migas. Pada sektor listrik, pemerintah berencana merestrukturisasi PLN, menetapkan UU Ketenagalistrikan, membentuk badan pengatur independen, dan menetapkan kebijakan tarif progresif sesuai dengan tingkat komersial tanpa membebani kelompok miskin. Aturan-aturan ini dibentuk dengan tujuan untuk mengundang investasi swasta dan memperbaiki efisiensi. Untuk sektor migas, pemerintah akan merevisi dan memodernkan UU Energi, mereformasi dan merestrukturisasi Pertamina, meyakinkan agar aturanaturan fiskal mengenai eksplorasi dan produksi tetap kompetitif secara internasional, menyelaraskan harga produk domestik dengan tingkat harga internasional, dan membuat kerangka kebijakan yang sehat untuk mendukung penggunaan energi secara hemat di dalam negeri. UU Energi yang dibuat ini akan memberikan payung hukum bagi pembentukan badan khusus untuk mengalokasikan dan mengawasi kontrak-kontrak eksplorasi, pembentukan badan independen untuk mengatur elemen 26 The International Monetary Fund, “Indonesia-Supplementary Momorandum of Economic and Financial Policies�, The International Monetary Fund, Washington D.C., 11 September 1998. 27 The International Monetary Fund, “Indonesia-Supplementary Momorandum of Economic and Financial Policies�, The International Monetary Fund, Washington D.C., 13 November 1998.

99


Kudeta Putih

monopoli pada bisnis hilir, penciptaan kompetisi yang efektif dalam penyediaan bahan bakar dalam pasar domestik, dan perubahan Pertamina menjadi PT.28 V. 1. 5. LoI Tanggal 1 Mei 2000 Pemerintah berkomitmen melakukan sejumlah reformasi dan restrukturisasi, termasuk reformasi kebijakan harga energi jangka menengah. Pemerintah juga melakukan audit khusus dengan bantuan sejumlah BUMN dalam rangka program restrukturisasi dan privatisasi ini.29 V. 1. 6. LoI Tanggal 31 Juli 2000 Pada LoI ini pemerintah berkomitmen melakukan sejumlah kebijakan, khususnya di sektor energi dengan mempercepat privatisasi dengan segera menyiapkan perangkat hukum bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor ini.30 V. 1. 7. LoI Tanggal 13 Desember 2001 Pemerintah berkomitmen melakukan penyesuaian harga bahan bakar dengan harga pasar dunia.31 Dari pemaparan di atas jelas bahwa UU Migas No. 22 Tahun 2001 lahir sebagai keterikatan Indonesia kepada LoI IMF. Kehadiran UU Migas ini telah menggeser peran monopolistik Pertamina yang juga didorong oleh penilaian akan ketidakefisienan kinerja Pertamina dan adanya tuntutan otonomi daerah pasca reformasi. Banyaknya masalah yang muncul di tubuh Pertamina sebagai dampak dari kebijakan yang memberikan wewenang penuh kepada Pertamina sebelumnya mendorong DPR dan pemerintah mengesahkan undang-undang ini. Sayangnya, 28 The International Monetary Fund, “Indonesia-Supplementary Momorandum of Economic and Financial Policies”, The International Monetary Fund, Washington D.C., 20 Januari 2000. 29 The International Monetary Fund, “Indonesia-Supplementary Momorandum of Economic and Financial Policies”, The International Monetary Fund, Washington D.C., 1 Mei 2000. 30 The International Monetary Fund, “Indonesia-Supplementary Momorandum of Economic and Financial Policies”, The International Monetary Fund, Washington D.C., 31 Juli 2000. 31 The International Monetary Fund, “Indonesia-Supplementary Momorandum of Economic and Financial Policies”, The International Monetary Fund, Washington D.C., 13 Desember 2001

100


Kudeta Putih

“pengebirian” posisi dan peran Pertamina berjalan secara ektrem dan cenderung menganakemaskan kepentingan asing. Mestinya yang diperlukan adalah reformasi di tubuh Pertamina agar lebih transparan dan efisien, dan bukan “menghukum” Pertamina yang bagaimanapun merefleksikan kedaulatan negara dalam pengelolaan migas dengan mengalihkan leverage-nya secara ekstrem kepada sektor swasta, termasuk perusahaan-perusahaan asing di dalamnya. UU Migas tahun 2001 memindahkan peran otoritas Pertamina ke tangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Perubahan peran Pertamina disahkan dalam PP No. 31 Tahun 2003 tentang status Pertamina menjadi persero yang tidak lagi berfungsi sebagai regulator dan kontraktor secara bersamaan.32 Regulasi ini juga mengatur agar Pertamina sebagai persero dapat mengusahakan keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan secara efektif dan efisien dan memberikan kontribusinya bagi kegiatan ekonomi untuk rakyat Indonesia. Dengan demikian, posisi Pertamina sama dengan perusahaan asing yang dapat mengakses pasar modal dan go international.33 Melalui UU Migas baru ini Pertamina harus bersaing dengan perusahaan lain untuk mendapat kontrak wilayah eksploitasi migas di negerinya sendiri. Selain itu, UU No. 22 Tahun 2001 memindahkan kewenangan otoritas Pertamina untuk dijalankan oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) serta Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) yang berada di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. BPH Migas adalah instansi pemerintah yang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bersifat independen yang dibentuk sesuai dengan Pasal 8 Ayat (4) UU No. 22 Tahun 2001. Organisasi BPH Migas diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 67 Tahun 2002 dan Keputusan Presiden No. 86 Tahun 2002. Perbedaan utama antara BP Migas dan BPH Migas, yaitu: (1) BP Migas adalah instansi pemerintah yang bertugas mengawasi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas di Indonesia. BP Migas juga bertugas menandatangani kontrak kerja sama (KKS) dengan kontraktor asing atau nasional; (2) BPH Migas menjadi instansi pemerintah yang mengawasi kegiatan hilir migas, seperti pengolahan, pengaturan, penyimpanan, 32 Tirta N. Mursitama dan R. Maisa Yudono, Strategi Tiga Naga: Ekonomi Politik Industri Minyak Cina di Indonesia, (Depok: Buku Kepik Ungu), hal. 72. 33 Marwan Batubara, “Memanfaatkan Sumber Daya Alam Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat”, diakses dari

http://satunegeri.com/berita-86-memanfaatkan-sumber-daya-alam-untuk-sebesarbesarnya-kemakmuran-rakyat.html.

101


Kudeta Putih

dan niaga. Secara umum, BPH Migas bertugas mengatur dan mengawasi ketersediaan dan distribusi BBM dan gas bumi ke seluruh wilayah Indonesia.34 Pada saat RUU Migas diajukan ke DPR, banyak anggota DPR yang berkeberatan (minderheidsnota - nota keberatan) atas isi RUU tersebut, karena

dianggap berisi prinsip-prinsip liberal dan bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 33. Walaupun menuai banyak perdebatan, undang-undang secara material akhirnya disahkan oleh DPR dan ditandatangani secara formal oleh Presiden. UU Migas yang mengundang nota keberatan dari anggota DPR lainnya kemudian diajukan sebagai judicial review ke Makamah Konstitusi. Namun, Makamah Konstitusi tidak membatalkan UU Migas tahun 2001 dan hanya mencabut tiga pasal di dalamnya yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945, yaitu Pasal 12 Ayat (3), Pasal 22 Ayat (1), dan Pasal 28 Ayat (2) dan Ayat (3).35 Empat pasal UU Migas mendapatkan koreksi dari Makamah Konstitusi, yaitu:36 • Pasal 12 Ayat (3) Menteri menetapkan badan usaha atau bentuk usaha tetap yang diberi wewenang melakukan kegiatan usaha eksplorasi. • Pasal 22 Ayat (1) Badan usaha atau bentuk usaha tetap wajib menyerahkan paling banyak 25 % (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi minyak bumi dan/atau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. • Pasal 28 Ayat (2) Harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan pasar yang sehat dan wajar. • Pasal 28 Ayat (3) Pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab sosial pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu. Secara politis, UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi walaupun sejumlah pihak menilainya bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini dinilai “wajar”, karena pada saat UU Migas dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi, pemerintah menandatangani 34 “Mengenal BPH Migas”, diakses dari http://www.bphmigas.co.id 35 M. Kholid Syeirazi, Op. Cit., hal. 4. 36 Lihat Putusan Makamah Konstitusi Republik Indonesia tanggal 21 Desember 2004 terkait Judicial Review UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi

102


Kudeta Putih

kontrak migas bernilai miliaran rupiah dengan investor asing.37 Selain itu, menjelang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi pada 21 Desember 2004, perusahaan minyak seperti Caltex Pacific Indonesia, Medco E&P Indonesia, dan Star Energy mengancam akan mengajukan gugatan bernilai miliaran dolar jika UU Migas dicabut dan akan memperkarakan pihak-pihak yang membatalkan kontrak kerja yang sudah dibuat ke arbitrase internasional.38

Fakta lain menunjukkan bahwa setidaknya 105 perusahaan sudah mendapat izin untuk bermain di sektor industri hilir migas, termasuk membuka stasiun-stasiun pengisian bahan bakar minyak untuk umum (SPBU), seperti Beyond Petroleum (AS-Inggris), Shell (Belanda-Inggris), Petro China (RRC), Petronas (Malaysia), dan Chevron-Texaco (AS).39 Sedangkan dari sisi pemerintah pernyataan agar UU Migas tidak dibatalkan Mahkamah Konstitusi disampaikan oleh Menko Perekonomian Aburizal Bakrie pada Desember 2004. Bagi pemerintah, undang-undang tersebut dibuat untuk memberikan kepastian hukum kepada calon investor yang akan menanamkan modal di sektor hulu dan hilar industri migas.40 Perancangan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas banyak dipengaruhi negara lain, khususnya Amerika Serikat. Campur tangan Amerika dapat dilihat sebagai negara superpower dunia yang memiliki banyak kepentingan, termasuk terhadap Indonesia. Kepentingan Amerika sangat besar, mengingat roda perekonomian negara itu banyak dipengaruhi oleh minyak bumi. Di sisi lain, minyak bumi memiliki nilai ekonomi dan politik yang strategis. Hampir seluruh negara di dunia menggerakkan industri dari bahan bakar ini. Minyak bumi menjadi primadona sejak era industrialisasi dimulai di Inggris hingga sekarang, sehingga wajar sekali jika negara-negara penghasil minyak bumi terbesar di dunia menggunakannya sebagai alat politik, yakni bargaining power untuk menghadapi negara-negara lain di dunia. Keterlibatan United States Agency for International Development (USAID) dalam reformasi regulasi sektor energi di Indonesia tertuang dalam dua dokumen 37 Seperti yang dikutip oleh M. Kholid Syeirazi dari harian Kompas, 17 Desember 2004. 38 Seperti yang dikutip oleh M. Kholid Syeirazi dari artikel, “Pada Akhirnya semua Dibuat Panik oleh UU Migas”, dalam harian Kompas, 20 Desember 2004. 39 Seperti yang dikutip oleh M. Kholid Syeirazi dari artikel, “Rame-rame Jualan Bensin”, dalam Trust, edisi 11 Tahun 2004 40 Seperti yang dikutip oleh M. Kholid Syeirazi dari artikel, ”Menteri Perekonomian: Berharap UU Migas tidak Dibatalkan oleh MK”, dalam Kompas 18 Desember 2004.

103


Kudeta Putih

berjudul Energy Sector Governance Strengthened dan Energy Sector Reform. Dalam dokumen pertama, Energy Sector Governance Strengthened, yang mulai dijalankan pada tahun fiskal 2000 dan diharapkan selesai pada tahun fiskal 2004, disebutkan beberapa poin penegasan terkait dukungan terhadap liberalisasi sektor energi dan migas di Indonesia, seperti yang dikutip berikut ini:41

Paragraf kedua, kalimat kedua dan keempat dukumen tersebut berbunyi:

“….By minimizing the role of government as a regulator, reducing subsidies, and promoting private sector involvement, a reformed energy sector can contribute billions of dollars in tax revenue. USAID has been the primary bilateral donor working on energy sector reform, which helps leverage larger multilateral loans.”

[“…Dengan mengurangi peran pemerintah sebagai regulator, mengurangi subsidi, dan mempromosikan keterlibatan sektor swasta, sebuah sektor energi yang direformasi dapat berkontribusi miliaran dolar dalam pajak pendapatan. USAID telah menjadi pedonor bilateral utama yang bekerja dalam reformasi sektor energi yang membantu mempengaruhi pinjaman-pinjaman multilateral yang lebih luas lagi”.]

Pada paragraf keempat, USAID secara jelas menyatakan keterlibatannya dalam memberikan bantuan dana untuk merombak regulasi energi Indonesia, seperti dikutip berikut: “USAID intends to obligate a total of $4 million in DA in FY 2001 to strengthen energy sector governance to help create a more efficient and transparent energy sector. USAID advisors play a catalic role in helping the Government of Indonesia develop and implement key policy, legal dan regulatory reforms. In, 2000, the Government of Indonesia reduced energy subsidies by increasing electricity prices by 20% and fuels by 12%.…..the

41 United States Agency for International Development (USAID), “Energy Sector Governance Strengthened”, diakses dari http://www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-013.html

104


Kudeta Putih

Government of Indonesia, with USAID assistance, ensured that national and local parliaments, civil society organizations, media, and universities were involved in the decision. As a result, there was minimal public outcry. USAID also supported this process by providing policy analysis for energy pricing and subsidy removal”

[“USAID bermaksud memberikan dana sejumlah US$ 4 juta dalam Bantuan Langsung pada Tahun Fiskal 2001 guna menguatkan pengaturan sektor energi untuk menciptakan sektor energi yang lebih efisien dan transparan. Para penasihat USAID memegang peran katalis dalam membantu pemerintah Indonesia untuk membangun dan mengimplementasikan kunci kebijakan, reformasi hokum, dan regulasi. Pada tahun 2000, pemerintah Indonesia mengurangi subsidi energi dengan menaikkan harga listrik sebesar 20 % dan BBM sebesar 12 %..... Pemerintah Indonesia dengan pendampingan USAID memastikan bahwa parlemen lokal dan nasional, organisasi-organisasi masyarakat sipil, media, dan universitas-universitas dilibatkan dalam pengambilan keputusan ini. Sebagai hasilnya, terdapat kegaduhan publik yang minimal. USAID juga mendukung proses ini dengan menyediakan analisis kebijakan harga energi dan pencabutan subsidi.”]

Paragraf ketujuh dalam dokumen ini menyatakan USAID secara langsung terlibat dalam memformulasikan kebijakan RUU Migas yang baru, seperti dikutip berikut ini: “USAID helped draft new oil and gas policy legislation submitted to Parliament in October 2000. The legislation will increase competition and efficiency by reducing the role of the state-owned oil company in exploration and production…USAID will continue to work on developing implementing regulations for the oil and gas legislation.” [“USAID membantu merancang legislasi kebijakan minyak dan gas yang baru yang diserahkan kepada DPR pada bulan Oktober 2000.

105


Kudeta Putih

Legislasi ini akan meningkatkan kompetisi dan efisiensi dengan mengurangi peran perusahaan minyak negara dalam eksplorasi dan produksi… USAID akan secara terus bekerja dalam mengembangkan dan mengimplementasikan regulasi untuk legislasi minyak dan gas.”] Guna menghindari perdebatan dan unjuk rasa besar-besaran di masyarakat terkait dengan reformasi kebijakan energi, seperti penghapusan subsidi BBM dan listrik. Maka, USAID melakukan pendekatan dengan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal dan perguruan tinggi dan juga meminta dukungan dari pemerintahan lokal, seperti yang dikutip dari paragraf kesembilan: “In FY 2001, USAID plans to provide $850,000 to support NGOs and universities in developing programs for raising awareness and supporting involvement of local government and the public of energy sector issues, including removal of energy subsidies.” [“Pada tahun fiskal 2001, USAID merencanakan untuk menyediakan US$ 850 ribu untuk mendukung LSM-LSM dan universitasuniversitas dalam pengembangan program-program untuk meningkatkan penyadaran dan mendukung keterlibatan pemerintahan lokal dan publik atas isu-isu energi, termasuk pencabutan atas subsidi energi.”]

Untuk menjalankan reformasi kebijakan energi ini, maka USAID meminta bantuan kepada lembaga keuangan internasional dan regional, seperti Bank Dunia dan ADB. Ini diungkapkan secara gamblang dalam paragraf ketiga belas dalam dokumen tersebut, seperti dikutip berikut ini: “Other Donor Programs: USAID works closely with the Asian Development Bank (ADB) and the World Bank on energy-sector reform. USAID assistance is leveraging a $20 million ADB power sector-restructuring loan, with USAID advisors playing project management and planning roles. The ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in 2000. Complementing USAID efforts, the World Bank has 106


Kudeta Putih

conducted comprehensive studies of the oil and gas sector, pricing policy, and provided assistance to the State electric company on financial and corporate restructuring.” [“Program-program donor lainnya: USAID bekerja dengan dekat dengan ADB dan Bank Dunia dalam reformasi sektor energi. Pendampingan USAID diperluas menjadi US$ 20 juta pinjaman restrukturisasi sektor tenaga listrik dengan penasihat-penasihat USAID memainkan peran manajemen dan perencanaan proyek. ADB dan USAID bekerja sama dalam merancang undang-undang minyak dan gas baru pada tahun 2000. Untuk melengkapi usaha-usaha USAID, Bank Dunia telah melakukan studi komprehensif dalam sektor minyak dan gas, kebijakan penentuan harga, dan menghadirkan pendampingan kepada Perusahaan Listrik Negara atas restrukturisasi keuangan dan korporasi.”] Dalam dokumen kedua yang dikeluarkan USAID berjudul Energy Sector Reform, yang mulai dijalankan pada tahun fiskal 2000 dan diharapkan selesai pada tahun fiskal 2005, USAID dengan tegas menyatakan komitmennya untuk terus membantu pemerintah Indonesia melakukan reformasi kebijakan energi, seperti tertuang dalam paragraf pertama, kalimat keempat, dan dalam paragraf kedua berikut ini:42 “USAID’s program to improve assistance and training to: accelerate implementation of legal and regulatory reforms governing the oil and gas and electricity sectors; strengthen Government of Indonesia (GOI) capacity to analyze and set energy policy; boarden public participation in energy sector reforms; eleminate subsidies to rationalize energy prices; and increase investment in environmentally friendly energy production and use.” [“Program USAID untuk meningkatkan pendampingan dan pelatihan untuk: percepatan implementasi reformasi hukum dan regulasi yang 42 United States Agency for International Development (USAID), “Energy Sector Reform”, diakses dari http:// www.usaid.gov/policy/budget/cbj2004/asia_near_east/Indonesia.pdf

107


Kudeta Putih

memerintah sektor-sektor minyak dan gas dan listrik; menguatkan kapasitas pemerintah Indonesia untuk menganalisis dan menyususn kebijakan energi; memperluas partisipasi publik dalam reformasi sektor energi; penghapusan subsidi-subsidi untuk merasionalisasikan harga-harga energi; dan meningkatkan investasi dalam produksi dan penggunaan energi yang ramah lingkungan. ”]

“Accelerate implementation of key energy sector policy and legal reforms ($1,500,000 DA) will fund technical assistance and training to assist the GOI in developing regulations and guidelines to implement the new Oil and Gas Law and the Electricity Law (both laws were drafted with USAID assistance), and assist in the establishment and initial operation of the independent Regulatory Board for downstream oil dan gas operation. USAID advisors will work with government and non-governmental institutions to help Indonesia achieve its planned 50 percent reduction of energy subsidies in 2003, including efforts to help the public understand why prices will rise. Technical assistance will support efforts to develop alternative fuels for kerosene and assist in the drafting and passage of a new law governing Indonesia’s geothermal energy resources.” [“Mempercepat implementasi kebijakan dan regulasi hukum sektor energi (US$ 1.500.000) akan mendanai pendampingan teknis dan pelatihan untuk mendampingi pemerintah Indonesia dalam pembangunan regulasi dan tuntunan untuk menerapkan UU minyak dan gas baru dan UU listrik yang baru (kedua UU dirancang dengan pendampingan USAID), dan mendampingi dalam pembangunan dan operasi permulaan independen dari BP Migas. Para penasihat USAID akan bekerja dengan pemerintah dan institusi-institusi nonpemerintah untuk membantu Indonesia meraih pengurangan 50 % subsidi energi yang telah direncanakan pada tahun 2003, termasuk usaha-usaha untuk membantu publik memahami mengapa hargaharga akan naik. Pendampingan teknis akan mendukung usaha-usaha untuk mengembangkan alternatif BBM untuk minyak tanah dan

108


Kudeta Putih

membantu dalam merancang dan menerima undang-undang baru yang mengatur sumber-sumber energi geotermal Indonesia. ”] Berdasarkan pemaparan di atas sangatlah jelas Amerika Serikat lewat lembaga bantuan asing di luar negeri, yakni USAID, berperan besar dalam merancang UU

No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi serta liberalisasi sektor migas di Indonesia secara umum. Ini dapat terlihat dari total dana yang dialirkan USAID untuk pembahasan RUU Migas dan turunannya, selama kurun waktu 2001-2004, yaitu US$ 21,1 juta atau sekitar Rp 200 miliar.43 Namun, dana sebesar itu belum dapat dipastikan mengalir ke tangan siapa saja, seperti yang diungkapkan Ketua Panitia Sidang Hak Angket BBM, Zulkifli Hasan, pada tahun 2008 di gedung DPR.44 Keterlibatan Amerika dalam merancang UU Migas yang baru juga diperkuat Ichsanuddin Noorsy, sebagai saksi ahli dalam Panitia Hak Angket BBM, yang menunjukkan sejumlah dokumen yang menguatkan ke arah intervensi asing, seperti teleteks (semacam radiogram) dari Washington DC kepada Duta Besar di Indonesia, J. Stepleton Roy, untuk menyelesaikan sejumlah pekerjaan yang ada di dalam dokumen tersebut. Dalam dokumen tersebut tertulis, “Naskah RUU Minyak dan Gas Bumi diharapkan dikaji ulang parlemen Indonesia pada bulan Januari.” Isi dokumen tersebut dikategorikan rahasia atau confidential.45 Ichsanuddin Noorsy juga mengatakan ada dokumen laporan Bank Dunia, “Proyek Energi Indonesia” yang disiapkan pada 17 November 2000. Isi dokumen tersebut menyatakan nilai proyek US$ 730 juta yang dibagi menjadi US$ 310 juta dana pemerintah dan sisanya, US$ 420 juta dari Bank Dunia.46 Berdasarkan peenjelasan tersebut jelas sekali ada banyak sekali undangundang yang dibuat dan disahkan pasca krisis moneter 1997/1998 yang dipengaruhi kepentingan asing dan dirancang oleh mereka sendiri melalui lembaga bantuan asing, tak terkecual di sektor migas. Menurut Hendri Saparini, hal ini merupakan bentuk 43 “Ada Intervensi Asing di Penyusunan UU Migas”, Kamis, 28 Agustus 2008, diakses dari http://nasional. kompas.com/read/2008/08/28/07372588/ada.intervensi.asing.di.penyusunan.uu.migas. 44 Ibid. 45 “Intervensi Asing di Sektor Energi Terkuak”, Jumat, 5 September 2008 diakses http://www.kompas.com/ lipsus052009/antasariread/2008/09/05/0751414/Intervensi.Asing.di.Sektor.Energi.Terkuak 46 Ibid.

109


Kudeta Putih

policy matrix undang-undang dari utang yang dikucurkan oleh lembaga bantuan asing, seperti dalam hal ini adalah USAID.47 Sementara itu, korporasi asing juga memiliki peran yang besar yang berusaha memasukkan agenda kepentingannya melalui pemerintah di negara asalnya masing-

masing serta lembaga bantuan/donor internasional. Sedangkan di negara tujuan tempat mereka melakukan investasi, mereka banyak mempengaruhi para perancang atau pembuat kebijakan (eksekutif, legislatif, ataupun para pembuat opini publik seperti para akademisi). Kuatnya kepentingan Amerika dalam industri migas Indonesia bukanlah hal baru. Kerja sama di sektor energi migas antara pemerintah Indonesia dan Amerika sudah dimulai sejak tahun 1990 dengan ditandatanganinya Bilateral Investment Treaty (BIT). Namun, dialog kebijakan energi publik dan swasta untuk pertama kali dimulai pada Mei 1995 yang intinya membahas lingkungan yang kondusif bagi investasi perusahaan energi Amerika. Dialog kedua dilaksanakan pada Oktober 1998 tentang migas, batu bara, listrik, dan energi terbarukan.48 Ada beberapa alasan Amerika melebarkan sayap investasi sektor migas di Indonesia, di antaranya:49 1. Memperluas pasokan energi nasionalnya sebagai bagian dari national and economic security; 2. Ketidakstabilan kondisi ekonomi dan politik di Timur Tengah; 3. Tingginya harga minyak mentah dunia. Di sisi lain, kepentingan Indonesia pada saat reformasi tahun 1998 adalah penyelamatan perekonomian nasional yang mengalami kemunduran akibat krisis ekonomi dan moneter.50 Kepentingan Amerika dalam membantu pemulihan ekonomi di Indonesia ditujukan untuk menjaga stabilitas kawasan, khususnya di Asia Tenggara, karena Indonesia dianggap sebagai negara pendulum yang penting bagi stabilitas 47 Hasil wawancara dengan Hendri Saparini, Pengamat Kebijakan Publik Indonesia, di Kantor ECONIT, pada tanggal 4 April 2012 pukul 16.00 WIB. 48 The Peterson’s Institute, “Indonesia’s Energy and Mining”, diakses dari http://www.petersoninstitute.org 49 Ibid. 50 Cyrillus Harinowo, “Program IMF dan Pemulihan Ekonomi Indonesia.”, dalam Ramadhan Pohan (ed.), Menjaga Jembatan Jakarta-Washington Dubes Dorodjatun Kuntjoro-Jakti 1998-2001, Washington DC, 2001, hal. 101.

110


Kudeta Putih

ekonomi dan politik kawasan. Selain itu juga mengingat Amerika merupakan investor terbesar dan Indonesia menyimpan kekayaan sumber daya alam seperti minyak dan gas bumi, emas, kekayaan laut, dan lainnya. Ditambah lagi, Indonesia merupakan pangsa pasar yang potensial bagi produk-produk asal Amerika.51 Lebih jauh lagi, kerja sama di sektor energi migas antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat sudah dimulai sejak tahun 1990 dengan ditandatanganinya BIT. Namun, dialog kebijakan energi publik dan swasta untuk pertama kali dimulai pada Mei 1995 yang intinya membahas lingkungan yang kondusif bagi investasi perusahaan energi Amerika. Dialog kedua dilaksanakan pada Oktober 1998 tentang migas, batu bara, listrik, dan energi terbarukan.52 IV. 1. 3. 2. Implikasi Penerapan UU No. 22 Tahun 2001 terhadap Industri Migas Indonesia v Industri Minyak Bumi Industri migas dipandang penting dan strategis, karena mampu memberikan pendapatan negara yang signifikan. Besarnya aliran pendapatan negara dari sektor migas dapat dilihat dari dekade 1970-an dan 1980-an. Pada dua dekade tersebut pendapatan negara tahunan dari sektor ini menyumbang lebih dari 60 % dan bahkan bisa mencapai 70 % dari total pendapatan negara. Sedangkan pada dekade 1990an, pendapatan dari sektor ini sekitar 30 % atau lebih.53 Pada tahun 2005 Indonesia berhasil menarik FDI, di mana sepertiganya berasal dari sektor energi dan tambang, seperti migas dan batu bara yang telah mendapatkan persetujuan pemerintah. Sektor ini juga menyumbang US$ 24 miliar bagi pendapatan negara dari sektor ekspor atau 30 % dari total pendapatan negara.54 Besarnya pendapatan negara dari industri ini menunjukkan Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam. Diprediksikan terdapat 128 oil basins di Indonesia. Namun, hanya 38 jenis yang secara intensif tereksploitasi.55 51 52 53 54 55

Notrida Mandica, “Dinamika Diplomasi Indonesia terhadap AS.� Dalam Ramadhan Pohan (ed.), Ibid., hal. 27 The Peterson’s Institute, Loc. Cit. Francisia S.S.E. Seda, Op. Cit., hal. 183. The Peterson’s Institute, loc. Cit. Pricewaterhouse Coopers Indonesia, Oil and Gas in Indonesia: Investment and Taxation Guide Mei 2010, diakses dari www.pwc.com/en_ID/id/publications/assets/OilAndGas-InvestmentAnd, hal. 9

111


Kudeta Putih

Peta IV.1. Potensi Cadangan Minyak Bumi Indonesia

Cadangan minyak bumi terbesar terdapat pada wilayah Sumatera Tengah (49,4%), Jawa Timur (13,2%), Sumatera Selatan (11,2%), dan Kalimantan (8,6%) dari total cadangan minyak bumi. Keterangan: Status: 1 Januari 2010, M = Ribu, MMSTB = Juta Stok Tank Barel Sumber: Ditjen Migas dalam Jurnal Energi, Edisi Delapan, November-Februari 2012, hal. 15

Walaupun Indonesia kaya cadangan minyak bumi, tetapi kegiatan eksploitasi terus mengalami penurunan. Ini dapat dilihat dari produksi minyak mentah domestik atau lifting minyak yang terus mengalami penurunan selama satu dekade terhitung mulai tahun 1998 hingga 2009. Di sisi lain, konsumsi BBM dalam negeri terus meningkat dan mendorong Indonesia menjadi net importer minyak mentah sejak tahun 2004. Para era 1980-an sampai krisis ekonomi melanda tahun 1997, produksi minyak mentah Indonesia dalam kondisi stabil sekitar 1,5 juta barel per hari (bph). Mulai tahun 1999 produksi minyak menurun menjadi 1,4 juta bph. Pada tahun 2001 produksi minyak terus menurun sampai di bawah 1 juta bph.56 Penurunan produksi 56 Jati Andrianto, Wendy S. Hutahean, Irwansyah, Isno Usnodo, dan Fekum Ariesbowo, “Bola Panas: Revisi UU Migas No. 22 Tahun 2001�, dalam Warta Ekonomi, Edisi 20 Tahun XXI, 12 Oktober-18 Oktober 2009, hal. 57

112


Kudeta Putih

minyak mentah dalam negeri ini disebabkan beberapa hal, di antaranya natural maturation dalam produksi di lapangan-lapangan minyak yang dikombinasikan dengan penggantian cadangan (energi alternatif ) yang masih lamban serta menurunnya tingkat eksplorasi atau investasi. Pada tahun 2009 total produksi minyak mentah

hanya mencapai 0,949 juta barel per hari atau menurun 33 % sejak tahun 2000.57 Total produksi minyak Indonesia mengalami penurunan signifikan, yaitu 32 % sejak tahun 1996 seiring dengan menurunnya produksi lapangan minyak besar. Di sisi lain, tingkat konsumsi minyak bumi atau BBM di Indonesia mencapai lebih dari 1,2 juta bph, menjadikan Indonesia sebagai net importer minyak di dunia pada tahun 2004 dan meninggalkan keanggotaannya di Organisation of Petroleum Exporting Countries (OPEC).58 Grafik IV. 1. Produksi (Lifting) dan Konsumsi Minyak Bumi Indonesia Tahun 1981-2008 (000 barel)

Sumber: Diolah dari Energy Information Administration, 2009 dalam “Bola Panas Revisi UU Migas No. 22 Tahun 2001”, Warta Ekonomi, Edisi 20 Tahun XXI, 12 Oktober-18 Oktober 2009, hal.57.

57 Pricewaterhouse Coopers Indonesia, Op. Cit. 58 Indonesia Norway Business Council, “Doing Business in Indonesia: A Norwegian Perspective”, Februari 2011, diakses dari www.norway.or.id/PageFiles/364383/DOING_BUSINESS_IN_INDONESIA.

113


Kudeta Putih

Tingginya tingkat konsumsi minyak bumi yang tidak sebanding dengan peningkatan produksi atau lifting minyak dalam negeri menjadi alasan utama Indonesia menjadi net importer minyak bumi. Pada rapat dengar pendapat Komisi VII DPR dengan jajaran manajemen Pertamina pada akhir Juni 2008, Pertamina mengatakan bahwa 65 % pasokan minyak mentah dalam negeri berasal dari dalam negeri dan sisanya adalah hasil impor. Perinciannya, 68 % atau 225 ribu barel berasal dari kontrak berjangka setahun dan 32 % atau 100 ribu barel dari hasil tender yang dilakukan setiap bulan.59 Diagram IV. 1. Sumber Pasokan Minyak Mentah

Sumber: “Menghitung Langkah Para Trader�, dalam majalah Trust, No. 40 Tahun VI, 28 Juli-3 Agustus 2008, hal.13 59 “Menghitung Langkah Para Trader�, dalam majalah Trust, No. 40 Tahun VI, 28 Juli-3 Agustus 2008, hal.12

114


Kudeta Putih

Implikasi nyata dari disahkannya UU Migas yang baru adalah sebagai net importer minyak, Indonesia harus membeli minyak mentah dari luar negeri yang fluktuatif untuk mengamankan kebutuhan BBM di dalam negeri. Pada tahun 2008 terjadi kenaikan harga minyak dunia yang cukup signifikan yang didorong aksi

spekulasi penentuan harga minyak dunia yang kuat.60 Menurut John Sunarmo (Presiden Direktur Pertamina Energy Services atau PES), aksi spekulasi ini terus berlangsung. Belum pulihnya kekuatan dolar AS sebagai mata uang utama di pasar uang dunia membuat minyak menjadi pilihan bagi para manajer investasi untuk bermain. Maka, stok minyak dan kekayaan dari minyak dapat beralih dari para produsen minyak kepada trader dan pialang yang tidak memiliki sumur kilang, gudang, atau tanker.61 Kondisi di atas dimungkinkan, karena Pertamina tidak lagi memegang kuasa penuh atas industri hulu migas tanah air dan harus membeli 85 % jatah negara atas minyak di Indonesia dari operator blok yang mayoritas dikuasai pihak asing. Tidak hanya itu, Pertamina juga harus membeli minyak berdasarkan Indonesian Crude Price (ICP). Sedangkan sisanya sebesar 15 % harus dibeli Pertamina melalui trader yang ditentukan oleh BP Migas.62 Untuk memenuhi pasokan BBM dalam negeri, Pertamina harus membuka keran impor. Untuk itu, Pertamina tidak dapat membeli minyak mentah secara langsung, tetapi harus melalui trader.63 Salah satu perusahaan trader milik Pertamina adalah PES. Menurut John Sunarmo, untuk dapat melakukan transaksi pembelian 60 Ini dikarenakan, porsi paper market dalam perdagangan minyak dunia terus membesar dibandingkan dengan perdagangan fisiknya. Kongres Amerika Serikat mengungkapkan bahwa porsi paper market di pasar energi New York Merchantile Exchange (NYMEX) sudah bergerak dari 4,6% tahun 2003 menjadi 30,7% pada tahun 2005. pada tahun 2006, angka tersebut menanjak menjadi di atas 50%. Ini diperkuat dengan analisis dari The New York Times bahwa lembaga keuangan semacam Goldman Sachs dan Morgan Stanley pada tahun 2005 dapat meraih keuntungan 1,5 miliar Dollar AS dari perdagangan minyak dunia. Untuk lebih lengkapnya baca Hardy R. Hermawan, “Pasar Minyak yang Kian Tanpa Minyak�, dalam majalah Trust, No. 40 Tahun VI, 28 Juli-3 Agustus 2008, hal.15 61 Ibid., hal 15-16. 62 Jati Andrianto, Wendy S. Hutahean, Irwansyah, Isno Usnodo, dan Fekum Ariesbowo “Bola Panas Revisi UU Migas No. 22 Tahun 2001�, Warta Ekonomi, Edisi 20 Tahun XXI, 12 Oktober-18 Oktober 2009, hal.58. 63 Trader adalah perusahaan yang terdaftar di bursa efek dunia yang memiliki akses untuk membeli minyak mentah dunia.Meroketnya harga minyak mentah dunia per barel pada tahun 2008 mendorong beberapa produsen minyak swasta di dunia berupaya memperkuat usaha trading mereka, seperti ExxonMobil, BP, Chevron, Shell, ConocoPhilips, Total FinaElf. Para produsen minyak ini merekrut banyak analisis dan ahli riset guna mendampingi pialang-pialangnya. Sementara induk perusahaannya tetap berkonsentrasi di sektor hulu. Perusahaan minyak negara di berbagai negara lain memiliki traders, sebut saja Petronas Malaysia melalui trading-nya Petco, Saudi Aramco melalui Saudi Petroleum International, Sonatrach Aljazair melalui Sonatrach Petroleum International, dan trader Q8 asal Kuwait. Hardy R. Hermawan, Loc. Cit.

115


Kudeta Putih

minyak mentah di pasar internasional harus dilakukan secara cepat, perencanaan matang, riset yang mumpuni, jaringan luas, dan manajemen kuangan yang optimal.64 Pertamina sering membeli minyak mentah dari PES. Namun, hal ini tidaklah mudah, karena walaupun PES adalah anak perusahaan Pertamina, PES harus tetap menjalankan proses tender yang ditentukan BP Migas dan bersaing dengan trader dari perusahaan pemerintah asing atau swasta asing lainnya dalam memenuhi persentase impor BBM Pertamina. Pembelian melalui trader ini yang menyebabkan harga minyak bisa berada jauh di atas asumsi harga minyak yang telah ditetapkan dalam APBN.65

Implikasi kedua dari penerapan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas adalah besarnya dominasi jumlah konsesi yang dikuasai pihak asing di sektor migas. Dari total 225 blok yang dikelola kontraktor kontrak kerja sama non-Pertamina, 120 blok dikuasai pihak asing, 28 dioperasikan oleh perusahaan minyak nasional, dan sekitar 77 blok dioperasikan pihak asing dan nasional.66 Ini merupakan dampak langsung dari ditetapkannya UU Migas No. 22 Tahun 2001, yaitu pembatasan peran pemerintah dalam pengelolaan migas nasional yang secara umum memberikan peluang untuk: (1) divestasi Pertamina; (2) membuka kesempatan yang lebih luas kepada perusahaan asing untuk berinvestasi di sektor migas; (3) perusahaan asing dan domestik dibiarkan menetapkan harga migas sendiri.67 Sejauh ini ada beberapa negara yang ikut serta dalam industri migas, di antaranya Amerika Serikat, Inggris, Uni Eropa, China, dan beberapa negara di Timur Tengah. Perusahaan tersebut adalah Exxon Mobil, Shell, Conoco Phillips, Petronas, BP, Total, Hess, dan lainnya. UU No. 22 Tahun 2001 memberikan peluang yang sama baik bagi kompetitor domestik dan asing dalam industri migas Indonesia. Maraknya investasi yang dilakukan perusahaan asing ini didukung beberapa hal:68

64 Ibid. 65 Jati Andrianto, Wendy S. Hutahean, Irwansyah, Isno Usnodo, dan Fekum Ariesbowo, “Bola Panas: Revisi UU Migas No. 22 Tahun 2001”, dalam Warta Ekonomi, Edisi 20 Tahun XXI, 12 Oktober-18 Oktober 2009, hal. 59. 66 “Menyoal Kepemilikan Asing.”, diakses dari http://www.politikana.com/baca/2011/05/2....kan-asing.html 67 Marwan Batubara, Loc. Cit 68 The Peterson’s Institute, Loc. Cit.

116


Kudeta Putih

1. Kapasitas finansial; 2. Berpengalaman menghadapi regulasi lingkungan yang ketat; 3. Teknologi untuk ekspansi eksplorasi dan produksi; 4. Transportasi di ladang minyak lama dan baru.

Sebagian besar industri sektor migas di Indonesia dikuasai dan dikelola pihak asing. Lebih dari 85% produksi minyak mentah dikuasai perusahaan-perusahaan yang berasal dari Amerika Serikat, China, Jepang, dan Eropa. Sedangkan pemerintah membeli minyak mentah pada tingkat harga pasar.69 Pemerintah tidak dapat berbuat banyak saat hasil ekspoitasi minyak mentah Indonesia diekpor ke kilang-kilang minyak di luar negeri, seperti Singapura. Kemudian mengimpor kembali minyak dari kilang-kilang tersebut dari Singapura pada tingkat harga pasar. Di sisi lain, pemerintah harus mengeluarkan cost recovery untuk menggantikan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan asing saat berlangsung eksplorasi dan eksploitasi minyak dilakukan. Dominasi sektor minyak bumi nasional dikuasai oleh perusahaan asing yang sebagian besar berasal Amerika Serikat. Perusahaan-perusahaan minyak Amerika yang menjadi penghasil minyak terbesar di Indonesia adalah Chevron. Selain itu terdapat perusahaan lain seperti Pertamina, Conoco Philips, Exxon Mobil, dan Total. Sebagai tambahan, perusahaan-perusahaan itu juga banyak bergerak di sektor gas bumi. Sedangkan transmisi dan distribusi gas nasional didominasi oleh BUMN, yakni Perusahaan Gas Negara (PGN). Dominasi perusahaan asing di sektor minyak bumi dapat dilihat dari diagram berikut ini.

69 M. Hatta Taliwang dan Salamuddin Daeng, dkk, Op. Cit., hal. 17

117


Kudeta Putih

Diagram IV. 2. Perusahaan Asing Dalam Produksi Minyak Mentah Indonesia Bulan Desember 2009

Sumber: majalah bulanan Petrominer No.01 Vol XXXVII, 5 Januari 2010 dalam Price Water House Coopers, Oil and Gas in Indonesia: Investment and Taxation Guide, Mei 2010, diakses dari http://www.pwc. com/id/en/publications/assets/OilAndGasInvestmentAndTaxationGuide-2010.pdf

Peningkatan peran asing dalam industri minyak dan gas bumi di Indonesia tidak terlepas dari pemberlakuan UU No. 22 Tahun 2001 yang menjadi dasar privatisasi dan liberalisasi di tingkat hulu dan hilir industri migas di Indonesia. Reformasi undangundang ini menjadi dasar dominasi asing di hulu migas.70 Ini karena dikembalikannya otoritas atas lapangan migas dari Pertamina kepada BP Migas. Menurut pakar migas Marwan Batubara dalam bukunya, Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam Menuju Negara Berdaulat, posisi Pertamina dilemahkan secara sistematis, baik secara kewenangan, penguasaan terhadap ladang-ladang minyak, dan kemampuan melakukan kegiatan-kegiatan produksi. Selain itu, Pertamina sering kalah dalam kontrak-kontrak migas di negeri sendiri.71 70 Sektor hulu (upstream) dapat diartikan sebagai sektor ekstraktif atau sektor primer sedangkan sektor hilir (downstream) adalah sektor yang meliputi pemanfaatan hasil-hasil eksploitasi sumber daya alam tersebut. Selain panas bumi, sektor hulu Pertamina antara lain adalah minyak dan gas bumi. Sementara itu sektor hilir mencakup pengolahan, pemasaran dan niaga, serta perkapalan untuk distribusi produk. 71 M. Hatta Taliwang dan Salamuddin Daeng, dkk, Op. Cit., hal. 44.

118


Kudeta Putih

Penguasaan minyak bumi oleh asing bukan tanpa masalah. Ada beberapa kasus konflik antara pemerintah dan kontraktor asing (KPS) dalam perebutan blok minyak yang terangkum berikut ini. l

Blok Semai V72

Operasi ekpolitasi gas di Blok Semai V dijalankan oleh Amerada Hess, perusahaan migas asing asal Amerika yang ditunjuk oleh pemerintah pada 31 Oktober 2008. Blok ini terletak di Laut Arafuru, Papua, dan merupakan penemuan ladang minyak terpenting sepanjang sepuluh dekade terakhir. Kandungan gas di Blok Semai V mencapai lebih dari 8 triliun kaki kubik. Pada hari penandatanganan kontrak, Pertamina menyesali keputusan pemerintah mengalahkan BUMN migas ini. Padahal, Pertamina telah memberikan total komitmen investasi di atas Amerada Hess dengan total komitmen kontrak kerja hingga tiga tahun yang mencapai US$ 252,26 juta dibandingkan dengan penawaran Hess yang hanya US$ 143 juta, walaupun komitmen tanda bonus Pertamina sebesar US$ 15 juta, lebih rendah dibandingkan komitmen tanda bonus Hess sebesar US$ 40 juta. Menurut Marwan Batubara, dicurigai adanya kekuatan di luar tim lelang yang melakukan intervensi langsung sehingga pemerintah lebih memenangkan Blok Semai V untuk ditangani oleh Hess dan bukan oleh Pertamina. Hal ini juga terjadi pada proyek-proyek eksploitasi migas lainnya di Indonesia. l

Blok Cepu73

Blok Cepu adalah salah satu blok dengan cadangan migas terbesar di Indonesia yang jatuh ke Exxon Mobil, perusahaan migas asal Amerika. Dalam Joint Operating Agreement, Exxon Mobil bersama dengan Pertamina sebagai pengelola, kendali penguasaan pada tingkat praktik di tangan Exxon Mobil. Posisi kunci dan divisi strategis, seperi general manager, dipegang Exxon Mobil. Blok Cepu yang berhasil dimenangi Exxon 72 Marwan Batubara, Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam Menuju Negara Berdaulat, ( Jakarta: PKP-N, 2009), hal. 47 dan 51 73 Marwan Batubara, “Memanfaatkan Sumber Daya Alam untuk Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat�, diakses dari http://satunegeri.com/berita-86-memanfaatkan-sumber-daya-alam-untuk-sebesarbesarnyakemakmuran-rakyat.html

119


Kudeta Putih

Mobil ini mengakibatkan kerugian negara yang hanya menerima 54 % dari pendapatan total blok ini yang dapat mencapai US$ 165,74 miliar atau sekitar Rp 1.500 triliun. Di sisi lain, Pertamina memiliki kemampuan untuk mengelola blok tersebut, baik secara finansial maupun teknis. Direktur Utama Pertamina menyatakan kesanggupan mengelola blok ini. Namun, hal ini tidak menjadi pertimbangan pemerintah.

Kesepakatan Blok Cepu tersangkut oleh masalah hukum, yaitu terkait dengan nepotisme pada masa pemerintahan Orde Baru yang ditandai dengan diserahkannya secara tiba-tiba Blok Cepu dari Pertamina ke Humpuss Patragas (HPG), walaupun Pertamina telah siap melakukan eksplorasi dan eksploitasi di blok tersebut. HPG kemudian menjual sahamnya ke kontraktor asing, Ampolex. Ini merupakan pelanggaran, karena tidak diperbolehkan pengalihan saham ke kontraktor asing. Selanjutnya Exxon Mobil menguasai seluruh saham HPG di Blok Cepu. Plan of Development (PoD) Blok Cepu yang disepakati oleh Pertamina dan Exxon Mobil pada akhir tahun 2001 tidak pernah disepakati oleh Exxon Mobil. Oleh karena itu, Technical Assisstant Contract (TAC) antara Exxon Mobil dan Pertamina seharusnya berakhir. Pemerintah sendiri yang pada akhirnya melakukan pelanggaran hukum melalui pembentukan Tim Perundingan Blok Cepu yang mengambil kewenangan Direksi Pertamina yang jelas melanggar UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Pemerintah menerbitkan peraturan-peraturan yang intinya memberikan kemudahan fasilitas bagi Exxon Mobil untuk menguasai Blok Cepu, seperti PP No. 35 Tahun 2004 dan PP No. 34 Tahun 2005 yang tujuannya adalah memberikan landasan hukum kepada Exxon Mobil dalam memperoleh kontrak selama 30 tahun. Keberpihakan pemerintah terhadap Exxon Mobil atas blok ini terkait dengan dialog Presiden Yudhoyono dengan Presiden Amerika George Bush di Santiago, Chili, pada tahun 2004 agar pemerintah Indonesia mengaktifkan kembali kontrak-kontrak migas, termasuk Blok Cepu. Pernyataan ini diperkuat Wapres Amerika Dick Cheney kepada Presiden Yudhoyono di Washington DC pada Mei 2005. Pada September 2005 di sela sidang APEC, Bush dan Yudhoyono melanjutkan dialog terkait dengan kontrak migas Amerika di Indonesia. Tekanan pemerintah Amerika terhadap Indonesia ditunjukkan dengan kedatangan Condoleezza Rice ke Indonesia pada tahun yang sama sebelum penandatanganan Joint Operation Agreement atas Blok Cepu.

120


Kudeta Putih

v Industri Gas Bumi Seperti halnya minyak bumi, gas atau liquefied natural gas (LNG) juga diincar perusahaan-perusahaan asing yang berasal dari negara-negara industri, seperti

Amerika Serikat, Jepang, China, dan Inggris. Produksi LNG Indonesia meningkat seiring dengan keterlibatan swasta asing di sektor ini. Indonesia menyuplai 2,3 % pasar produksi gas bumi dunia pada tahun 2008. Sebagian besar LNG diekspor ke negara-negara industri, seperti Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, Singapura, China, dan Taiwan. Sama halnya dengan sektor minyak bumi, perusahaan-perusahaan asing yang melakukan investasi gas bumi dibiayai oleh bank-bank pemerintah negaranegara industri maju, karena kegiatan industri dimaksudkan untuk mendukung kegiatan ekpor di negara-negara tersebut. Berikut ini diagram keterlibatan perusahaan asing dalam industri sektor gas bumi di Indonesia.

Diagram IV. 3 Produksi Gas Bumi dan Kontraktor Utama Bulan Desember 2009

Sumber: majalah bulanan Petrominer No.01 Vol XXXVII, 15 Januari 2010 dalam Price Water House Coopers, Oil and Gas in Indonesia: Investment and Taxation Guide, Mei 2010, diakses dari http://www. pwc.com/id/en/publications/assets/OilAndGasInvestmentAndTaxationGuide-2010.pdf

121


Kudeta Putih

Jika dalam sektor minyak bumi Indonesia menjadi net importer, maka dalam sektor gas bumi negara kita menjadi net exporter. Gas bumi di sini dibagi menjadi dua jenis, yaitu liquefied natural gas (LNG) dan liquefied petroleum gas (LPG). Indonesia mampu mengekspor gas bumi, karena produksi gas bumi melebihi kapasitas konsumsi domestik, seperti terlihat dalam grafik berikut ini.

Grafik IV. 2. Produksi Gas Bumi Nasional Tahun 1984-2004

Billion Cubic Feet

3 000

Production

2 500 2 000

Net Exports

1 500 1 000

Consumption

500 0 1984

1988

1992

1996

2000

2004

Year Sumber: EIA International Energy Annual 2004

Secara statistik, ekspor LNG Indonesia hingga tahun 2007 mencapai 65,94 %. Berdasarkan tabel di atas, produksi LNG tahun 2007 jika dikonversikan menjadi bahan bakar cair atau liquid akan menghasilkan 24,65 juta ton gas cair. Konsumsi LPG dalam negeri tahun 2007 yaitu selisih antara produksi dan ekspor LPG sebesar 1.718.926,39 metrik ton. Jumlah konsumsi dalam negeri hanya sebesar 7 % dari potensi gas nasional, dengan asumsi seluruh gas diolah menjadi sumber energi.74 74 Ibid., hlm. 20

122


Kudeta Putih

Tabel IV. 1. Produksi dan Ekspor

Liquefied Natural Gas (LNG) dan Liquefied Petroleum Gas (LPG) Indonesia Produksi Tahun

LPG (metrik ton)

LNG (MMBTU)

Eksport LPG (metrik ton)

LNG (MMBTU)

2004

2.945.317,06

1.303.917.204,36

971.496,56

1.332.415.280,0

2005

2.743.174,58

1.226.594.961,15

733.331,84

1.217.817.190,0

2006

1.774.583,12

1.162.769.909,70

291.313,41

1.176.287.570,0

2007

2.117.119,70

1.079.571.013,16

398.193,31

711.870.310,0

Keterangan: 1 metrik ton liquid = 52, 89 MBTU gas LNG Sumber: Departemen ESDM, 2008

Namun demikian, kondisi ini bukanlah berita menggembirakan bagi kepentingan nasional. Ini dapat dilihat dari perbandingan harga antara LPG yang dihasilkan perusahaan asing yang dijual di pasar domestik dengan harga lebih tinggi daripada LNG yang dijual di luar negeri atau diekspor. Harga LNG yang disepakati dalam kontrak ekpor sebesar US$ 3,8 per MMBTU (kontrak penjualan LNG Tangguh) atau setara dengan US$ 3,8 per 528,9 kilogram gas cair. Sehingga pada level kurs Rp 10.000 per dolar AS, harga gas cair yang diekspor sebesar Rp 71,84 per kilogram. Sementara harga jual gas kemasan di pasar domestik yang ditujukan untuk konsumsi publik Rp 11.400 per kilogram.75

Konflik kepentingan menjadi salah satu isu penting dalam dominasi asing di sektor gas bumi di Indonesia. Salah satunya adalah Gas Tangguh yang dioperasikan oleh British Petroleum (BP) yang beroperasi di Lapangan Tangguh, Provinsi Papua, seperti dijabarkan berikut ini.

75 M. Hatta Taliwang dan Salamuddin Daeng, dkk, Op. Cit., hal. 21.

123


Kudeta Putih

l

Gas Tangguh

Salah satu perusahaan asing yang bergerak di sektor gas bumi ini adalah British Petroleum yang beroperasi di Lapangan Tangguh, Provinsi Papua. Produksi

BP ditujukan untuk ekspor ke negara-negara industri seperti Amerika, Korea Selatan, China, dan Jepang. Para pemebeli meliputi: Fujian LNG China sebanyak 2,6 juta ton per tahun, K-Power Korea sebanyak 0,6 juta ton per tahun, POSCO Korea sebanyak 0,55 juta ton per tahun. Lebih jauh lagi, BP juga telah menyepakati prinsip-prinsip perjanjian jual beli gas dengan Tohuku Jepang. Melalui kontrak pembelian dari Tohuku, jumlah permintaan mencpai kapasitas kilang LNG Tangguh untuk dua train, yaitu rata-rata 7,6 juta ton per tahun. Keseluruhan kontrak tersebut berhubungan dengan komitmen pendanaan sebesar US$ 2,6 miliar dari 9 lembaga keuangan yang kesepakatannya ditandatangani pada 9 Agustus 2006.76 Kontrak ini bermula saat BP Indonesia yang didukung Pertamina mengajukan penawaran penjualan LNG ke Provinsi Guandong, China, pada tahun 2001. Namun, dalam proses tender Indonesia dikalahkan Australian North West Shell. Pada 8 Agustus 2002 PM China Zhu Rongji menunjuk langsung Indonesia sebagai pemasok LNG ke Provinsi Fujian sebanyak 2,6 juta ton per tahun selama 25 tahun. Maka, pada 24 September 2002 Pertamina menandatangani kontrak penjualan dengan CNOOC untuk pengiriman LNG ke Fujian dengan nilai kontrak harga jual US$ 2,4 per mmbtu. Pada 27 September 2002 CNOOC membeli 12,5 % saham BP di ladang gas Tangguh.77

Pada tahun 2004, setelah dua tahun kontrak berjalan, BP mengajukan perpanjangan kontrak dengan pemerintah. BP memasukkan klausul government act, yaitu meminta pemerintah membayar penaliti jika ada kebijakan yang mengganggu pengiriman gas ke pembeli yang nilainya mencapai maksimal US$ 300 juta. Pada akhirnya negosiasi ini berhasil dan pemerintah menyepakatinya. Proyek ini menghabiskan dana US$ 6,5 miliar, yang terdiri atas US$ 3 miliar dari kontraktor 76 Sebagaimana yang disadur oleh M. Hatta Taliwang dan Salamuddin Daeng, dkk, Ibid., hlm. 18 dari “BP Indonesia Tak Jamin Untuk Pasokan Domestik�, Suara Karya, 13 Desember 2006 diakses dari http://www. suarakarya-online.com/news.html?id=162211 77 Ibid., hal. 18-19

124


Kudeta Putih

dan US$ 3,5 miliar lainnya berupa pinjaman. Pinjaman US$ 2,6 miliar tersebut di antaranya dari:78 1. US$ 1, 2 miliar dari Japan for International Corporation ( JBIC) pada Juli 2006; 2. US$ 350 juta dari ADB; 3. US$ 1,066 miliar berasal dari konsorsium 7 bank (Boj, Mitsubishi UFJ, BNP Paribas, ING, Mizubo, Sumitomo Mitsui, dan Stancart); 4. US$ 884 juta berasal dari konsorsium 6 bank asing. IV. 1. 3. 3. Carut-marut Tata Kelola Migas Nasional UU No. 22 Tahun 2001 tentang migas menuai banyak kontroversi. Pihak yang kontra terhadap regulasi ini terdiri atas akademisi, pengamat energi dan migas nasional maupun kebijakan publik, anggota dan mantan anggota parlemen, serta sejumlah LSM yang mempermasalahkan eksistensi undang-undang ini dan menginginkan revisi dan bahkan pencabutan UU Migas tahun 2001. Hal ini dikarenakan undang-undang tersebut dinilai menganut semangat neoliberalisme dan adanya kepentingan asing yang kuat di dalamnya. Prinsip-prinsip neoliberal seperti privatisasi, penghapusan monopoli oleh negara, penyerahan harga pada mekanisme pasar, pencabutan subsidi BBM, dan sebagainya menjadikan tata kelola migas Indonesia terkesan tidak berpihak pada kedaulatan dan ketahanan energi nasional. Prinsip-prinsip neoliberal tersebut masuk ke dalam pasal-pasal UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas dan PP No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas, seperti dijelaskan dalam tabel berikut ini.

78 Ibid.

125


Kudeta Putih

Tabel IV. 2. Pasal-pasal Kontroversial Dalam UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi No. 1.

Pasal

Isi

Pasal 1

Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

Angka 23

2.

126

Pasal 4 Ayat 1

Minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam strategis tak terbarukan yang terkandung di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara.

Pasal 4 Ayat 2

Penguasa oleh negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan.

Pasal 4 Ayat 3

Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 23.

Pasal 6 Ayat 1

Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Angka 1 dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 19.

Substansi Isi

Implikasi

Keterangan

Kuasa Pertambangan

Negara tidak lagi menguasai sumber daya migas, sehingga hilangnya berbagai potensi pendapatan negara.

Beberapa pasal ini memiliki kontradiksi. Di satu sisi, negara menguasai sumber daya migas. Di sisi lain, pengusaan tersebut hanya untuk mengendalikan usaha hulu migas.

Kontrak Kerja Sama (KKS)

Negara melalui BUMN (Pertamina) tidak bisa menguasai sumber daya migas yang kuantitasnya sangat besar.


Kudeta Putih

No. 2.

Pasal Pasal 6 Ayat 2

Isi (2) Kontrak Kerja Sama sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit memuat persyaratan:

Substansi Isi Kontrak Kerja Sama (KKS)

Negara melalui BUMN (Pertamina) tidak bisa menguasai sumber daya migas yang kuantitasnya sangat besar.

Prioritas dalam negeri.

Kontraktor memiliki pilihan yang rasional untuk mrenjual produksi migas ke luar negeri.

(a) kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan; (b) pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana; (c) modal dan risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap.

3.

Pasal 9 Ayat 1

Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Angka 1 dan Angka 2 dapat dilaksanakan oleh: (a) BUMN; (b) BUMD; (c) Koperasi, Usaha Kecil; (d) Badan Usaha Swasta.

Pasal 8 Ayat 1

Pemerintah memberikan prioritas terhadap pemanfaatan Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri dan bertugas menyediakan cadangan strategis Minyak Bumi guna mendukung penyediaan Bahan Bakar Minyak dalam negeri yang diatur lebih lanjut dengan pemerintah.

Pasal 22 Ayat 1

Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25 % (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Implikasi

Keterangan

127


Kudeta Putih

No. 4.

5.

128

Pasal

Isi

Pasal 12 Ayat 1

Wilayah kerja yang akan ditawarkan kepada Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap ditetapkan oleh Menteri setelah berkonsultasi dengan Pemerintah Daerah.

Pasal 12 Ayat 2

Penawaran Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Menteri.

Pasal 12 Ayat 3

Menteri menetapkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang diberi wewenang melakukan kegiatan usaha Eksplorasi dan Ekploitasi pada Wilayah Kerja sebagaiman dimaksud dalam ayat (2).

Pasal 31 Ayat 3

Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas: (a) bagian negara; (b) pungutan negara yang berupa iuran tetap dan iuran Eksplorasi dan Ekploitasi; (c) Bonusbonus.

Substansi Isi

Implikasi

Perizinan

Rendahnya investasi migas pasca implementasi UU ini.

Penerimaan Negara

Memunculkan biaya transaksi bagi investor, sehingga memicu rendahnya investasi migas pasca implementasi UU ini.

Keterangan


Kudeta Putih

No. 6.

Pasal

Isi

Pasal 44 Ayat 3

Tugas Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah (a) memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama; (b) melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama; (c) mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan; (d) memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan selain sebagaimana yang dimaksud dalam huruf C; (e) memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran; (f ) menunjuk penjual Minyak Bumi dan/ atau Gas Bumi bagian negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.

Pasal 45 Ayat 1

Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (3) merupakan badan hukum milik negara.

Pasal 45 Ayat 2

Badan Pelaksana terdiri atas unsur pimpinan, tenaga ahli, tenaga teknis, dan tenaga administratif.

Substansi Isi Badan Pelaksana

Implikasi Tata kelola BP Migas kurang terawasi, sehingga kinerjanya kurang bisa dikontrol.

Keterangan BHMN lain di Indonesia, selain BP Migas selalu ada struktur Majelis Wali Amanat yang tugasnya mengawasi dan mengontrol pimpinan BHMN.

Sumber: Jati Andrianto, Wendy S. Hutahean, Irwansyah, Isno Usnodo, dan Fekum Ariesbowo “Bola Panas Revisi UU Migas No. 22 Tahun 2001�, Warta Ekonomi, Edisi 20 Tahun XXI, 12 Oktober-18 Oktober 2009, hal. 60-61.

129


Kudeta Putih

Tabel IV. 3. Pasal-pasal Kontroversial PP No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas No. 1.

Pasal

Isi

Pasal 56 Ayat 1

Pengeluaran biaya investasi dan operasi dari Kontrak Bagi Hasil wajib mendapatkan persetujuan Badan Pelaksana.

Pasal 56 Ayat 2

Kontraktor mendapatkan kembali biayabiaya yang telah dikeluarkan untuk melakukan Ekplorasi dan Ekploitasi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) sesuai dengan rencana kerja dan anggaran serta otorisasi pembelanjaan finansial (Authorization Financial Expenditure) yang telah disetujui oleh badan Pelaksana setelah mengahasilkan produksi komersial.

Substansi Isi

Cost Recovery

Implikasi

Keterangan

Negara harus menyediakan dana yang sangat besar untuk mengganti Cost Recovery

Pasal-pasal ini bertentangan dengan Pasal 6 Ayat 2 Huruf C UU No. 22 Tahun 2001. dalam Pasal 6 disebutkan bahwa Badan Usaha Tetap atau badan Usaha mengandung seluruh modal dan risiko, termasuk untuk investasi di sektor migas.

Sumber: Jati Andrianto, Wendy S. Hutahean, Irwansyah, Isno Usnodo, dan Fekum Ariesbowo “Bola Panas Revisi UU Migas No. 22 Tahun 2001�, Warta Ekonomi, Edisi 20 Tahun XXI, 12 Oktober-18 Oktober 2009, hal. 60-61.

Di sisi lain, ada pihak-pihak yang mendukung keberadaan UU No. 22 Tahun 2001, yang beragumen bahwa UU Migas yang baru ini tidak ada kaitannya dengan penurunan produksi minyak bumi. Sammy Hamzah, Wakil Presiden Indonesian 130


Kudeta Putih

Petroleum Association (IPA) sekaligus Ketua Komisi Tetap Migas KADIN,mengatakan bahwa penurunan produksi atau lifting minyak bumi Indonesia lebih disebabkan oleh iklim bisnis yang kurang kondusif. Ini karena, walaupun penandatanganan kontrak memang banyak dalam beberapa tahun terakhir, realisasi produksinya hampir tidak naik.79 Menurut dia, ini karena eksploitasi minyak bumi di Indonesia masih di sumursumur tua sekitar 80 % hingga 90 % dan perawatannya mahal. Sedangkan kontrak yang ada selama ini belum menyentuh lahan-lahan eksplorasi baru.80

Iklim investasi yang kurang mendukung terlihat saat investor yang akan masuk ke sektor ini harus melalui tahapan yang panjang dari tender yang dilakukan di Direktorat Jendral Migas (Ditjen Migas), tender di BP Migas, permintaan izin kepada pemerintah daerah jika blok berada di daerah, izin pemakaian tanah dari Badan Pertanahan Nasional serta departemen terkait jika blok migas tersebut berada di hutan atau laut.81 Selain itu, kondisi tidak menguntungkan ini terkait dengan pajak yang harus dibayarkan investor migas ketika masih dalam tahap ekplorasi.82 Sedangkan persentase untuk menemukan cadangan minyak bumi dalam tahap ini masih 50:50. Hal ini membuat investor enggan menanamkan modal di sektor migas, apalagi industri migas merupakan investasi yang sifatnya capital intensive dan berisiko tinggi. Sebagai tambahan, kondisi tidak kondusif iklim investasi, karena prosedur yang berbeda-beda di daerah terkait dengan penerapan UU Migas yang baru ini.83 Oleh karena itu, Sammy Hamzah menilai revisi UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas tidak tepat.84 Sedangkan, pihak yang kontra terhadap keberadaan UU Migas yang baru ini menilai revisi UU No. 22 Tahun 2001 didasarkan oleh beberapa pertimbangan 79 Jati Andrianto, Wendy S. Hutahean, Irwansyah, Isno Usnodo, dan Fekum Ariesbowo “Bola Panas Revisi UU Migas No. 22 Tahun 2001”, Warta Ekonomi, Edisi 20 Tahun XXI, 12 Oktober-18 Oktober 2009, hal.57-58 80 “Revisi UU Migas No. 22 Tahun 2001 Bukan Tindakan Tepat”, dalam Warta Ekonomi, Edisi 20 Tahun XXI, 12 Oktober-18 Oktober 2009, hal.64. 81 Jati Andrianto, Wendy S. Hutahean, Irwansyah, Isno Usnodo, dan Fekum Ariesbowo, Loc. Cit. hal. 61-60. 82 Ekplorasi berdasarkan UU migas tahun 2001 adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperkirakan cadangan minyak dan gas bumi di wilayah kerja yang telah ditentukan. Berbeda halnya dengan ekploitasi, yaitu rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak dan gas bumi dari wilayah kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan dan pengolahan untuk pemisahan dan permurnian minyak dan gas bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya. 83 Fekum Ariesbowo, “PT Pertamina: Kuda Laut Menuju Kelas Dunia”, dalam dalam Warta Ekonomi, Edisi 20 Tahun XXI, 12 Oktober-18 Oktober 2009, hal. 67. 84 “Revisi UU Migas No. 22 Tahun 2001 Bukan Tindakan Tepat”, dalam Warta Ekonomi, Edisi 20 Tahun XXI, 12 Oktober-18 Oktober 2009, hal.64.

131


Kudeta Putih

logis. Pertimbangan tersebut antara lain, penurunan produksi minyak bumi selama dekade terakhir, banyaknya beban migas yang harus ditanggung negara, hilangnya potensi pendapatan negara yang besar, terombang-ambingnya perekonomian nasional dan global akibat fluktuasi harga minyak mentah dunia, hingga kalah bersaingnya korporasi migas nasional dari korporasi migas asing.85

Produksi minyak bumi yang terus mengalami penurunan disebabkan oleh beberapa hal. Kurtubi, pengamat perminyakan nasional dan Direktur Center for Petroleum and Energy Economic Studies, juga setuju bahwa penurunan ini disebabkan perizinan yang bertahap dan beberapa pungutan eksplorasi.86 Sedangkan Kepala BP Migas, R. Priyono, mengatakan produksi atau lifting minyak bumi Indonesia terus menurun dalam satu dekade terakhir, karena sejak krisis ekonomi tahun 1998 kondisi investasi tidak kondusif.87 Penurunan produksi minyak menyebabkan kenaikan cost recovery88 dan subsidi minyak yang mencapai lebih dari Rp 225 triliun pada tahun 2008.89 Perlu diingat, pemerintah hanya akan memberikan cost recovery jika dalam blok yang dikerjakan oleh kontraktor telah berhasil diperoleh migasnya.90 Menurut R. Priyono, cost recovery adalah politik fiskal. Hal yang menarik dari sistem ini, menurut dia, adalah dibiarkan saja tetap tinggi asal dibelanjakan di Indonesia. Misalnya dengan memakai produk Indonesia, yang berasal dari manufaktur dan perbankan dalam negeri.91 R. Priyono juga beragumen bahwa tingginya cost recovery di Indonesia karena sumur-sumur sudah banyak yang mature, sudah 100 tahun, dan harus diinjeksi agar minyaknya keluar. Kondisi ini yang membuat cost recovery di Indonesia cenderung mahal, karena biaya perawatan sumur-sumur yang sudah tua.92 85 Jati Andrianto, Wendy S. Hutahean, Irwansyah, Isno Usnodo, dan Fekum Ariesbowo, Loc. Cit, hal. 57. 86 Ibid. 87 “Usaha Minyak Jelas Berbeda dengan Garmen”, dalam Warta Ekonomi, Edisi 20 Tahun XXI 12-18 Oktober 2009, hal.65 88 Cost Recovery adalah biaya yang dibayar dari pendapatan produksi guna meningkatkan produksi dan juga yang berlaku di pajak biasa. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas masuk ke dalam cost recovery. Membatasi cost recovery berarti juga membatasi produksi. Tidak semua kegiatan eksplorasi migas dapat menemukan sumber daya alam tersebut. Maka, mengenakan pajak pada waktu kegiatan eksplorasi akan menurunkan peringkat investasi Indonesia. Untuk lebih jelasnya baca Widjajono Partowidagdo, “Akselerasi Tata Kelola Migas”, dalam Jurnal Energi, Edisi Delapan, November-Februari 2012, hal. 14-23. 89 Jati Andrianto, Wendy S. Hutahean, Irwansyah, Isno Usnodo, dan Fekum Ariesbowo, Loc. Cit.. 90 Kristianto PH, “Berharap ( Jangan) pada Industri Migas”, dalam Jurnal Energi, Edisi Delapan, NovemberFebruari 2012, hal. 79. 91 “Usaha Minyak Jelas Berbeda dengan Garmen”, Loc. Cit., hal.65 92 Ibid.

132


Kudeta Putih

Pada awal tahun 2012 pemerintah merencanakan menaikkan harga BBM jenis premium per 1 April 2012. Alasannya, untuk menghemat anggaran belanja negara yang biasa diberikan lewat subsidi kenaikan harga minyak mentah dunia yang mencapai US$ 110 per barrel. Pemerintah juga menilai subsidi BBM tidak tepat

sasaran (walaupun pada kenyataannya upaya kenaikan harga BBM tersebut ditunda hingga batas waktu yang belum ditentukan). Kebijakan pemerintah ini ditentang oleh Hendri Saparini, pakar kebijakan publik. Menurut dia, tidak ada tolok ukur yang jelas atau indikator-indikator untuk menentukan sasaran utama BBM bersubsidi. Ia menambahkan bahwa 65 % BBM bersubsidi diperuntukkan kendaraan sepeda motor yang dikonsumsi oleh mereka yang berpenghasilan US$ 4 ke bawah. Sementara itu, dalam konstitusi tidak di atur siapa yang berhak mendapatkan subsidi BBM, yang artinya semua lapisan masyarakat berhak menikmati subsidi ini, yang ditujukan untuk mendorong daya saing dan daya beli.93 Dalam konteks hilangnya kedaulatan negara akan sumber daya energinya sendiri sebagai dampak dari liberalisasi di sektor ini, Hendri Saparini juga menyatakan pentingnya dilakukan revisi UU Migas Tahun 2001. Namun yang menjadi pertanyaan, siapa yang akan melakukan revisi tersebut? Apakah pemerintah atau DPR dan dalam waktu berapa lama? Apakah pasal-pasal yang harus dibatalkan atau UU Migasnya? Pasal-pasal tersebut baru dipermasalahkan jika sudah dimanfaatkan oleh orang lain dan selama pasal-pasal tersebut belum termanfaatkan, maka belum dapat dilihat sebagai sebuah masalah. Oleh karena itu, dia Hendri Saparini menekankan bahwa mekanisme ini yang harus diluruskan. UU Migas Tahun 2001 menyebutkan harga BBM di Indonesia mengikuti harga pasar minyak mentah internasional. Meskipun demikian, selama pemerintah mengeluarkan peraturan presiden yang menentukan harga BBM dan kemudian harga BBM dipisahkan antara yang subsidi dan nonsubsidi, maka kebijakan ini telah jauh dari amanat UU Migas. Akan tetapi kondisi ini berbeda saat pemerintah berencana menaikkan harga BBM premium pada awal April 2012 yang tidak lagi mengacu pada peraturan presiden, tetapi pada UU APBNP 2012 yang umurnya hanya satu tahun dan bertentangan dengan UU APBN 2012 Pasal 7 ayat (6), bahwa pemerintah menetapkan tidak menaikkan harga BBM. Maka dapat 93 Hasil wawancara dengan Hendri Saparini, Pengamat Kebijakan Publik Indonesia, di Kantor ECONIT, pada tanggal 4 April 2012 pukul 16.00 WIB.

133


Kudeta Putih

diketahui bahwa pemerintah tidak selalu berpijak pada UU Migas Tahun 2001 untuk menentukan harga BBM di dalam negeri.94 Isu yang berkembang terkait dengan upaya pemerintah menaikkan harga BBM jenis premium pada tahun 2012 adalah untuk “mematikan premium” di stasiun

pengisian bahan bakar umum (SPBU) milik Pertamina yang selama ini masih bertahan pada harga Rp 4.500 per liter. Kenaikan harga BBM ini akan menguntungkan investor asing yang bergerak di sektor hilir migas di tanah air, seperti Petronas dan Shell yang tidak diperbolehkan menjual BBM bersubsidi. Jika kenaikan harga premium tetap dilaksanakan oleh pemerintah, maka akan ada kecenderungan semakin banyak perusahaan minyak asing lainnya yang ikut meramaikan sektor hilir ini, karena keutungan dari daya saing produk BBM yang mereka jual.95 Pihak yang kontra terhadap UU Migas 2001 lainnya mencurigai cost recovery dan eksplorasi migas banyak digelembungkan. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan ada 11 poin yang mestinya tidak dimasukkan ke dalam cost recovery, seperti biaya audit, biaya bunga, biaya ekspatriat, dan biaya konsultan hukum yang mencapai Rp 40 triliun.96 Meskipun demikian, hal yang perlu diperhatikan dalam penyelidikan ini adalah kehati-hatian karena dampak yang besar mempengaruhi produksi migas, karena kontraktor migas akan sangat selektif mengeluarkan biaya produksi migas.97 Wacana merevisi UU Migas juga menguat karena BP Migas sebagai representasi negara di bidang hulu migas sering memenangkan tender perusahaan migas asing daripada perusahaan migas sendiri, seperti Pertamina. Menurut R. Priyono, ini dikarenakan BP Migas harus melakukan equal treatment dan Pertamina sebagai perusahaan migas nasional tidak memiliki jiwa usaha dan kompetisi serta masih menunggu dari pemerintah.98 Pernyataan ini menuai kontroversi. Sebab, agar Indonesia dapat menjadi negara dengan swasembada minyak bumi di negeri sendiri seharusnya diperlukan upaya untuk memperkuat perusahaan migas negara, seperti 94 Ibid. 95 “Pembodohan di Balik Kenaikan Harga BBM”, dalam Gatra, 10 Maret 2012 dapat pula diakses dari http:// www.gatra.com/terpopuler/46-ekonomi/9877-pembodohan-dibalik-kenaikan-harga-bbm 96 “Menghitung Langkah Para Trader Minyak”, dalam Trust, No. 40 Tahun VI, 28 Juli-3 Agustus 2008, hal.12. 97 Ibid. 98 Jati Andrianto, Wendy S. Hutahean, Irwansyah, Isno Usnodo, dan Fekum Ariesbowo, Op. Cit. hal. 62

134


Kudeta Putih

Petronas di Malaysia dan Petrobas di Brasil. Kenyataannya, Pertamina menyumbang pendapatan negara yang cukup besar dari sektor ini. Salah satu contoh, pada tahun 2006 Pertamina menghasilkan laba bersih Rp 19,02 triliun atau tertinggi di antara BUMN lain dan menyetorkan deviden Rp 11,95 triliun kepada pemerintah.99 Pertamina seharusnya dilihat sebagai potensi besar penyumbang pendapatan negara jika diberi blok-blok migas untuk menuju kemandirian energi bangsa ini.

Masalah lain yang muncul adalah liberalisasi sektor hilir migas yang berkaitan dengan pemasaran produk-produk minyak bumi, seperti BBM dan oli kendaraan. Sejak UU No. 22 Tahun 2001 disahkan, monopoli sektor hilir minyak bumi yang sebelumnya dikuasai Pertamina dihilangkan. Maka, yang berlaku adalah kompetisi sektor hilir dengan banyak dibukanya SPBU swasta asing. Sebut saja Petronas (Malaysia) dan Shell (Inggris-Belanda) mulai mengoperasikan pompa bensin pada tahun 2005 di daerah Jakarta dan sekitarnya. Strategi masuk ke sektor hilir ini merupakan deviasi dari pola investasi perusahaan minyak dunia, karena sebagian besar korporasi asing bermain di sektor hulu.100 Kondisi ini didukung dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2004 tentang Industri Hilir Migas. Meskipun demikian, SPBU Pertamina masih memegang mayoritas konsumen BBM di dalam negeri, yakni sebesar 98 %.101 Pemaparan tentang kondisi industri migas di tanah air memperlihatkan regulasi migas pasca Orde Baru memiliki banyak kelemahan, seperti lemahnya aspek penguasaan wilayah migas negara di sektor hulu akibat adanya Pasal 12 Ayat 3 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas. Pasal ini menyatakan menteri menetapkan badan usaha atau bentuk usaha tetap yang diberi wewenang melakukan usaha eksplorasi dan eksploitasi wilayah kerja. Seharusnya UU Migas mampu memberikan kewenangan usaha pertambangan, eksplorasi, dan produksi migas nasional kepada BUMN. Hal ini dikuatkan pendapat Deddy Yusmen, Ketua Umum Serikat Pekerja Pertamina Hulu, bahwa kekuatan migas suatu negara dicerminkan dari kuatnya perusahaan migas negara.102 Jadi, UU Migas harus dikembalikan fungsinya agar dapat menimbulkan 99 Ibid. 100 Jati Andrianto, “Berpijak pada Bisnis Pelumas dan Pom Bensin�, dalam Warta Ekonomi, Edisi 20 Tahun XXI, 12 Oktober-18 Oktober 2009, hal. 37 101 Ibid. 102 Ridwan Harahap, “Hasrat Merevisi UU Migas yang Tidak Tegas�, dalam Geo Energi, Edisi 14, Tahun II, September 2011, hal. 21.

135


Kudeta Putih

kemandirian bangsa, mendukung pertumbuhan perusahaan nasional, serta mengembalikan kedaulatan migas kepada pemerintah Indonesia dan Pertamina.103 Menurut M. Kholid Syeirazi104, terdapat beberapa kelemahan dari penerapan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas. Pertama, negara kehilangan kendali atau alat untuk menjamin keamanan pasokan bahan bakar minyak (BBM) dan bahan bakar gas (BBG). Ini dikarenakan cadangan dan produksi migas sudah tidak berada di tangan Pertamina.

Kedua, perpindahan otoritas penguasaan migas dari Pertamina juga berdampak pada ketidakmampuan Indonesia memproduksi dan mengontrol cadangan minyak mentah serta ketidakmampuan menentukan volume ekspor pada skala dunia. Kondisi ini mendorong Indonesia menarik diri dari keanggotaan OPEC. Hal ini mengingat keanggotaan OPEC ditentukan oleh kontrol negara anggota terhadap cadangan dan produksi minyak mentah masing-masing sehingga bisa mengatur politik harga. Negara tidak bisa memaksa kontraktor asing memacu volume produksi, karena kedudukan mereka sebagai kontraktor pemerintah (melalui badan pelaksana) sehingga tidak dapat secara langsung memimpin kegiatan produksi. Dalam UU Migas yang baru ini, jika Indonesia sebagai negara anggota OPEC harus menurunkan produksi akan sulit terpenuhi. Sebab, jika tidak disetujui oleh kontraktor asing, maka mereka berhak membawa pemerintah ke arbitrase internasional. Ketiga, pemeberlakuan UU No. 22 Tahun 2001 menyebabkan ketidakmenentuan iklim investasi sektor hulu migas, karena tidak didukung kebijakan fiskal. Pasal 33 UU ini menyebutkan penerapan beban pajak dan pungutan-pungutan lain selama periode eksplorasi, meskipun investor belum tentu menemukan cadangan minyak. Hal ini dapat menghambat cadangan pertumbuhan migas nasional menuju kehancuran industri migas nasional. Keempat, perombakan Pertamina dari perusahaan skala besar (integrated oil company) menjadi perusahaan minyak yang diperkecil. Sementara itu, kecenderungan industri migas global mengarah pada vertically integrated yang mencakup industri hulu dan hilir. Perusahaan-perusahaan migas global, seperti Exxon Mobil, Chevron, 103 Ibid. 104 Rangkuman Tim Peneliti dari M. Kholid Syeirazi, Op. Cit.

136


Kudeta Putih

Shell, dan BP umumnya mencakup seluruh mata rantai bisnis eksplorasi, produksi, transportasi, pengilangan, petrokimia, hingga retail. Kelima, UU Migas ini juga merombak prosedur investasi migas dalam format yang lebih birokratis dari sebelumnya, yaitu dari satu atap menjadi tiga atap. Semula

hanya berhubungan dengan Pertamina, tetapi sekarang melalui Ditjen Migas ESDM (tender blok), BP Migas, dan bea cukai (impor modal dan peralatan eksplorasi). Migas yang merupakan bagian dari negara tidak bisa langsung dijual, karena BP Migas bukanlah badan usaha, maka harus melalui pihak ketiga untuk disalurkan ke kilang milik Pertamina. Itu semua menyebabkan ketidakefisienan dan menimbulkan biaya-biaya tambahan. Keenam, UU Migas ini menutup pintu bagi Indonesia untuk menegaskan kepentingan nasionalnya di hadapan kontraktor (KPS) asing. Undang-undang ini tidak memuat klausul PSC standar yang menyatakan bahwa kedaulatan negara dan kepentingan nasional berada lebih tinggi di atas perjanjian kontrak dan bahwa setiap kontrak tidak boleh mencegah atau membatasi hak pemerintah Indonesia untuk mengutamakan kepentingannya, termasuk tidak dibawa ke arbitrase internasional, merupakan sinyal lain runtuhnya wibawa nasionalisme dalam kontrak-kontrak strategis yang menentukan masa depan bangsa. Pola kontrak yang ditetapkan dalam UU Migas baru ini adalah mengikuti pola Business to Government (KPS dan BP Migas) berpotensi menempatkan semua aset negara dalam risiko disita bila terjadi perselisihan antara pemerintah dan KPS.

137



BAB V Peran Asing dalam Liberalisasi Sektor Pertanian Indonesia

Liberalisasi pertanian merupakan isu kontroversial yang berkembang di dunia internasional. Dampak umum yang ditimbulkan dari liberalisasi ini seperti

kesenjangan antara negara maju dan berkembang dan peningkatan kemiskinan petani, serta terancamnya produksi domestik dan ketahanan pangan (food security)1 di negaranegara miskin dan berkembang. Sebagai kebutuhan dasar manusia, pangan merupakan masalah strategis karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Maka, liberalisasi komoditas pertanian merupakan isu krusial bagi negara agraris yang tidak mampu menolak impor komoditas-komoditas pertanian yang sebenarnya mampu dihasilkan di negeri sendiri. 1

Menurut definisi yang dikeluarkan oleh Food Agricultural Organization (FAO), food security adalah “sebuah situasi di mana seluruh rumah tangga memiliki akses fisik maupun ekonomi terhadap pangan yang cukup bagi seluruh anggota keluarga, serta di mana seluruh rumah tangga tidak berada dalam resiko kehilangan akses tersebut.” Dikutip dari Masayoshi Honma, “agricultura Trade Liberalization and Domestic Policy Reform in Japan.”, makalah yang dipresentasikan dalam APEC Study Centre Consortium Conference 1999: “Towards APEC’s Second Decade: Challenges, Opportunities and Priorities”, (Auckland: 31 Mei- 2 juni 1999).

139


Kudeta Putih

Sebagai negara agraris, sektor pertanian di Indonesia menyumbang setidaknya 15 % dari total gross domestic product (GDP) nasional. Sebagian besar pertanian ini masih ditopang oleh sistem pertanian berskala kecil dan 60 % dari total pekerja negeri ini bekerja untuk sektor pertanian yang ada di daerah-daerah.2 Seperti terlihat

dalam tabel di bawah ini, sumbangan sektor pertanian terhadap GDP secara perlahan mengalami penurunan dari 15,6 % pada tahun 2000 menjadi 15,2 % pada tahun 2004. Di antara negara-negara ASEAN, Indonesia menempati peringkat keenam untuk %tase sumbangan sektor pertanian bagi GDP setelah Laos, Myanmar, Kamboja, Vietnam, dan Filipina. Jika dibandingkan dengan sektor lain, seperti sektor jasa, sumbangan GDP dari sektor non-pertanian cenderung meningkat dari rentang waktu 2000-2004. Namun demikian, sektor pertanian tetap memiliki peran penting dalam ekonomi Indonesia, karena banyak menyerap tenaga kerja. Tabel V. 1. Sumbangan %tase Sektoral atas GDP di Negara-negara ASEAN 2000-2004 2000 Country

2002

2003

2004

AgriAgriAgriAgriIndustry Services Industry Services Industry Services Industry Services culture culture culture culture

Brunei Darussalam

1.6

59.5

38.9

1.9

58.7

39.4

2.1

58.4

39.5

Cambodia

39.6

23.3

37.1

35.6

27.9

36.5

36.8

27.9

35.4

-

-

-

15.6

45.9

38.5

15.5

45.4

39.1

15.4

45

39.6

15.2

44.5

40.3

52.1

22.7

25.5

50.2

24.6

25.1

-

-

-

-

-

-

8.4

44.2

47.4

8.1

41.6

50.4

8.1

42.4

49.8

7.9

42.5

49.6

42.9

17.3

39.7

-

-

-

-

-

-

-

-

-

19.9

34.7

45.4

19.7

34.5

45.8

19.8

33.5

46.7

19.6

33.5

47.2

0.1

33.8

66.1

0.1

31.3

68.6

0.1

31.1

68.8

0.1

31.6

68.3

10.3

44.4

45.3

10

44.8

45.2

10.2

45.8

44

9.2

46.8

44

Indonesia Lao PDR Malaysia

Myanmar

Philippines Singapores Thailand Viet Nam

23.3

35.4

41.3

21.8

37.4

40.8

21.1

38.5

40.5

-

-

-

-

-

Sumber: Sekretariat ASEAN 2005 2

140

Rina Oktaviani, Eka Puspitawati, dan Haryadi, “Impacts of ASEAN Agricultural Trade Liberalization on ASEAN-6 Economies and Income Distribution in Indonesia.�, makalah yang disampaikan dalam Asia Pacific Research and Training Networks on Trade Working Paper Series No. 51 Januari 2008, hal. 5

-


Kudeta Putih

Untuk memahami skema liberalisasi sektor pertanian di Indonesia, penting untuk mengetahui bagaimana sebuah negara dapat mengadopsi kebijakan tersebut. Menurut Graham Dunkley, setidaknya ada empat jalur liberalisasi, yaitu multilateral, regional, bilateral, dan unilateral.3 Berikut ini adalah proses liberalisasi pertanian di Indonesia melalui jalur tersebut.

V. 1. Proses Liberalisasi Sektor Pertanian di Indonesia V. 1. 1. Multilateral v World Trade Organization (WTO) WTO adalah organisasi internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antarnegara. Sistem perdagangan yang bersifat multilateral diatur melalui aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani negara-negara anggota. Persetujuan yang telah dihasilkan mengikat setiap negara anggota untuk dipatuhi dan dilaksanakan dalam regulasi kebijakan perdagangan di negara anggota. Tujuan utama merancang sistem perdagangan multilateral ini adalah untuk membantu para produsen barang dan jasa, ekportir, dan importir dalam kegiatan perdagangan. WTO secara resmi terbentuk pada tahun 1994 melalui perundangan General Agreements on Tariff and Trade (GATT) Putaran Uruguay yang berangsung dari tahun 1986 hingga 1994. Indonesia adalah salah satu pendiri WTO yang telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO melalui UU No. 7 Tahun 1994.4 Isi ratifikasi kebijakan tersebut mencakup satu paket kebijakan pemotongan atas bea masuk produk-produk tropis dari negara-negara berkembang, penyelesaian sengketa, dan menyepakati agar negara-negara anggota memberikan laporan reguler (transparansi) mengenai kebijakan perdagangan. 3 4

Graham Dunkley, Free Trade Adventure: GATT, WTO, Uruguay Round, A Critique, (New York: Zed Books, 2000) hal. 12 Biro Kerjasama Luar Negeri, Departemen Pertanian RI, “World Trade Organization (WTO)/ Organisasi Perdagangan Dunia�, diakses dari www.deptan.go.id/kln/berita/wto/ttg-wto.htm, pada tanggal 18 Desember 2011 pukul 11. 23 WIB.

141


Kudeta Putih

Sedangkan liberalisasi pertanian masuk ke dalam kerangka Agreement on Agriculture (AoA) WTO. AoA merupakan perangkat aturan liberalisasi pertanian yang bersifat multilateral yang menghendaki penurunan tarif, penurunan subsidi domestik, dan pengurangan subsidi ekpor. AoA sudah ada sejak WTO masih berbentuk General Agreement on Tariff and Trade (GATT) tahun 1986 dan mulai diimplementasikan tahun 1995. Perundingan GATT Putaran Uruguay menghasilkan kesepakatan yang disetujui oleh semua anggota WTO yang berjumlah 139 negara yang intinya adalah penghapusan segala bentuk distorsi perdagangan. Berikut ini pokok kesepakatan dalam AoA WTO.5 Tabel V. 2. Kesepakatan Agreement on Agriculture WTO Kewajiban

Negara Maju

Negara Berkembang

Akses Pasar Penentuan tarif

Wajib

Wajib

Penurunan tarif

36 % dalam 6 tahun

24 % dalam 6 tahun

15 % pada setiap tarif

10 % pada setiap tarif

Ya, pada tingkat 3 %

Ya, pada tingkat 3 %

20 % dalam 6 tahun

13 % dalam 10 tahun

Penurunan nilai subsidi

36 % dalam 6 tahun

24 % dalam 10 tahun

Penurunan volume subsidi

21 % dalam 6 tahun

14 % dalam 10 tahun

Minimum akses Subsidi Domestik Penurunan subsidi domestik Subsidi Ekspor

Sumber: Stephenson dan Erwidodo dalam Beddu Amang dan Husein Sawit, Kebijakan Beras dan Pangan Nasional, Jakarta: IPB Press, 1999, hal. 139

Kesepakatan AoA WTO tidak dipatuhi oleh seluruh negara anggota dalam taraf yang sama. Artinya, implementasi AoA oleh negara-negara anggotanya berbeda dari ketentuan WTO. Dalam forum-forum WTO seperti KTT di Doha, Qatar, dan 5

142

Ibid.


Kudeta Putih

Cancun, Meksiko, kesepakatan tentang liberalisasi pertanian mengalami jalan buntu. Liberalisasi pertanian dan komoditas pertanian berjalan lambat, terutama dalam realisasi penurunan pembatasan impor dan subsidi domestik, sehingga dampaknya diperkirakan lebih nyata terjadi dalam pengurangan subsidi ekpor, karena kesepakatan penurunan subsidi dilakukan dalam nilai ekspor minimal (tidak memperhitungkan inflasi).6

Setidaknya terdapat tiga alasan yang mendasari hal tersebut.7 Pertama, kecenderungan negara anggota menerapkan tarif yang berlebihan atau dirty tariffication yang menyebabkan tingkat tarif ekuivalen dari komoditas pertanian menjadi sangat tinggi, jauh dari estimasi tingkat tarif ekuivalen yang berlaku. Sebagian besar negara anggota WTO masih memberlakukan tariff binding yang memungkinkan negara anggota menerapkan tarif batas atau ceiling rates tariff.8 Kedua, subsidi domestik pada sektor pertanian di negara maju, seperti Amerika Serikat, menerapkan deficiency payment dan Uni Eropa menerapkan compensation payment, dimasukkan ke dalam kategori Green Box9 di luar agregate measurement of support. Di negara-negara berkembang dan maju, subsidi atas komoditas pertanian tetap dilakukan, terutama terhadap produk-produk pertanian yang dianggap politis dan sensitif, seperti beras dan gula pasir (negara berkembang) serta produk-produk susu dan gandum (negara maju). Ini juga berarti keputusan penurunan subsidi domestik merupakan hal yang sulit dalam pelaksanaannya.10 Ketiga, terkait dengan subsidi ekpor, negara-negara maju menggunakan skema kredit ekspor atau marketing loan lain yang dilindungi dalam Blue Box, sehingga tidak dikenai kewajiban untuk dikurangi.11

6

Per Pinstrup Andersen, et.all, World Food Prospect: Critical Issues for the Early Twenty-First Century, Food Policy Report, (Washington DC: International Food Policy Research Institute, 1999), hal. 34 7 Herjuno Ndaru Konasih, Op. Cit., hal. 112-116 8 Antoine Bouet, Jean Christophe Bureau, Yvan Decreux dan Sabastien Jean, “Multilateral Agricultural Trade Liberalization: The Contrasting Fortunes of Developing Countries in the Doha Round.” Makalah Centre D’Studies Prospectives et D’Information Internationale, November 2004, diakses dari http://www.cepii.fr/ anglaisgraph/workpap/pdf/2004/wp04-18.pdf. 9 Dalam terminology WTO, subsidi diistilahkan dengan sebutan box yang mengikuti analogi lampu lalu lintas. Terdapat 3 box, yaitu Green Box, Amber Box (Blue Box) dan Red Box.Green Box adalah bentuk subsidi yang dapat terus dilakukan. Amber Box adalah bentuk subsidi yang harus dikurangi secara perlahan. Red Box adalah subsidi yang harus dihentikan. Namun, dalam penerapan liberalisasi pertanian, Red Box cenderung tidak ada. 10 Antoine Bouet, Jean Christophe Bureau, Yvan Decreux dan Sabastien Jean, Ibid. 11 Herjuno Ndaru Kosasih, Op. Cit.

143


Kudeta Putih

Liberalisasi pertanian di Indonesia sudah mulai dilakukan sejak tahun 1995. Indonesia termasuk negara yang cepat mengadopsi kebijakan liberalisasi yang meliputi tiga hal, yaitu penurunan tarif, subsidi ekpor, dan subsidi domestik.12

Tabel V. 3. Kewajiban Indonesia Dalam AoA WTO Ketentuan AoA WTO

Kewajiban Indonesia

Tarif (Bea Masuk Import) Rata-rata penurunan tarif untuk seluruh produk pertanian

24 %

Penurunan tarif minimum per produk

10 %

Domestic Support Penurunan subsidi

13 %

Subsidi Ekpor Penurunan nilai subsidi

24 %

Penurunan volume subsidi

14 %

Sumber: Sekretariat WTO, seperti dikutip oleh Gofar Bain, Uruguay Round dan Sistem Perdagangan Masa Depan, ( Jakarta: Penerbit Djambatan, 2001).

V. 1. 2. Regional V.1. 2. 1. ASEAN Free Trade Area (AFTA) AFTA merupakan kerja sama perdagangan bebas berlingkup regional Asia. Pada KTT ASEAN VI di Singapura tanggal 27-29 Januari 1992 disepakati tiga hal, yaitu Deklarasi Singapura 1992, kesepakatan mengembangkan kerja sama

ekonomi ASEAN, dan kesepakatan mengenai skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT) untuk produk olahan manufaktur dan pertanian. Mekanisme CEPT12 Herjuno Ndaru Konasih, Op. Cit., hal. 129.

144


Kudeta Putih

ASEAN mengatur hambatan tarif dan non-tarif atas produk-produk manufaktur negara-negara ASEAN yang secara bertahap akan dihilangkan dalam jangka waktu tertentu dengan batas maksimal Desember 1993.13 v ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) ACFTA merupakan perjanjian perdagangan bebas antara negara-negara anggota ASEAN dengan China yang disahkan di Bali pada tahun 2003 yang dibagi ke dalam tiga fase. Fase pertama atau Early Harvest Program dimulai pada tahun 2006. Pada fase ini barang yang masuk dari China ke negara-negara anggota sudah mulai diterapkan penurunan tarif bea masuk dan peringanan dari berbagai macam hambatan perdagangan. Fase kedua merupakan kelanjutan dari fase pertama, yaitu memberlakukan penurunan dan penghapusan atas tarif bea masuk barang seperti yang tertuang dalam Normal Track 1 (NT1). Pada fase ketiga, dijadwalkan penurunan tarif produk yang masuk ke dalam kategori Highly Sensitive menjadi 0 % -5 % dan hambatan non-tarif akan dihapus pada tahun 2018. Kondisi ini memungkinkan karena Indonesia terlibat dalam penandatanganan AFTA dan ACFTA. Dalam kaitan dengan komoditas pertanian, Mindo Sitorus, Direktur Eksekutif Dewan Rempah Indonesia (DRI), mengatakan salah satu poin perjanjian dalam ACFTA menyebutkan tiap-tiap negara anggota memiliki peluang untuk menjual produk berbasis sumber daya alam, seperti pertanian, mineral, serta migas ke pasar ASEAN dan China. Di dalam perjanjian itu terdapat ketentuan pengahapusan tarif bea masuk impor untuk beberapa komoditas pertanian.14 v ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA) AANZFTA merupakan kesepakatan perdagangan bebas negara-negara ASEAN dengan Australia dan Selandia Baru, yang disahkan pemerintah dengan dikeluarkannya Perpres No. 26 Tahun 2011 pada tanggal 6 Mei 2011 tentang Pengesahan Agreement Establishing The AANZFTA. 13 Herjuno Ndaru Konasih, Op. Cit., hal. 128 14 Dikky Setiawan, Tedy Gumilar, Teddy Unggik, dan Wisnu Arto Subari, “Rempah-Rempah: Kutukan yang Tak Berujung�, dalam majalah Trust, No. 40 Tahun VI Edisi 28 Juli-3 Agustus 2008, hal. 30.

145


Kudeta Putih

V. 1. 2. 2. Asia Pasific Economic Cooperation Forum (APEC) Liberalisasi sektor pertanian juga menjadi perhatian dalam APEC. Secara khusus, komitmen Indonesia dalam penurunan tarif di berbagai komoditas, termasuk

dalam produk pertanian, dinyatakan dalam pertemuan di Osaka, Jepang, yakni APEC 1995 yang meliputi:15 1. Paket deregulasi 23 Mei 1995, di mana Indonesia mengurangi tarif berbagai komoditas, yakni tarif semula 10% - 15 %, menjadi 5 % dan tarif 40 % dikurangi menjadi 10 %; 2. Membuat jadwal pengurangan tarif untuk periode 1995-2003, dengan ketentuan tarif 20 % atau kurang dikurangi maksimum 5 % pada tahun 2000. Tarif yang lebih besar dari 20 % akan menjadi masimum 20 % pada tahun 1998 dan dikurangi lagi menjadi maksimum 10 % pada tahun 2003; 3. Mempercepat pelaksanaan Putaran Uruguay dalam mengurangi tarif tambahan dan hambatan non-tarif.

V. 1. 3. Unilateral V. 1. 3. 1. International Monetary Fund (IMF)16 Liberalisasi sektor pertanian di Indonesia tidak terlepas dari peran IMF yang memberikan seperangkat formula melalui Washington Consensus kepada Indonesia saat krisis melanda tahun 1997. Salah satu buktinya adalah impor beras secara besar-besaran (sebanyak 5 juta ton) pada tahun 1998. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia saat itu menuntut pemerintah meminta pinjaman dana kepada IMF.17 Kesepakatan atas pinjaman dana tersebut meliputi: 1. Reformasi lembaga pangan Indonesia, yaitu Badan Urusan Logistik atau Bulog; 15 Beddu Amang dan M. Husein Sawit, Kebijakan Beras dan Pangan Nasional: Pelajaran dari Orde Baru dan Era Reformasi, ( Jakarta: IPB Press, 1999), hal. 132 16 Herjuno Ndaru Konasih, Op. Cit., hal 130 17 Ibid.

146


Kudeta Putih

2. Deregulasi pertanian termasuk penurunan tarif dan pencabutan subsidi domestik; 3. Penjualan beras dengan harga murah (di bawah harga pasar) untuk mengurangi jumlah penduduk yang tidak mampu membeli beras. Kebijakan liberalisasi pertanian lebih jauh dipaparkan secara jelas dalam kerangka Letter of Intent (LoI) IMF dengan pemerintah Indonesia, yang terjadi dalam beberapa tahap, seperti dijelaskan berikut ini:18 1. LOI IMF No. 98/2 Tanggal 15 Januari 199819 Pada butir ketujuh IMF menekankan pada reformasi struktural kebijakan pertanian di Indonesia. Reformasi tersebut mencakup beberapa kebijakan berikut ini: • Mulai November 1998, untuk membawa kembali ekonomi ke jalur pertumbuhan yang cepat, maka perlu mentransformasi “ekonomi biaya tinggi” menjadi lebih terbuka, kompetitif, dan efisien. Oleh karena itu, perdagangan dan investasi asing harus diliberalisasi, aktivitas-aktivitas domestik diregulasikan, dan meningkatkan privatisasi. • Mulai 1 Februari 1998 monopoli Bulog terhadap beras akan dihapus, termasuk monopoli atas impor beras serta distribusi atas tepung terigu, gula, dan bawang putih. Hal ini ditujukan untuk membuka ekonomi dan meningkatkan kompetisi; • Untuk mendukung hal tersebut, maka perdagangan domestik dalam seluruh produk pertanian akan dideregulasi secara keseluruhan. Ini dimaksudkan agar pedagang memiliki kebebasan untuk menjual barang di mana dan dari mana saja sesuai dengan sifat kompetitif barang tersebut. Kesepakatan tanggal 26 Januari 1998 ditekankan bahwa perdagangan domestik dalam produk pertanian harus diliberalisasi.20 • Penghapusan monopoli Bulog atas distribusi tepung terigu juga dilakukan. Penggilingan terigu domestik dapat mendistribusikan dan menjual tepung terigu ke semua pedagang dan mulai efektif pada Februari 1998. 18 Herjuno Ndaru Kosasih, Op. Cit., Hal. 130-138. 19 Diakses dari http://www.imf.org/external/np/loi/011598.HTM 20 Herjuno Ndaru Konasih, Op. Cit., hal. 131

147


Kudeta Putih

• Para pedagang juga dapat mengimpor gula dan memasarkannya secara domestik. Sementara para petani akan dibebaskan dari persyaratan formal dan informal dari paksaan untuk menanam gula. Hal ini diharapkan menghasilkan keuntungan ekonomi, seperti merasionalisasi produksi gula dan menutup penggilingan lama dan tidak efisien milik pemerintah, agar dapat meningkatkan kompetisi industri-industri yang menggunakan bahan dasar gula. Dengan demikian diharapkan para petani gula beralih menjadi petani padi yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi 2. LoI IMF Tanggal 10 April 199821 Pada poin 13 tertulis bahwa pemerintah Indonesia telah terikat pada reformasi struktural yang dirancang pada bulan Januari sebelumnya. Sebagai tindak lanjut, pada tanggal 22 April 1998 pemerintah menghapuskan segala batasan terhadap investasi asing dalam perdagangan skala besar dan membentuk regulasi dalam hal impor dan distribusi barang pangan yang esensial antara Bulog dan sektor swasta yang berpartisipasi. Menciptakan transparansi dan sistem yang kompetitif untuk sektor swasta dalam membangun infrastruktur semakin diperkuat dan ditingkatkan.22 3. LoI IMF Tanggal 24 Juni 199823 Pembahasan dalam LoI ini terkait dengan isu ketahanan pangan dan sistem distribusinya dalam poin 14. Dalam poin ini dijelaskan bahwa pemerintah Indonesia menjamin ketersediaan yang cukup atas komoditas-komoditas esensial, terutama beras dan ketersediaannya dapat dengan mudah didapatkan melalui sistem distribusi yang baik dan harga yang terjangkau. 4. LoI IMF Tanggal 29 Juli 199824 Poin 7 menyebutkan pemerintah Indonesia menempatkan prioritas dalam memastikan bahan-bahan pengan esensial, seperti beras, tersedia dalam harga yang 21 22 23 24

148

Diakses dari http://www.imf.org/external/np/loi/041098.HTM Ibid., hal. 132. Diakses dari http://www.imf.org/external/np/loi/062498.HTM Diakses dari http://www.imf.org/external/np/loi/072998.HTM


Kudeta Putih

terjangkau oleh penduduk Indonesia. Namun, harga beras dan minyak goreng sejak Mei 1998 yang tetap tinggi menyebabkan masalah sosial yang serius. Disebutkan pula bahwa stabilisasi harga barang-barang tersebut juga diperlukan agar sistem distribusi berfungsi secara keseluruhan dan efisien. • Poin 8 ditambahkan akan dibentuk tim khusus untuk menjadi penanggung jawab secara menyeluruh dan memonitor situasi pangan di Indonesia. • Poin 9 menyebutkan pemerintah sangat memperhatikan penekanan pada harga pangan yang disebabkan oleh harga domestik dan internasional yang terdiferensiasi. Sebagai tindakan darurat, pemerintah diwajibkan menurunkan tarif masuk dan digantikan dengan pajak ekpor yang dimaksudkan agar dapat menurunkan harga beras, gandum, kedelai, tepung terigu, minyak tanah, dan makanan berbahan dasar ikan. 5. LoI IMF Tanggal 11 September 199825 LoI ini merespons gejala inflasi di Indonesia yang terjadi pada Juli - Agustus 1998 yang disebabkan kenaikan harga bahan pangan. Selain itu, hasil panen beras tahun 1998 mengecewakan. Akibatnya harga beras domestik setara dengan harga beras di pasar internasional. Untuk menjamin ketersediaan pasokan dan distribusi beras bagi seluruh rakyat, maka pemerintah meningkatkan pasokan beras, khususnya untuk rakyat miskin. Guna menstabilkan dan mereduksi harga pasar, Bulog meningkatkan kuantitas beras secara substansial. Maka, untuk pertama kalinya dalam tiga dekade terakhir, pemerintah memberi izin lepada para pedagang swasta untuk mengimpor beras. Tindakan yang diambil pemerintah ini merupakan bagian dari Seven Points Strategy for Rice yang diambil untuk merespons ketersediaan beras di Indonesia. Pemerintah juga telah mengurangi monopoli Bulog atas ketersediaan beras, tepung terigu, dan kedelai nasional. Selain itu, penghapusan subisidi terhadap bahan-bahan pangan tersebut dilakukan. Sebagai tambahan, larangan terhadap ekspor (kecuali untuk beras) dihapuskan pada 21 September 1998. Seven Points Strategy for Rice yang ditetapkan dalam LoI IMF 11 September 1998 sebagai berikut: 25 Diakses dari http://www.imf.org/external/np/loi/091198.HTM

149


Kudeta Putih

a. Bulog akan meluncurkan beras dalam jumlah yang besar dari berbagai kualitas ke pasar; b. Beras tersebut akan diluncurkan di pasar dengan harga di bawah harga pasar; c. Bulog akan meningkatkan penyampaian secara langsung beras ke pedagang pengecer maupun koperasi; untuk dapat menekan harga beras. d. Program penyampaian beras yang berada di bawah harga pasar untuk para keluarga kurang mampu akan diperluas dengan dukungan dan bantuan dari gurbernur provinsi; e. Para pedagang swasta dapat dengan mudah mengimpor beras. 6. LoI IMF Tanggal 19 Oktober 199826 Ketersediaan beras masih menjadi fokus utama dalam LoI ini. • Poin 9 menyebutkan bahwa para pengecer dan penjual beras skala besar telah menurunkan 5 % - 10 % harga beras di hampir seluruh wilayah Indonesia sejak awal September 1998. Menurut pemerintah, kendala dilakukannya liberalisasi pertanian sejak krisis ekonomi adalah dampak yang ditimbulkan bagi petani Indonesia. Para petani, khususnya petani kecil yang sangat bergantung pada hasil pertanian yang tidak besar, tidak mampu bersaing dengan beras impor yang harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan beras dalam negeri. Dampak yang ditimbulkan adalah biaya produksi yang tidak dapat ditutupi pasca panen dan para petani kecil harus mengalami kebangkrutan. • Untuk merespons kondisi ini pemerintah Indonesia melakukan kesepakatan dengan IMF yang disebut dengan Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) pada 7 September 2000. Ada poin penting dalam memorandum ini, yaitu terkait dengan isu pertanian, pemerintah Indonesia berjanji untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi serta meningkatkan kesejahteraan petani. Maka, Bank Dunia akan membantu pemerintah untuk mereformasi kebijakan tentang kredit dalam bidang pertanian.27 26 Diakses dari http://www.imf.org/external/np/loi/101998.HTM 27 Diakses dari http://www.imf.org/external/np/loi/2000/idn/01/index

150


Kudeta Putih

7 LoI IMF Tanggal 20 Januari 200028 Poin penting di dalam LoI ini adalah upaya perlindungan bagi para petani lewat pemberlakuan tarif impor. Tarif ini dipatok pada harga Rp 430 per kilogram

dan diberlakukan mulai Agustus 2000. Untuk menjaga stabilitas kondisi pertanian, pemerintah menyediakan kebutuhan kredit untuk para petani lewat comercial banking system atau Kredit Usaha Tani yang melibatkan 12 bank lokal yang mulai dijalankan pada September 2000. V. 1. 3. 2. Asian Development Bank (ADB) Dukungan pertama ADB pada Indonesia adalah bantuan teknik pada sektor pertanian dan sumber daya alam.29 Ini terjadi pada Agustus 1967, dengan nilai US$ 80.000. Sejak itu, sektor pertanian dan sumber daya alam secara konsisten masuk dalam portofolio bantuan ADB kepada Indonesia. Dari pertengahan tahun 1960-an hingga Maret 2008, pinjaman pertanian dari ADB telah mencapai hampir US$ 4 juta, peringkat kedua dalam hal pinjaman ADB menurut sektor, selain energi. Selama bertahun-tahun, pinjaman ADB ke sektor ini telah meningkat US$ 4 juta pada tahun 1960-an; US$ 154,7 juta pada tahun 1970-an; US$ 1,69 juta pada tahun 1980-an; US$ 1,79 juta pada tahun 1990-an; dan US$ 278 juta pada tahun 2000 hingga Maret 200830. Investasi asing pada sektor pertanian Indonesia terus mengalami kenaikan sejak pertama kali ADB memberikan bantuan pada tahun 1967. Bantuan tersebut dapat diperinci dalam berbagai program berikut ini:

28 Diakses dari http://www.imf.org/external/np/loi/012000.HTM 29 Pinjaman pertama untuk Indonesia diberikan pada tahun 1969 untuk proyek irigasi dan perkebunan kelapa sawit. 30 NGO Forum on the ADB. Here, There And Everywhere: Why ADB�Supported Projects Are Widely Spread Around Indonesia Draft. Available from: http://www.forum-adb.org/docs/FORUM-Demystifying-ADB-inIndonesia.pdf

151


Kudeta Putih

Tabel V. 4. Peningkatan Penanaman Modal Asing (PMA) di Sektor Pertanian Indonesia No.

1993 Sub-Sector

1994 Investment

No.

Investment

No.

Investment

No

Investment

Projects

US $

Projects

US $

Projects

US $

Projects

US $

Food Crops

4

3

Livestock

1

4

Estates

Fisheries

Total Agriculture

TOTAL

INVEST-

1996

Number of

1 2

1995

milion

$55

10

1

$38

5

$22

$46

milion

$234

9

4

$444

6

$40

1

$12

11

$160

21

$730

na

na

329

$8,144

na

na

3%

2%

milion

milion

$415

20

15

$689

18

$1,002

8

$231

16

$80

34

$1,384

59

2

$49

5

$218 $86

$1,384

449 $23,724

959 $29,931

8%

6%

MENT

Agriculture as % Total

6%

5%

Sumber : ADB TA 2660-IN0, Agriculture Sector Strategy Review Ministry Of Agriculture, Republic Of Indonesia, 1998

Pemerintah Indonesia meminta Bantuan Teknis atau Technical Assistance (TA) dari ADB untuk mengembangkan pertanian dan strategi pembangunan pedesaan. Misi ADB ini mencapai kesepakatan dengan pemerintah Indonesia pada 28 Januari 2002 hingga 11 Februari 2002 yang meliputi tujuan, skup, panduan teknis, estimasi biaya, rencana pendanaan, dan implementasi kesepakatan TA. Total biaya untuk TA ini diperkirakan mencapai US$ 135.000, di mana sejumlah US$ 440.000 bermata uang asing dan sejumlah US$ 695.000 bermata uang lokal. ADB menyediakan dana dalam jumlah US$ 900.000 dalam bentuk hibah dari The Asian Currency Crisis Support Facility, yang didanai pemerintah Jepang. Sedangkan sisanya yang berjumlah US$ 235.000 didanai pemerintah Indonesia, seperti tertulis dalam tabel berikut ini.

152


Kudeta Putih

Tabel V. 5. Estimasi Biaya dan Rencana Keuangan Asian Development Bank (ADB) Tahun 1999 Item

A. Asian Development Bank Financinga 1. Consultants a. Remuneration and Per Diem i. International Consultants ii. Domestic Consultants b. International and Local Travel c. Reports and Communications 2. Surveys and Studies 3. Training, Seminars, Conferences, and 4. Website 5. Miscellaneous Administration and Support Costs 6. Equipment 7. Contingencies Subtotal (A) B. Government Financing 1. Remuneration of Counterpart Staff 2. Office Space and Facilities 3. Surveys, Documents, and Website Development 4. Contingencies Subtotal (B) Total

Foreign Exchange

328.5 0.0 20.0 0.0 0.0 0.0 0.0

Local Currency

0.0 215.0 50.0 0.0 40.0 90.0 15.0

Total Cost

328.5 215.0 70.0 0.0 40.0 90.0 15.0

45.0 0.0 45.0 46.5 50.0 96.5 440.0 460.0 900.0 0.0 0.0 0.0

22.5 60.0 135.0

22.5 60.0 135.0

0.0 17.5 17.5 0.0 235.0 235.0 440.0 695.0 1135.0

Sumber : Laporan ADB, 1999

Komite Koordinator atau TA Coordination Committee (TACC) mengkoordinasikan dan mengarahkan keseluruhan proyek, memberikan arahan kepada konsultan TA dan Agen Pengeksekusi atau Executing Agency (EA), serta memonitor perkembangan TA untuk memastikan TA sesuai dengan tujuan dan berkaitan dengan isu strategis pemerintah. TACC diketuai Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian dan yang ikut serta adalah Bappenas, Menteri Dalam Negeri, Kementerian Pembanguan Daerah Tertinggal (PDT), dan kementerian lain yang ditentukan oleh Bappenas dan Kementerian Pertanian. TACC melakukan pertemuan paling tidak sekali dalam sebulan untuk memberikan masukan aktif dalam pelaksanaan TA.

153


Kudeta Putih

Ratusan proyek bantuan ADB di sektor pertanian telah diimplementasikan di Indonesia sejak tahun 1967. ADB berperan dalam absennya pembaruan Undangundang Agraria. Sejarah undang-undang tersebut sebagai berikut: a. Regulasi sektor agraria memiliki cakupan yang sangat luas, termasuk tanah, air, dan kekayaan alam (termasuk yang terdapat di udara dan ruang angkasa di atasnya), sektor agraria merupakan salah satu isu yang paling kompleks dan strategis di Indonesia.

b. Undang-undang Pokok Agraria (UUPA No. 5/1960) merupakan payung hukum untuk semua regulasi sektor agraria dan dipercaya sebagai salah satu produk hukum yang terbaik di Indonesia. Undang-undang ini bukan hanya dipuji karena proses penyusunannya yang sangat demokratis, tetapi juga sesuai dengan mandat UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia. Selanjutnya undang-undang ini sesuai pula dengan situasi dan kondisi politik, sosial, dan ekonomi, serta menghormati kebudayaan bangsa. Prinsip tanah untuk para penggarap dan sifat sosial tanah dipercaya menjadi basis pembaruan agraria sejati di Indonesia, bahkan sampai saat ini. Undang-undang ini juga didukung oleh berbagai pihak, terutama para petani kecil dan kaum nasionalis, karena menyatakan pembangunan nasional harus didasarkan pada sektor pertanian dan pembangunan ekonomi demokratis di daerah pedesaan. c. Meskipun demikian, setelah tahun 1966, UUPA dipetieskan: tidak dihapuskan, tetapi juga tidak diterapkan. Sejak era Orde Baru, banyak undang-undang sektoral yang muncul sehingga melemahkan atau bertentangan dengan UUPA. Undang-undang sektoral yang seharusnya lebih teknis untuk mendukung UUPA, diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan rezim Orde Baru dan dalam banyak kasus tidak tersinkronisasi dengan UUPA. Maka dari itu tidak mengejutkan bahwa lebih dari setengah abad sejak Indonesia merdeka tidak tercapai pembaruan agraria sejati sesuai dengan yang dimandatkan UUD 1945 dan UUPA. d. Dalam sebuah skema yang sistematis, pasar tanah dan liberalisasi di sektor pertanian muncul pertama kali tahun 1995 dalam program Bank Dunia yang dimanifestasikan dalam Proyek Administrasi Pertanahan (LAP, Land

154


Kudeta Putih

Administration Project) 1 dan 2 (1995 - 2004). LAP telah didahului Proyek Pembangunan Manajemen dan Kebijakan Pertanahan (LMPDP, Land Management and Policy Development Project) yang telah menghasilkan 12 surat kebijakan (policy paper) dan sejumlah dokumen yang digunakan sebagai

argumen untuk membangun kerangka hukum pertanian di Indonesia. Sejumlah tawaran untuk mempercepat dibukanya pasar tanah didukung oleh pemerintah, terutama dengan mengamandemen UUPA. e. Kemudian pada tahun 2002 - 2003, ide untuk mengamandemen UUPA mendapat penolakan keras dari berbagai pihak, terutama dari gerakan rakyat dan organisasi petani. Meskipun demikian, pemerintah Indonesia bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN) terus membuat peraturan yang mereka klaim sebagai turunan dari UUPA – peraturan-peraturan yang lebih adaptif terhadap investasi dan pembangunan infrastruktur. Sebagaimana diperhatikan oleh banyak pihak, fakta ini tidak dapat dipisahkan dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Infrastruktur Indonesia (2005 dan 2006). Dalam acara ini, ide untuk menciptakan undang-undang sektoral terus didorong, terutama Rancangan Undang-undang Sumber Daya Pertanian yang kemudian diubah menjadi RUU Pertanahan. f. Program Bantuan Teknis Regional (Regional Technical Assistance, RETA) yang didanai ADB dimulai pada tahun 2000. RETA merupakan program ADB yang sangat antusias mendukung pasar tanah dan liberalisasi sektor pertanian. Rekomendasi dari LMPDP dan RUU sektoral sebagai turunan UUPA pun digunakan. RETA lahir dari inisiatif BPN untuk menindaklanjuti rekomendasi dari pengembangan kerangka hukum dan administrasi lahan.

v Keterlibatan ADB di Sektor Agraria (Pertanahan) Pada tahun 2002 ADB (melalui RETA) bersama BPN mengeluarkan RUU Akuisisi Lahan dan serangkaian rekomendasi untuk memfasilitasi implementasi peraturan baru tersebut. Berdasarkan hasil ini, ADB kemudian menyalurkan pendanaan berupa hibah yang diperuntukkan sebagai bantuan teknis dalam rangka memfasilitasi penciptaan kerangka hukum dan administratif untuk pembebasan dan

155


Kudeta Putih

akuisisi tanah. Namun bantuan teknis tersebut tidak disetujui, karena pemerintah ternyata mengeluarkan Peraturan Presiden No. 36/2005, dan bukan UU Akuisisi Lahan seperti yang diajukan sebelumnya. Perpres 36/2005 bertujuan untuk memancing investasi besar dalam berbagai

proyek infrastuktur. Dalam satu tahun, terdapat banyak penolakan publik, terutama dari organisasi petani. Versi amandemen perpres tersebut, yakni Perpres No. 65/2006 dikeluarkan satu tahun setelahnya. Peraturan ini masih menimbulkan kontroversi karena bertentangan dengan semangat UUPA untuk mewujudkan pembaruan agraria sejati. Seperti biasa, suara rakyat tidak diperhitungkan dalam penyusunan dan implementasinya. Pada rentang masa tersebut, ADB (melalui bantuan teknis) masih terus melanjutkan aktivitasnya, dan BPN serta Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) melakukan berbagai misi pencarian fakta berkaitan dengan isu ini. Setelah misi pencarian fakta selesai pada tahun 2007, BPN meminta bantuan teknis yang ditawarkan dengan mempersiapkan RUU Pertanahan dan peraturan implementasi lainnya yang berkaitan. Pemerintah menjadikan RUU Pertanahan sebagai prioritas pada waktu itu. Kesepakatan pun terjadi antara pemerintah dan ADB dengan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) pada Oktober 2007. Pada Desember 2007 bantuan teknis dengan nama Peningkatan Kerangka Hukum dan Administratif Proyek Tanah (TARs/INO/37304-INO-TAR) dikeluarkan dengan nomor proyek 37304 dan ditandatangani oleh ADB dan pemerintah Indonesia. Tujuan bantuan teknis ini secara umum ialah intervensi, terutama dalam mengembangkan kerangka hukum dan administratif untuk proyek-proyek yang menyangkut bidang pertanahan, termasuk mengenai penggusuran dan akuisisi lahan. BPN akan menjadi lembaga pelaksana proyek ini. Target dari bantuan teknis ini ialah meningkatnya kesadaran dan pemenuhan hak-hak atas tanah serta pembebasan lahan (baca: penggusuran dan akuisisi) yang sesuai dengan standar internasional. Sebagai pelaksana proyek ini BPN akan membentuk Kelompok Kerja Hukum dan Teknis di bawah kepemimpinannya, yang terdiri atas beberapa elemen pemerintah seperti Bappenas, Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Hukum dan HAM, Departemen Pekerjaan Umum, Kementerian Negara

156


Kudeta Putih

Pemberdayaan Perempuan, Departemen Agama, dan Sekretariat Negara.31 Fokus isu dalam pembuatan RUU Pertanahan menyebutkan bahwa RUU ini akan berada dalam kerangka UU Agraria yang telah ditetapkan sebelumnya (UUPA). Namun, faktanya di dalam dokumen bantuan teknis proyek ini terdapat kecenderungan

bahwa RUU Pertanahan akan meneruskan upaya regulasi sebelumnya untuk menghilangkan hak-hak rakyat atas tanah demi kepentingan publik, sebagaimana diatur di dalam Perpres No. 65/2006. Perpres ini lahir atas upaya para pelaku bisnis dan investor yang menyatakan akuisisi lahan merupakan salah satu hambatan terbesar bagi investasi di Indonesia. Hal yang sama juga dinyatakan Bappenas dan ADB. Kepentingan investor tersebut kemudian difasilitasi dalam Perpres No. 65/2006. Sama halnya dengan Perpres No. 65/2006, RUU Pertanahan juga akan mengatur isu pengadaan tanah. Menurut dokumen bantuan teknis, latar belakang kelahiran RUU Pertanahan ini disebabkan: (i) kurang dikembangkannya kerangka hukum yang menjamin relokasi tempat tinggal yang adil dan cepat; (ii) tidak terdapatnya regulasi mengenai pengadaan tanah/penggusuran yang komprehensif; (iii) kapasitas yang tidak memadai untuk tugas-tugas yang berkaitan dengan pengadaan tanah/penggusuran. Salah satu indikasi dari inisiasi menuju RUU Pertanahan ini terlihat dari program kerja Bappenas (bersama BPN) untuk menerbitkan satu juta sertifikat tanah pada tahun 2008. Hal ini telah diproses dalam rencana kerja BPN 2008 yang menyusun pengaturan penggarapan, penggunaan, dan pemilikan 10.000 persil lahan serta redistribusi 300.000 persil lahan. Selain itu, berdasarkan keterangan dari BPN, saat ini telah dilakukan sertifikasi lahan di 380 kecamatan/kabupaten di seluruh Indonesia. Sebagai catatan, keseluruhan proses sertifikasi tersebut terjadi secara masif pasca KTT Infrastruktur tahun 2005. Proses legalisasi dan formalisasi lahan melalui sertifikasi terjadi bersamaan dengan proses penggusuran dan akuisisi lahan atas nama pembangunan. Selanjutnya, sertifikasi yang dilakukan secara masif akan mendorong percepatan (baca: akselerasi) pasar tanah karena semakin mudah tanah dikonversi menjadi secarik kertas, semakin mudah pula memperjualbelikannya untuk kepentingan investor, terutama investor asing. 31 Ibid. hlm.10

157


Kudeta Putih

Dampak implementasi RUU Pertanahan ini adalah semakin menyempitnya lahan pertanian dan terancamnya kedaulatan pangan Indonesia. Selama kurun waktu 1999 - 2002 konversi lahan pertanian untuk penggunaan non-pertanian seperti perumahan, perkantoran, jalan raya, dan fasilitas publik lainnya mencapai 187.720

hektare per tahun.32 Ini berarti tiap hari sekitar 514 hektare lahan pertanian beralih ke fungsi non-pertanian. Produksi pangan juga akan menurun karena tanah akan digunakan untuk fungsi lain. Organisasi-organisasi rakyat sipil menyatakan konversi lahan di Jawa akan berkontribusi terhadap penurunan produksi beras sebesar 7,43 %. Kalkulasi kasar ini belum memperhitungkan pihak-pihak lain yang berhubungan dengan produksi pertanian (pengecer, distributor, industri pengolahan pangan). RUU Agraria ini sebenarnya tidak ditujukan untuk pembaruan agraria, tetapi untuk kepentingan investasi asing / pembangunan infrastruktur. Tercatat terdapat 91 proyek ADB untuk pembangunan infrastruktur sejak tahun 2005, sebagian besar berupa proyek jalan tol. Dari total investasi selama tahun 2005 - 2009, proyek-proyek ini menghabiskan dana US$ 145 miliar. Hanya 17 % dari dana proyek-proyek tersebut yang ditanggung oleh pemerintah, sisanya (83 %) ditanggung oleh investasi asing. Proyek lain yang didanai bantuan ADB ialah Proyek Jalan Tol Trans Jawa yang membentang sepanjang 652 kilometer dari Jakarta hingga Surabaya. Proyek ini bernilai sebesar US$ 500 juta (termasuk di dalamnya Proyek Jalan Tol Trans Kalimantan). Sekitar US$ 70 juta untuk proyek tersebut bersumber dari dana pemerintah (atau hanya sekitar 12,28 % dari total keseluruhan dana). Proyek Jalan Tol Trans Jawa bertujuan untuk pembangunan wilayah Jawa. Dana proyek ini akan dicairkan pada tahun 2010, setelah detail proyek ini diajukan Departemen Pekerjaan Umum. Pembangunan rute bagian selatan Jawa akan dimulai pada awal tahun 2011. Proyek ini telah dimulai di beberapa lokasi, sebagai contoh di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Berdasarkan pengamatan lapangan, masih terdapat beberapa masalah seperti jumlah ganti rugi tanah yang tidak sesuai untuk beberapa daerah di Jawa Tengah. Terlebih lagi, terdapat kekhawatiran pembangunan jalan tol ini akan merusak lingkungan (terutama daerah serapan air) yang masih terpelihara dengan baik di daerah tersebut.33

32 Tinjauan atas Kebijakan Subsidi Pertanian dan Pangan di Indonesia, Serikat Petani Indonesia, 2008 33 Ibid, hlm. 16

158


Kudeta Putih

Hal lain yang berkaitan dengan reformasi agraria ini adalah privatisasi sumber daya air Indonesia oleh pihak asing dan ADB termasuk salah satu tokoh utamanya. Privatisasi sumber daya air itu dituangkan dalam RUU Sumber Daya Air yang disyaratkan oleh Bank Dunia untuk pencairan pinjaman sebesar US$ 150 juta bagi kas

APBN 2004. Undang-undang No. 7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Air merupakan bagian dari syarat World Bank untuk pencairan US$ 300 juta pinjaman luar negeri untuk program restrukturisasi air yang disebut Proyek Manajemen Sumber Daya Air (Water Resources Adjustment Loan / WATSAL) yang telah ditandatangani pada April 1998. Sebesar US$ 150 juta telah dicairkan dalam dua termin dengan persyaratan sejumlah peraturan pemerintah (PP) dan keputusan presiden (kepres) untuk meliberalisasi sektor air.34 Salah satu peraturan yang terbit atas “permintaan” Bank Dunia adalah Keppres No. 96 Tahun 2000 yang membolehkan perusahaan pengelola air dan penyedia air minum menguasai hingga 95 %. Pencairan tahap ketiga sebesar US$ 150 juta akan dilakukan begitu segala inisiatif reformasi sektor air telah terselesaikan, yaitu disahkannya UU Sumber Daya Air.35 Ada 21 proyek air di Indonesia yang dibiayai ADB, namun yang paling berdampak luas adalah proyek bantuan teknis Reform Water Enterprises senilai US$ 600 ribu pada Februari 2001. Dalam laporan Reform Water Enterprises 20 Februari 2001, ADB menyatakan PDAM harus sehat dari segi keuangan agar menarik minat swasta dalam pengembangan layanan air lebih lanjut. ADB dalam laporan ini mendorong keterlibatan swasta dalam pengelolaan perusahaan air minum di Indonesia. ADB juga menjalankan proyek Regulatory Framework for Private and Public Water Supply and Wastewater Enterprises senilai US$ 988 ribu pada Oktober 2001. Menurut ADB, proyek ini lahir dari inisiatif pemerintah Indonesia yang meminta ADB membuat saran teknis kerangka pengaturan pengembangan perusahaan pengelolaan air.

34 PHBI, “ Right to Food:From Justiciability to Agrarian Reform”, University of Oslo 2007. 35 Syamsul Hadi dkk, “ Politik Privatisasi di Indonesia”. Marjin Kiri. 2007.

159


Kudeta Putih

Tabel V. 6. Proyek Water Supply ADB di Indonesia Tahun 2003

Sumber: Laporan Bank Dunia, 2003

Dorongan untuk melibatkan swasta ini juga terbaca dalam kebijakan global ADB dalam Water for All, selain dalam laporan tahun 2000 bertajuk Developing Best Practices for Promoting Private Sector Investment in Infrastructure. Semua laporan tersebut difokuskan pada langkah-langkah yang harus dilakukan pemerintah agar swasta dapat terlibat lebih jauh dalam pengelolaan air. Salah satu poin dalam laporan tersebut adalah perlunya menaikkan tarif air (istilah ini diperhalus oleh ADB menjadi reformasi tarif air). Menurut ADB, tanpa reformasi tarif air, investasi air tidak akan menguntungkan bagi swasta.

160


Kudeta Putih

Salah satu dampak diberlakukannya privatisasi sumber daya air melalui UU No. 7 Tahun 2004 adalah kerugian bagi petani, karena petani harus membayar mahal untuk irigasi mereka. Petani harus membayar pembuatan dam maupun air di dalamnya. Apalagi irigasi memegang 80 % penggunaan sumber daya air di Indonesia,

sebagaimana hal ini diakui ADB dalam laporannya tahun 2010. Hal ini berdampak pada hal-hal berikut: (1) Strategi pemerintah dalam keamananan pangan nasional, di mana hal ini sangat tergantung pada kemandirian dalam memproduksi beras; (2). Perkembangan ekonomi pedesaan; (3). Pengurangan kemiskinan. Partisipasi ADB dalam proyek sektor irigasi atau ADB’s Participatory Irrigation Sector Project (PISP) terus berjalan dan seiring dengan berjalannya program manajemen sumber daya air dan sektor irigasi dari Bank Dunia atau World Bank’s Water Resources and Irrigation Sector Management Program (WRISMP). Kedua program ini menyediakan rehabilitasi, pengembangan kapasitas, dan penguatan institusi irigasi. Kedua program tersebut mendukung dibentuknya Asosiasi Pengguna Sumber Daya Air atau Water Users’ Associations (WUAs) untuk mendorong petani lebih aktif dalam mengambil peran terkait operasi, perawatan, dan pengaturan sistem irigasi. Sementara itu, WUAs berpartisipasi dalam pendanaan eksternal program-program donor, peran jangka panjang mereka di sektor irigasi di seluruh Indonesia terus dikembangkan.36 Manajemen irigasi tersandung masalah tumpang tindih fungsi dan kurangnya kejelasan pembagian tanggung jawab pemerintah pusat, provinsi, dan pemerintah daerah, juga ketidakjelasan peran WUAs. Berdasarkan regulasi yang ada saat ini, pemerintah bertanggung jawab pada skema sistem irigasi yang luasnya lebih 3.000 hektare, pemerintah provinsi bertanggung jawab untuk skema irigasi dengan luas 1.000 hingga 3.000 hektare, dan pemerintah daerah bertanggung jawab untuk skema dengan luas kurang dari 1.000 hektare. Meskipun demikian, kapasitas dari setiap agen / institusi pemerintah pada level yang berbeda ini sangat bervariasi dan dalam beberapa kasus, penyusunan manajemen irigasi ini didasarkan pada kesepakatan bagi hasil jangka pendek yang terkadang sangat tidak jelas. Saat ini aliran dana antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah daerah untuk operasional dan perawatan skema irigasi ini tidak cukup terkoordinasi guna memastikan produktivitas yang berkelanjutan. 36 ADB’s Technical Assistant Report, “Republic of Indonesia: Institutional Strengthening for the Water Resources Sector’, December 2010.

161


Kudeta Putih

Strategi dan program setiap negara tahun 2006 - 2009 dan strategi kerja sama dengan negara yang baru (yang disetujui pada 2011) membutuhkan lebih banyak investasi infrastruktur dan manajemen sumber daya yang lebih kuat dan manajemen sumber daya air memegang peranan utama bagi portofolio ADB di Indonesia.37

Rencana operasi bisnis untuk Indonesia di tahun 2010 bernilai lebih dari US$ 1 miliar untuk bisnis berjalan dan investasi di sektor sumber daya air. Pengembangan infrastruktur sumber daya air adalah aktivitas inti strategi ADB 2020. Pengembangan infrastruktur sumber daya air, khususnya irigasi, juga merupakan prioritas kunci Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah (RPJM) Pemerintah Indonesia 2010 - 2014. Bantuan teknis (technical assistant, TA) dari ADB sejalan dengan program pemerintah dan sejalan pula dengan Directorate General of Water Resources (DGWR) untuk membangun kapasitas dan mengembangkan sektor sumber daya air, terutama manajemen sungai. Cakupan dari TA ini didasarkan pada pengalaman dan pelajaran yang diambil dari implementasi program ADB untuk sumber daya air di Indonesia di bawah Program Terpadu Menajemen Investasi Sumber Daya Air Citarum atau Integrated Citarum Water Resources Management Investment Program, PISP, dan Pembangunan Kapasitas Sumber Daya Air di Lingkungan yang Terdesentralisasi atau Capacity Building in Water Resources in a Decentralized Environment. TA ini berkoordinasi dan saling melengkapi dengan proyek yang sedang dijalankan oleh partner ADB, termasuk pemerintah Belanda, Agen Kerja Sama Internasional Jepang dan Bank Dunia. TA ini akan berkontribusi sangat besar dalam program ADB di sektor sumber daya air. Total dana untuk TA ini diperkirakan mencapai US$ 550.000 di mana US$ 500.000 akan didanai oleh Dana Jepang untuk Pengurangan Kemiskinan ( Japan Fund for Poverty Reduction) dan diatur penggunaannya oleh ADB. Pemerintah Indonesia akan berkontribusi sebesar sisanya, yaitu US$ 50.000.

37 ADB 2006. Country Strategy and Program: Indonesia, 2006–2009. Manila.

162


Kudeta Putih

Tabel V. 7. Estimasi Biaya dan Rencana Pendanaan untuk Program Sistem Irigasi ($’000) Bulan Desember 2010 Item

Total Cost

A. Japan Fund for Poverty Reductiona 1. Consultants a. Remuneration and per diem i. International consultants (12 person-months) 290.0 ii. National consultants (28 person-months) 90.0 b. International and local travel 30.0 c. Reports, communications, translation 5.0 2. Workshops, seminars, and conferencesb a. Workshops 10.0 b. Training 15.0 c. Conferences 15.0 4. Studies and surveys a. Field surveys for stakeholder 15.0 5. Equipmentc 15.0 6. Contingencies 15.0 Subtotal (A) 500.0 B. Government of Indonesia 1. Office accommodation 20.0 2. Remuneration and per diem 20.0 3. Logistical support 10.0 Subtotal (B) 50.0 Total 550.0 Sumber : ADB’s Technical Assistant Report, Republic of Indonesia: Institutional Strengthening for the Water Resources Sector, December 2010.

Bappenas akan menjadi agen pengeksekusi/pelaksana TA ini dan the Directorate General of Water Resources (DGWR) dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum akan menjadi agen implement atau penerap. Bappenas juga bertanggung jawab dalam perencanaan dan pengembangan kebijakan sehingga lebih cocok untuk bertanggung jawab dalam TA ini. TA ini juga akan membutuhkan kerja sama dengan Kementerian Pertanian untuk aktivitas irigasi, terutama untuk konsep strategi irigasi yang akan membutuhkan analisis kebijakan dan masukan yang lain dari sektor pertanian. Agen/institusi lain yang terlibat adalah Kementerian Lingkungan Hidup yang bertindak sebagai konsultan, pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah daerah, dan semua stakeholders akan diikat komitmennya dalam semua aktivitas.

163


Kudeta Putih

Proyek ADB yang lain di sektor pertanian adalah Proyek Promosi Pertanian dengan Irigasi Berkelanjutan di Sumatera Utara. Tujuan utama proyek ini ialah meningkatkan produktivitas pertanian dengan meningkatkan sistem irigasi dan lembaga-lembaga masyarakat, termasuk serikat-serikat petani. Proyek ini

menghabiskan total dana US$ 217 juta. Pemerintah menyediakan pendanaan sebesar US$ 83,9 juta — dengan menggunakan dana utang — untuk proyek ini, sementara petani menanggung sebesar US$ 3,1 juta. Proyek ini akhirnya dinilai gagal karena tidak tuntasnya pembangunan irigasi seperti yang disebutkan dalam proposal. Selain proyek di Sumatera Utara, Proyek Pembangunan Pertanian Nusa Tenggara juga gagal. Proyek irigasi senilai US$ 137 juta ini dimulai pada tahun 1992 dan selesai pada tahun 1996. Proyek ini ditujukan untuk membangun irigasi di lokasi seluas 1,140 hektare di Kambaniru, Sumba Timur. Proyek ini dinilai oleh ADB sebagai proyek yang “secara umum berhasil�. Namun, proyek ini menimbulkan hilangnya tempat tinggal lebih dari 1.000 keluarga dan hilangnya tanah-tanah yang subur. Proyek pertanian lainnya yang gagal diterapkan di Indonesia ialah Program Sektor Pertanian Pangan yang menghabiskan dana US$ 250 juta, dievaluasi tahun 1997; Proyek Kredit Agro-Industri senilai US$ 29,5 juta, dievaluasi tahun 1996; dan Pinjaman ADB untuk Sektor Energi Terbarui yang dievaluasi tahun 2002. v Keterlibatan ADB di Sektor Kehutanan Pada tahun 2003 pemeritah Indonesia mengajukan bantuan teknis (TA) kepada ADB untuk meningkatkan produktivitas proyek tanaman pohon/ tanaman keras (tree crops) untuk menggairahkan petani subsektor (petani kecil) dan meningkatkan pendapatan para petani, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan kontribusi tanaman pohon dalam perekonomian nasional. Yang termasuk dalam tanaman pohon/tanaman keras yang dibantu ADB meliputi karet, kelapa sawit, kacang mete, kakao, kelapa, teh, dan kopi. Tujuan dari bantuan teknis ini adalah untuk mempersiapkan suatu proyek investasi dengan tujuan utama meningkatkan kontribusi tanaman pohon dalam perekonomian nasional dan mengurangi kemiskinan petani dengan meningkatkan

164


Kudeta Putih

pendapatan petani. Penelitian TA akan (i) mengidentifikasi dan menganalisis masalah dan kendala, (ii) mengidentifikasi pilihan intervensi alternatif, (iii) memberikan informasi untuk membandingkan dan memilih di antara pilihan, menilai dampak yang mungkin terjadi, dan (iv) menyiapkan investasi proyek. Total dana TA ini diperkirakan mencapai US$ 1,443 juta, dengan perincian US$ 483.000 dalam mata uang asing dan US$ 960.000 dalam mata uang lokal (Tabel 8). Pemerintah telah meminta ADB untuk membiayai proyek sebesar US$ 800.000 yang terdiri atas US$ 338.000 dalam mata uang asing dan US$ 462.000 dalam mata uang lokal. TA ini akan didanai dana hibah dari Dana Khusus Jepang ( Japan Special Fund), yang didanai pemerintah Jepang. Pusat Investasi FAO akan mendanai US$ 343.000 dalam bentuk hibah.38 Pemerintah membiayai sisa anggaran sebesar US$ 300.000 dalam mata uang lokal dan telah meyakinkan ketersediaan layanan dan fasilitas pendukung saat TA siap dimulai. Directorate General of Estate Crops and Production (DGECP) di bawah Kementerian Pertanian akan menjadi lembaga pengeksekusi proyek TA ini. DGECP akan bekerja sama dan berkoordinasi dengan lembaga bentukan Kementerian Pertanian yang lain, yaitu Directorates of Agricultural Facilities (DGAF) dan Agricultural Product Processing and Marketing Development (DGAPPMD), Kementerian Keuangan, dan Bappenas.

38 Cost-sharing arrangements are 70% ADB and 30% FAO, as outlined in the memorandum of understanding between ADB and FAO, 4 August 1981 (Doc. R77-81), and amended on 22 March 2001. FAO-IC will administer its own funds and bill ADB for its portion, plus 10% administrative expense on remuneration.

165


Kudeta Putih

Tabel V. 8. Perkiraan Dana dan Rencana Pembiayaan Tahun 2003 Item A. Japan Special Fund Financing 1. Consultants a. Remuneration and Per Diema i. International Consultants ii. Domestic Consultants b. International and Local Travel c. Reports and Communications 2. Equipment 3. Trainings, Seminars, and Conferences 4. Surveys 5. Nursery Establishment 6. Miscellaneous Administration and Support Costs 7. Contingencies Subtotal (A) B. Food and Agricultural Organization 1. Consultants a. Remuneration and Per Diema i. International Consultants ii. Domestic Consultants b. International and Local Travel c. Reports and Communications 2. Equipment 3. Trainings, Seminars, and Conferences 4. Surveys 5. Nursery Establishment 6. Miscellaneous Administration and Support Costs 7. Contingencies Subtotal (B) C. Government Financing 1. Office Accommodation and Transport 2. Remuneration and Per Diem of Counterpart Staff 3. Farmer Empowerment 4. Others 5. Contingencies Subtotal (C) Total

Foreign Exchange

Local Currency

Total Cost

268 0 268 0 197 197 28 55 83 0 6 6 21 0 21 0 122 122 0 3 3 0 20 20 0 19 19 21 40 61 338 462 800

115 0 115 0 84 84 12 24 36 0 3 3 9 0 9 0 52 52 0 1 1 0 9 9 0 8 8 9 17 26 145 198 343 0

59

59

0 81 81 0 64 64 0 69 69 0 27 27 0 300 300 483 960 1,443

Sumber : ADB, 2003.

Perkembangan selanjutnya dalam sektor kehutanan Indonesia adalah Indonesia merupakan salah satu dari delapan negara percontohan yang terpilih di seluruh dunia untuk berpartisipasi dalam Forest Investment Program (FIP) atau Program Investasi Kehutanan. FIP adalah salah satu dari tiga program sasaran Dana Iklim Strategis (Strategic Climate Funds / SCF) yang dibentuk di bawah Dana Investasi Iklim (Climate 166


Kudeta Putih

Investment Funds / CIF). Tujuan utama FIP untuk mendukung upaya Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD) negara-negara berkembang, menyediakan pembiayaan di muka (up-front) untuk reformasi kesiapan dan investasi publik dan swasta yang diidentifikasi melalui upaya-upaya penyusunan strategi nasional REDD, dengan mempertimbangkan peluang-peluang untuk membantu adaptasi terhadap dampak perubahan iklim pada hutan dan menyumbangkan manfaat ganda seperti konservasi keanekaragaman hayati, perlindungan hak-hak masyarakat asli dan masyarakat lokal, pengentasan masyarakat miskin, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan.

Kementerian Keuangan yang menjadi focal point secara keseluruhan untuk Dana Investasi Iklim di Indonesia telah menunjuk Kementerian Kehutanan sebagai focal agency FIP. Perkiraan sumber pendanaan yang tersedia untuk FIP di Indonesia mencapai maksimal US$ 70 juta, yang terdiri atas dari hibah maksimal US$ 37,5 juta dan pinjaman konsesional maksimal US$ 32,5 juta. Hibah tambahan sekitar US$ 6,5 juta kemungkinan akan tersedia bagi kegiatan yang terkait dengan masyarakat adat dan masyarakat yang tinggal di dalam atau sekitar kawasan hutan di Indonesia melalui Mekanisme Hibah Khusus bagi Masyarakat Asli dan Masyarakat Lokal. FIP di Indonesia akan didukung secara bersama-sama tiga bank pembangunan multilateral (Multirateral Development Banks/MDB), yaitu Bank Pembangunan Asia (ADB), International Finance Corporation (IFC), dan Bank Dunia dengan partisipasi dan kemungkinan pembiayaan bersama dari mitra-mitra pembangunan yang lain. Pada 11 Juni 2010 pemerintah Indonesia mengajukan pemintaan bantuan hibah persiapan untuk mengembangkan rencana investasi kehutanan. Sebuah misi penentuan skop (scoping mission) telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan bank-bank pembangunan multilateral (MDB) pada Agustus 2010. Hibah Persiapan senilai US$ 225.000 untuk dikelola ADB telah disetujui pada Januari 2011 untuk membantu pemerintah Indonesia dalam mempersiapkan misi gabungan dan mendukung pengembangan rencana investasi. Berdasarkan temuan Misi Penentuan Skop pada Agustus 2010 dan lokakarya awal pada April 2011 yang dibiayai dengan hibah, persiapan FIP direncanakan akan dilaksanakan melalui dua misi gabungan oleh pemerintah Indonesia dan MDB.

167


Kudeta Putih

Berdasarkan hal tersebut, Misi Gabungan pertama39 yang dipimpin Kementerian Keuangan dan Kementerian Kehutanan dengan dukungan ADB, IFC, dan Bank Dunia, telah dilaksanakan pada 13 - 22 Juli 2011. “Bantuan� berbagai lembaga keuangan internasional di sektor kehutanan

turut serta dalam memunculkan cikal bakal lahirnya UU No. 42 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Bantuan ini berawal dari adanya kontradiksi antara predikat Indonesia sebagai negara mega-biodiversity dan persoalan defisit belanja pemerintah. Sebagai negara mega-biodiversity, Indonesia memiliki luas daratan hanya 1,3 % dari seluruh daratan di muka bumi, namun merupakan rumah dari 10 % jenis tumbuhan berbunga, 17 % jenis burung, 12 % jenis mamalia, dan 16 % reptil dan amfibi. Dengan alasan kelangkaan sumber dana, pemerintah Indonesia mengajukan utang ke negara-negara maju terkait dengan pemeliharaan hutan. Khusus untuk perlindungan hutan tropis di Indonesia, Uni Eropa mengucurkan tidak kurang US$ 100 juta sejak tahun 1991. Program konservasi tersebut meliputi Forest Liaison Bureau, Forest Fire Prevention and Control Project, Forest Inventory and Monitoring Project, Bureau Forest Management Project, South & Central Kalimantan Production Forest Project, dan Leuser Development Programme (LDP). LDP adalah program konservasi Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang merupakan buffer zone dari Taman Nasional Gunung Leuser yang dikelola Unit Manjemen Leuser. Uni Eropa mengucurkan tidak kurang dari US$ 32,5 juta. Selebihnya didanai pemerintah Indonesia hingga mencapai lebih dari US$ 50 juta. Program lain yang tak kalah besarnya berada di Taman Nasional Kerinci Sebla yang dibiayai Bank Dunia, Global Environment Facility (GEF), dan pemerintah Indonesia dengan biaya mencapai US$ 46 juta. Dana tersebut diperoleh dari pemerintah Indonesia sebesar US$ 12 juta, dana hibah GEF sebesar US$ 15 juta, dan US$ 19 juta merupakan pinjaman dari Bank Dunia untuk aktivitas pembangunan dan perencanaan. 39 Misi Gabungan ini terdiri dari: Singgih Riphat (co-team leader, Kemenkeu); Hadi Pasaribu (co-team leader, Kemenhut); Ancha Srinivasan (co-team leader dan Spesialis Perubahan Iklim Utama, ADB); Mubariq Achmad (co-team leader dan Penasihat Bidang Kebijakan Perubahan Iklim, Bank Dunia); Michael Brady (co-team leader, Manajer Program Kehutanan, IFC); Pemerintah Indonesia: Yetti Rusli; Agus Sarsito, Teguh Rahardjo; Puspa Dewi Liman; Arlan; Lasmini; Rektarini, Ratna Kusuma Sari; ADB: David McCauley, Mohammed Nasimul Islam. Marilou Drilon; Pantja Putih Wardani; Helena Lawira; Bank Dunia: Emile Jurgens; Eri Indrawan; Paul Lemaistre; William Wallace; IFC: Haris Iskandar; Rahajeng Pratiwi; Konsultan: Tahir Qadri, Agus Setyarso, Hanafi Guciano, Tara Rukmantara, Budi Prati.

168


Kudeta Putih

Antusiasme dalam memberikan bantuan untuk program perlindungan hutan tersebut sayangnya tidak diikuti perkembangan terakhir dalam persoalan eksploitasi. Pemerintah akhirnya meloloskan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2004 pada 11 Maret 2004 perihal perubahan Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2004 kemudian memberikan kemungkinan kepada 13 perusahaan tambang yang memiliki konsesi di kawasan hutan lindung, di antaranya PT Freeport Indonesia dan Gag Nikel di Papua dan INCO di Sulawesi Selatan. Ketigabelas perusahaan tersebut sebagian sahamnya dimiliki perusahaan asing yang bermarkas di Australia, Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada.40 Kontroversi Liberalisasi Pertanian di Indonesia Secara umum, liberalisasi sektor pertanian merupakan isu sensitif baik di negara maju, berkembang, maupun negara miskin, karena terkait dengan kepentingan dan kebutuhan populasi dunia. Seperti diungkapkan sebelumnya, pangan juga merupakan isu strategis dan menentukan kebijakan ekonomi suatu negara serta sering kali juga menjadi komoditas politik yang dapat mempengaruhi masyarakat secara luas. Kekurangan pangan berdampak pada tingginya harga, memberikan sumbangan terhadap tingginya inflasi dalam perekonomian nasional. Kondisi ini juga berdampak pada peningkatan angka kemiskinan dan pengangguran.41 Isu pertanian memiliki sensivitas yang tinggi. Oleh karena itu, setiap negosiasi WTO yang berkaitan dengan hal tersebut sering kali tersendat, bahkan mengalami kebuntuan.42 Rasheed Khalid, Philip Levy, dan Mohammad Saleem juga mengkritik liberalisasi pertanian WTO dalam kaitan dengan:43 1. Hambatan perdagangan pertanian porsi terbesar tidak terletak pada hambatan tarif, melainkan pada hambatan non-tarif atau non-tariff barriers; 40 I.Wibisono, dkk “Menuju Akuntabilitas Bisnis�, Business Watch Indonesia, Jakarta 2004, hlm. 20-21. 41 “Strengthening Food Resilience�, dalam Business Review, Edisi 06 Tahun 10, September 2011, hal. 10. 42 David Balaam dan Michael Veseth, Introduction to International Political Economy, (New Jersey: Prentice Hall,1996), hal. 115-116. 43 Rasheed Khalid, Philip Levy, dan Mohammad Saleem, the World Trade Organization and The Developing Countries, (Vienna: The OPEC Fund for International Development, April 1999), hal. 30.

169


Kudeta Putih

2. Perjanjian untuk mengurangi bentuk-bentuk tarif ini telah melewati batas waktu yang ditentukan; 3. Perjanjian yang dibuat telah mengalami distorsi sebagai akibat diberlakukannya subsidi domestik untuk para petani yang bertentangan dengan poin 4 Putaran Uruguay, yaitu restriksi lebih ditekankan pada subsidi ekspor. Ada dampak negatif yang ditimbulkan oleh proteksi atas sektor pertanian di negara maju terhadap food self-sufficiency di negara berkembang. Ini terkait dengan tingginya tarif dan aneka subsidi yang diberikan di negara maju, yang menyebabkan produk pertanian di negara berkembang menjadi kurang kompetitif di pasar internasional. Jika negara-negara maju menurunkan tarifnya hingga tingkat yang bisa ditembus negara berkembang, maka negara berkembang dapat menjadi eksportir yang signifikan. Namun, jika negara-negara maju tidak mau menurunkan tarif dan proteksinya, maka food self-sufficiency di negara berkembang dapat terancam. Rendahnya harga produk pertanian negara-negara berkembang di pasar internasional akan menekan harga domestik di negara-negara berkembang yang berdampak pada menurunnya kesejahteraan petani.44 Liberalisasi sektor pertanian di Indonesia sampai saat ini membuktikan bahwa komoditas pertanian bukanlah komoditas strategis negara yang harus berdaulat. Hendri Saparini memberikan contoh bahwa dalam kasus Malaysia, kepentingan asing yang hendak menguasai sektor ini dapat ditolak, karena ada undang-undang tentang pangan yang jelas, seperti peraturan yang mengatur kontrol harga pangan yang memastikan komoditas pangan tidak mungkin untuk diliberalisasi. Sedangkan liberalisasi pertanian di Indonesia sangat dimungkinkan, karena tidak ada konsep sistem ekonomi yang jelas yang didasari national interest oleh para pembuat kebijakan, baik di tingkat eksekutif, legislatif, maupun pembuat opini publik. Hendri Saparini juga menilai bahwa masih kuatnya kepentingan pribadi ataupun golongan menjadikan �� kebijakan yang diambil sangat pragmatis. 45

44 Ibid. 45 Wawancara dengan Hendri Saparini di Jakarta, 4 April 2012.

170


BAB VI Dominasi Asing dalam Bisnis Ritel di Indonesia

VI.1. Liberaliasi Sektor Ritel di Indonesia Bisnis ritel merupakan bidang usaha yang tengah berkembang pesat dan makin penting dalam perekonomian Indonesia. Potensi pasar ritel Indonesia terasa sangat besar bila kita bercermin dari data yang menunjukkan bahwa saat ini industri ritel memiliki kontribusi terbesar kedua terhadap pembentukan gross domestic product (GDP) setelah industri pengolahan. GDP Indonesia yang banyak ditopang oleh pola konsumsi masyarakatnya memiliki hubungan erat dengan industri ritel. Industri ini dapat dikategorikan menjadi industri yang menyangkut hajat hidup masyarakat banyak karena sekitar 10 % dari total penduduk Indonesia menggantungkan hidup dengan berdagang.1 1

Dengan karakteristik industri ritel yang tidak membutuhkan keahlian khusus serta pendidikan tinggi untuk menekuninya, maka banyak rakyat Indonesia terutama yang tergolong dalam kategori UKM masuk dalam industri ritel ini. Lebih lanjut lihat http://www.kadin-indonesia.or.id/enm/dokumen/ KADIN-98-2832-09052008.pdf diakses pada tanggal 28 Januari 2012, pkl 10.00

171


Kudeta Putih

Selain itu, industri ritel juga menempatkan diri sebagai industri kedua tertinggi dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia setelah sektor pertanian. Industri ritel jugalah yang diyakini menjadi daya dorong pemulihan pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca krisis finansial tahun 1997 dan 2008. Potensi besar Indonesia dalam sektor ritel tersebut menarik perhatian para pengusaha untuk membuka bisnis ritel di Indonesia. Masuknya beberapa ritel modern dan peritel asing mengakibatkan kompetisi dalam industri ritel di Indonesia menjadi semakin ketat. Berkembangnya ritel modern tersebut di satu sisi memberikan peluang bagi pemasok untuk memasarkan produknya ke dalam jaringan ritel modern. Namun di sisi lain, terjadi persaingan yang semakin ketat antarpemasok untuk merebut akses jaringan ritel besar. Kehadiran hypermarket dan minimarket asing seperti Carrefour, Giant, Hypermart, Makro, dan format ritel lainnya telah menciptakan jurang tajam dengan ritel modern lokal dan pasar tradisional. Kondisi ini tentu akan berdampak pada tersisihnya pemasok usaha kecil menengah (UKM), apalagi bila tanpa pemberdayaan. Salah satu dampak yang sudah dirasakan dari kehadiran ritel modern di tengahtengah ritel tradisional adalah berkurangnya pedagang kecil serta menurunnya omzet dari pedagang kecil tersebut. Bisnis ritel di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yakni ritel tradisional dan ritel modern. Ritel modern pertama kali hadir di Indonesia saat Toserba Sarinah didirikan pada tahun 1962. Tiga dekade kemudian, pada awal 1990-an, dimulailah sejarah masuknya ritel asing dengan beroperasinya ritel terbesar Jepang, Sogo. Ritel modern kemudian berkembang begitu pesat saat pemerintah, berdasarkan Keppres No. 99 Tahun 1998, mengeluarkan bisnis ritel dari negative list bagi penanaman modal asing. Sebelum Keppres No. 99 Tahun 1998 diterbitkan, jumlah peritel asing di Indonesia sangat dibatasi.2 Beberapa karakteristik ritel modern dapat dilihat pada tabel di bawah:

2

172

Marina L. Pandin, “Potret Bisnis Ritel di Indonesia: Pasar Modern�, dalam Economic Review, No. 215, Maret 2009


Kudeta Putih

Tabel VI.1. Karakteristik Ritel Modern PASAR MODERN (PASAR SWALAYAN)

DEPARTEMENT STORE

SPECIALTY STORE

MALL / SUPERMALL / PLAZA

Definisi

Sarana penjualan barang-barang kebutuhan rumah tangga termasuk kebutuhan sembilan bahan pokok.

Sarana penjualan berbagai macam kebutuhan sandang dan bukan kebutuhan sembilan bahan pokok, yang disusun dalam bagian dalam bentuk counter.

Sarana penjualan yang hanya memperdagangkan satu kelompok produk saja. Trend saat ini adalah produk elektronik dan bahan bangunan dalam skala yang cukup besar.

Sarana untuk melakukan perdagangan, rekreasi, restoran, dan sebagainya, yang terdiri dari banyak outlet yang terletak dalam bangunan / ruang yang menyatu.

Pusat jual beli barang sandang papan, kebutuhan sehari-hari, dll secara grosiran dan eceran yang didukung oleh sarana yang lengkap seperti restoran / foodcourt.

Metode Penjualan

- Dilakukan secara eceran, langsung pada konsumen akhir dengan cara swalayan (pembeli mengambil sendiri barang dari rak-rak dagangan dan membayar dikasir). - Tidak dapat dilakukan tawar-menawar harga barang.

- Dilakukan secara eceran dan cara pelayanan umumnya dibantu oleh pramuniaga. - Tidak dapat dilakukan tawar-menawar harga barang.

- Dilakukan secara eceran, langsung pada konsumen akhir dengan cara swalayan. - Tidak dapat dilakukan tawar-menawar harga barang.

- Dilakukan secara eceran, langsung pada konsumen akhir dimana outlet-outlet didalamnya menerapkan baik metode swalayan maupun dibantu oleh pramuniaga. - Tidak dapat dilakukan tawar-menawar harga barang.

- Dilakukan secara eceran dan grosir; umumnya dibantu oleh pramuniaga. - Dapat dilakukan tawar-menawar harga barang.

URAIAN

TRADE CENTRE

Sumber: Marina L. Pandin, 2009

Jenis-jenis ritel modern di Indonesia sangat banyak, meliputi pasar modern, pasar swalayan, department store, boutique, factory outlet, specialty store, trade centre, dan mall / supermall / plaza. Pasar modern merupakan salah satu jenis pasar ritel yang diperkenalkan pada era 1970-an dan merupakan format ritel yang mengalami perkembangan yang sangat baik beberapa tahun terakhir. Saat ini terdapat tiga jenis pasar modern, yaitu minimarket, supermarket, dan hypermarket. Perbedaan utama ketiganya terletak pada luas lahan usaha dan range jenis barang yang diperdagangkan. Beberapa karakteristik dari ketiga pasar modern dapat dilihat pada Tabel VI.2. Pada periode 2004 hingga 2008, omzet pasar modern bertumbuh 19,8 %, tertinggi dibandingkan format ritel modern yang lain. Perkembangan omzet ritel modern dapat dilihat pada Grafik VII.1.3 3

Ibid.

173


Kudeta Putih

Tabel VI.2. Karakteristik Pasar Modern di Indonesia Uraian

Minimarket

Supermarket

Hypermarket

Barang yang diperdagangkan Bergagai macam kebutuhan rumah tangga termasuk kebutuhan sehari-hari Jumlah Item < 5000 item Jenis Produk - Makanan Kemasan - Barang-barang hygenis pokok

Bergagai macam kebutuhan rumah tangga termasuk kebutuhan sehari-hari 5000 - 25000 item - Makanan - Barang-barang rumah tangga

Bergagai macam kebutuhan rumah tangga termasuk kebutuhan sehari-hari > 25000 item - Makanan - Barang-barang rumah tangga - Elektronik - Busana / Pakaian - Alat Olahraga

Model Penjualan

Dilakukan secara eceran, langsung pada konsumen akhir dengan cara swalayan (pembeli mengambil sendiri barang dari rak-rak dagangan dan membayar dikasir) Maksimal 400 m2

Dilakukan secara eceran, Dilakukan secara eceran, langsung pada konsumen akhir langsung pada konsumen akhir dengan cara swalayan dengan cara swalayan 4000 - 5000 m2

> 5000 m2

Minim s/d Rp 200 juta

Standard Rp 200 juta - Rp 10 Milyar

Sangat Luas Rp 10 Milyar keatas

Luas Lantai Usaha (Berdasarkan Perpres terbaru, yakni no. 112 th 2007 Luas Lahan Parkir Modal (diluar tanah dan bangunan)

Sumber: Marina L. Pandin, 2009

Grafik. V.1. Perkembangan Omzet Ritel Modern Tahun 2004-2008 (Rp Triliun)

Pasar Modern

5,45

1,18 2004

4,62

5,99

1,52 2005

Sumber: Marina L. Pandin, 2009

5,83

Specialty Store

Lainnya

55,45

44,85

38,87

31,86

26,95

174

Department Store

6,26

1,56 2006

6,51

6,43

6,55

1,57

2007

6,68

6,76

1,61

2008


Kudeta Putih

Terbukanya jasa perdagangan ritel di Indonesia bagi penanaman modal asing (PMA) dapat dilihat pada Keppres No. 96/2000 dan kemudian diperbarui dengan Keppres No. 118/2000 tanggal 16 Agustus 2000. Keppres tersebut mengatur bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka bagi modal asing dengan persyaratan tertentu bagi penanaman modal. Dalam keppres tersebut, perdagangan eceran skala besar (mall, supermarket, department store, pusat pertokoan/perbelanjaan) terbuka bagi PMA.

Kebijakan tersebut telah menyebabkan tidak adanya lagi pembatasan kepemilikan dalam industri ritel. Setiap pelaku usaha yang memiliki modal cukup untuk mendirikan perusahaan ritel di Indonesia dapat segera melakukannya. Akibatnya, pelaku usaha di industri ini terus bermunculan. Perkembangan terakhir memperlihatkan munculnya sinyal akan masuknya peritel asing dalam segmen ritel yang selama ini terlarang bagi penanaman modal asing (PMA) seperti di minimarket dan convenience store. Konsumen Indonesia saat ini sangat familiar dengan beberapa pelaku usaha di sektor tersebut dan beberapa di antaranya telah menjadi konsumen tetap pelaku usaha tersebut, misalnya Carrefour, Giant, Hypermart, Indomaret, Alfamart, K Circle, dan Yomart.4 Ada beberapa alasan liberalisasi sektor ritel di Indonesia. Pertama, liberalisasi di sektor ritel merupakan salah satu tuntutan dari letter of intent (LoI). Yang kedua, kesamaan paradigma dari para pengambil kebijakan yang cenderung menomorsatukan konsumen. Jika konsumen bisa mendapat barang yang lebih murah, maka itu yang harus dipilih. Para peritel asing akan membawa produk-produk murah baik dari luar maupun negara asalnya dan menawarkannya kepada konsumen kita dengan harga yang lebih murah. Para peritel asing ini juga dipandang dapat menurunkan angka inflasi. Di Korea Selatan ada aturan ritel-ritel asing hanya boleh menguasai 3 %. Sedangkan pemerintah Indonesia tidak menganggap hal tersebut sebagai masalah, tetapi justru positif karena dapat menyediakan barang-barang yang murah bagi konsumen. Saat ini banyak ritel yang didirikan kurang dari 1 kilometer dari pasar tradisional. Namun, pemerintah tidak melihat hal tersebut sebagai ancaman. Maka, harus ada kelompok 4

Komisi Pengawas Persaingan Usaha, “Position Paper Rancangan Peraturan Presiden Tentang Penataan Dan Pembinaan Usaha Pasar Modern dan Usaha Toko Modern�, diakses dari http://www.kppu.go.id/docs/ Positioning_Paper/ritel.pdf, pada tanggal 5 Februari 2012 pkl. 13.30

175


Kudeta Putih

yang memandang bahwa peritel tradisional strategis dan dengan demikian melihat masuknya perusahaan ritel asing sebagai ancaman. Dari sisi angka, terdapat lebih dari 13 juta peritel tradisional yang sifatnya informal.5

VI.2. Regulasi Terkait Sektor Ritel: Keberpihakan dan Efektivitas Regulasi terkait industri ritel, khususnya yang mengatur keberadaan ritel modern dan ritel tradisional, awalnya tertuang dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Perindustrian dan Perdagangan dengan Menteri Dalam Negeri Nomor 145/ MPP/Kep/5/97 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan. SKB ini dikeluarkan mengingat setiap tahun ritel modern, khususnya yang dimiliki oleh asing, semakin membanjiri Indonesia. Kondisi tersebut membuat beberapa ritel tradisional mulai merasakan ketidaknyamanan, bahkan beberapa ritel kecil/tradisional terancam tutup. Oleh karena itu, dengan dikeluarkannya SKB tersebut, diharapkan baik ritel modern maupun ritel tradisional dapat tumbuh bersama. Permasalahan dalam industri ritel tidak berhenti dengan dikeluarkannya kebijakan tersebut. Permasalahan terus bermunculan, terutama sejak tahun 2000, ketika ritel modern kian agresif melakukan ekspansi.6 Mengenai regulasi terkait dengan sektor ritel ini, sebenarnya terdapat banyak peraturan yang menata perpasaran mulai dari peraturan presiden, instruksi gubernur, dan hingga peraturan daerah. Di tingkat lokal, saat ini hanya sedikit pemerintah daerah yang memiliki peraturan yang secara khusus mengatur industri ritel modern. Peraturan Pemerintah DKI Jakarta No. 2/2002 tentang Pasar Swasta di Jakarta, yang dilaksanakan melalui SK Gubernur DKI Jakarta No. 44/2003, merupakan salah satu contoh perda mengenai pasar modern. Perda tersebut mengatur jenis pasar swasta; klasifikasi pasar berdasarkan jumlah modal pelaku usaha dan luas lantainya; syaratsyarat pembukaan pasar swasta; dan jarak yang wajib diperhatikan antara pasar modern dan pasar tradisional. Di wilayah lain yang belum memiliki peraturan seperti itu, pemda mendasarkan kebijakan pada perundang-undangan nasional.7 5 6 7

176

Hasil wawancara dengan Hendri Saparini, Log.Cit. Diakses dari http://www.kppu.go.id/docs/Positioning_Paper/positioning_paper_ritel.pdf pada tanggal 20 Februari 2012, pkl.13.30 Daniel Suryadarma, dkk, Laporan Penelitian Dampak Supermarket terhadap Pasar dan Pedagang Ritel


Kudeta Putih

Perda DKI Jakarta No. 2/2002 mengatur mengenai besar pasar swasta, jarak

dengan pasar lingkungan yang ada, dan sisi jalan yang boleh ditempati. Sebagai contoh, pasar swasta dengan luas lantai 1.000 meter persegi harus berjarak radius 1 kilometer dari pasar lingkungan dan harus terletak di jalan kolektor/arteri. Namun, yang terjadi adalah di Jakarta setidaknya terdapat 30 pasar swasta (biasa disebut pasar modern)

yang melanggar ketentuan jarak yang ditentukan Perda DKI Jakarta No. 2/2002.8 Dengan demikian, dapat dilihat bahwa peraturan yang sudah ada belum ditegakkan secara efektif.

Pada Januari 2012 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencabut aturan tentang

penundaan perizinan minimarket di Jakarta dengan menerbitkan Instruksi Gubernur

DKI Jakarta Nomor 7 Tahun 2012. Aturan yang dicabut adalah Instruksi Gubernur DKI Jakarta 115/2006 tentang Penundaan Perizinan Minimarket di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Instruksi Gubernur DKI Jakarta 115/2006 menyangkut

kepentingan publik, khususnya para pedagang pasar tradisional yang semakin lama

semakin terpinggirkan karena gempuran pengusaha minimarket. Pencabutan Instruksi

Gubernur DKI Jakarta 115/2006 seharusnya mempertimbangkan dua hal. Pertama, pencabutannya mesti dapat memastikan dan menjamin kegiatan usaha minimarket

tidak akan menimbulkan dampak terhadap persaingan usaha tidak sehat. Kedua, Pemprov DKI Jakarta harus mempunyai petunjuk pelaksanaan penyelenggaraan

minimarket sebagai konsekuensi dicabutnya Intruksi Gubernur DKI Jakarta ihwal penundaan perizinan minimarket.9

Instruksi Gubernur DKI Jakarta 115/2006 dinilai terkait dengan kepentingan

publik, karena instruksi ini dikeluarkan berdasarkan pada dua pertimbangan. Pertama, semakin berkembangnya kegiatan usaha minimarket yang merambah bahkan sampai

ke wilayah permukiman akan menimbulkan dampak terhadap persaingan usaha yang

tidak sehat. Kedua, untuk mengantisipasi terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat dan karena belum ditetapkannya ketentuan petunjuk pelaksanaan penyelenggaraan Tradisional di Daerah Perkotaan di Indonesia, Lembaga Penelitian SMERU, November 2007, hal 9. 8 “Carrefour..” dalam Tani Merdeka, Edisi 10 September – Oktober 2008 9 “Pencabutan Instruksi Gubernur Jakarta Dipertanyakan”, diakses dari http://faktapos.com/nusantara/16294/ pencabutan-instruksi-gubernur-jakarta-dipertanyakan, pada tanggal 5 Februari 2012 pkl.16.00

177


Kudeta Putih

minimarket, perlu membatasi perkembangan kegiatan usaha minimarket dengan penundaan proses perizinan yang terkait dengan penyelenggaraan usaha minimarket.10

Di sisi lain, meski pemerintah telah menerbitkan Perpres Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pasar Modern,

dan Pusat Perbelanjaan serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pasar Modern, dan Pusat Perbelanjaan untuk mengatur regulasi industri ritel nasional, dalam implementasinya dua peraturan tersebut kurang berjalan efektif. Ketidakefektifan dua peraturan perundang-undangan baik dalam pengaturan zonasi maupun pembatasan lainnya, umumnya disebabkan belum jelasnya sanksi dan penegakan hukum bagi pelanggarnya.11 Padahal, sebenarnya dalam Perpres Nomor 112 Tahun 2007 Pasal 17 sudah dijelaskan bahwa pihak yang melanggar ketentuan dalam perpres ini akan dikenai sanksi administratif secara bertahap berupa peringatan tertulis, hingga pembekuan dan pencabutan izin usaha. Namun, masalahnya kembali terpulang pada seberapa konkret sanksi ini diterapkan. Perpres Nomor 112 Tahun 2007 juga mengatur mengenai ritel tradisional dan ritel modern, khususnya yang terkait dengan zoning. Ketentuan zoning bertujuan untuk membatasi pembangunan pasar modern dan mereduksi dampaknya terhadap pasar tradisional.12 Dalam ketentuan tersebut dibahas pula mengenai jam buka, perizinan, sampai dengan masalah trading term yang sangat meresahkan pemasok pasar modern. Tidak hanya itu, pemerintah mengeluarkan aturan pendukung dalam Perpres 112/2007 di mana Bab III Pasal 8 mengatur hubungan antara pemasok dan toko modern. Namun, seperti telah diuraikan di atas, permasalahan yang terjadi adalah sejauh mana aturan tersebut benar-benar diterapkan. Pengaturan yang jelas dalam hal pengaturan jarak dalam Perpres 112/2007 dapat dilihat pada Pasal 4 yang menyatakan pendirian pusat perbelanjaan dan toko modern wajib memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat, keberadaan pasar tradisional, usaha kecil, dan usaha menengah yang ada di wilayah yang bersangkutan 10 Instruksi Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 115 Tahun 2006 Tentang Penundaan Perizinan Mini Market Di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta 11 Agus Suman, “Ritel Asing v Pasar Tradisional�, dalam Jawa Pos 16 Desember 2011 12 “Ringkasan Eksekutif Kajian Pemasaran Produk UKM Melalui Jaringan Retail Besar�, diakses dari http:// www.kemendag.go.id/addon/kajian_balitbang/file/0220080001.pdf pada tanggal 5 Februari 2012 pkl.11.00.

178


Kudeta Putih

serta memperhatikan jarak antara hypermarket dengan pasar tradisional yang telah ada sebelumnya. Bahkan perpres ini juga mengatur mengenai perlunya kemitraan antara pusat perbelajaan dan usaha kecil, seperti terdapat pada Pasal 6. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa pusat perbelanjaan wajib menyediakan tempat usaha untuk usaha kecil dengan harga jual atau biaya sewa yang sesuai dengan kemampuan usaha kecil atau yang dapat dimanfaatkan oleh usaha kecil melalui kerja sama lain dalam rangka kemitraan.13

Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa sebenarnya pemerintah sudah mengeluarkan regulasi sebagai pedoman untuk menyelesaikan permasalahan terkait dengan keberadan ritel modern. Ini dapat dilihat dari arah kebijakan Perpres No. 112/2007, yaitu:14 1. Pemberdayaan ritel tradisional agar dapat tumbuh dan berkembang serasi, saling memerlukan, saling memperkuat, serta saling menguntungkan; 2. Memberikan pedoman bagi penyelenggaraan ritel tradisional, pusat perbelanjaan, dan toko modern; 3. Memberikan norma-norma keadilan, saling menguntungkan, dan tanpa tekanan dalam hubungan antara pemasok barang dan toko modern; 4. Pengembangan kemitraan dengan usaha kecil, sehingga tercipta tertib persaingan dan keseimbangan kepentingan produsen, pemasok, toko modern, dan konsumen. Namun, yang terjadi adalah penegakan aturan ini masih kurang efektif. Hal ini terlihat dari beberapa implikasi yang ditimbulkan dari kehadiran ritel modern berskala besar, yang akan dijelaskan pada sub-bab selanjutnya. Di samping penegakan peraturan yang belum efektif, pola keberpihakan terhadap pedagang tradisional juga dipertanyakan. Pola penggusuran yang saat ini sering terjadi dengan dalih untuk membangun pasar modern, sangat merugikan para pedagang tradisional. Ketika para pedagang sudah tidak mampu untuk membeli kios 13 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2007 Tentang Penataan Dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan Dan Toko Modern 14 Diakses dari http://www.kppu.go.id/docs/Positioning_Paper/positioning_paper_ritel.pdf pada atnggal 20 Februari 2012, pkl.13.30

179


Kudeta Putih

karena harganya mahal, maka pasar yang baru akan diisi oleh ritel-ritel modern serta ritel asing.15 Negara yang sukses melakukan best practices dalam pengelolaan dan pengaturan industri ritel melalui pembuatan undang-undang ritel antara lain Jepang yang

mengeluarkan pedoman mengenai unfair trade yang berisi code of conduct tiap-tiap pelaku, baik peritel maupun pemasok. Di samping itu, Korea Selatan juga mempunyai regulasi berupa Korean Monopoly Regulation and Fair Trade Act, khususnya pada bagian 36 (1) dan (2), yang bertujuan mengidentifikasi kriteria peritel besar yang melakukan praktik perdagangan tidak adil dengan mengambil keuntungan dari bargaining positionnya.16 Salah satu tetangga terdekat Indonesia, yaitu Filipina, melakukan pembatasan devisa, yang artinya royalti di atas sekian % harus dilaporkan kepada pemerintah. Di Indonesia, para pewaralaba asing sudah jelas banyak yang melanggar UU No. 28/2008 tentang UMKM. Banyak pewaralaba asing tidak menjalin kemitraan dengan para pelaku usaha di daerah-daerah dan terbukti menjalankan praktik monopoli yang hanya menguntungkan kelompok sendiri. Padahal, waralaba semestinya bisa merangkul para pelaku UKM.17 Di Malaysia, pengawasan sektor grosir dan ritel berada di bawah pengawasan the Ministry of Domestic Trade and Consumer Affairs (MDTCA) melalui the Committee on Wholesale and Retail Trade. Komite ini didirikan pada tahun 1995 untuk mengatur dan mengawasi industri, termasuk partisipasi asing di sektor ini. Persetujuan dari komite diperlukan untuk perusahaan asing yang ingin mendirikan wholesale atau retail operations dan untuk pembukaan dan relokasi kantor cabang. Tujuan kebijakan ini adalah: 1) menjamin pembangunan industri yang adil dan tertib, termasuk di dalamnya kepentingan pedagang lokal; 2) efisiensi industri dengan tujuan nasional untuk meningkatkan partisipasi bumiputera di sektor ekonomi, dan 3) mendorong modernisasi dan meningkatkan efisiensi industri yang berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, di Malaysia keterlibatan asing dalam perdagangan wholesale dan retail disesuaikan dengan aturan, sebagai berikut:18 15 “Carrefour..”, Log.Cit. 16 Agus Suman, Log.Cit. 17 “Waralaba Belum Sesuai Jalur”, dalam Jurnal Nasional 6 Oct 2011 18 “Business Regulations in Malaysia”, diakses dari http://www.vlc.com.my/Business_Regulations.html, pada tanggal 6 Februari 2012, pkl. 11.30.

180


Kudeta Putih

1. Memasukkan unsur lokal di mana bisnis ritel dan grosir harus terdaftar di bawah UU Badan Usaha 1965. 2. Struktur permodalan: modal asing 30 % diperbolehkan dengan 70 % sisanya harus dipegang orang Malaysia, yang dari %tase ini, 30 % harus dicadangkan untuk bumiputera. 3. Modal yang harus disetor paling sedikit 10 juta RM untuk department store, 5 juta RM untuk supermarket, 1 juta RM untuk outlet khusus, dan 500 ribu RM untuk bisnis direct selling. 4. Posisi teknis manajerial untuk para expatriate: satu posisi kunci per perusahaan, dengan ketentuan orang yang melamar untuk posisi tersebut harus pernah memegang posisi manajerial di perusahaan perdagangan grosir dan ritel di luar Malaysia selama tidak kurang dari tiga tahun sebelum tanggal aplikasi untuk mengajukan izin bekerja; dan maksimum sepuluh posisi per perusahaan, yang disetujui untuk periode 2 - 3 tahun dan maksimum 5 tahun untuk eksekutif atau ahli yang memiliki kualifikasi dan pengalaman praktis yang diperlukan. Di India, pemerintahnya percaya bahwa terbukanya sektor ritel bagi waralaba asing akan membuka sekitar 10 juta pekerjaan baru dalam tiga tahun. Perusahaanperusahaan global akan diizinkan memiliki sampai 51 % saham perusahaanperusahaan ritel multi-merek di India seperti supermarket. Perusahaan asing juga

boleh memiliki hingga 100 % saham peritel merek tunggal. Terkait dengan kebijakan ini, Menteri Perdagangan India Anand Sharma menjelaskan bahwa pemerintah telah melakukan langkah-langkah guna melindungi petani dan pemilik toko kecil, sementara memungkinkan waralaba asing seperti Wal-Mart dan Tesco masuk ke negara itu. Langkah-langkah tersebut di antaranya toserba raksasa asing baru akan diizinkan berdiri di kota-kota berpenduduk paling sedikit 1 juta jiwa. Mereka harus menginvestasikan setidaknya $ 100 juta yang separuhnya harus diinvestasikan dalam infrastruktur pedesaan dan lalu lintas pendinginan dan penyimpanan. Sebanyak 30 % produksi mereka juga harus berasal dari pengusaha kecil dan menengah.19 19 “Pemerintah India Bela Kebijakan Baru di Sektor Ritel�, diakses dari http://www.voanews.com/indonesian/ news/Pemerintah-India-Bela-Kebijakan-Baru-Ritel-134518403.html, pada tanggal 19 Februari 2012, pkl. 18.00

181


Kudeta Putih

Akibat negatif kehadiran ritel modern membuat Thailand memilih kebijakan untuk melakukan perlindungan dan pemberdayaan usaha kecil ritel. Thailand memberlakukan undang-undang ritel Royal Decree for Retail Act yang berisi aturan zona, jam buka, harga barang, dan jenis ritel. Thailand memberlakukan undang-

undang ini, dan setelah berlangsung lima tahun, para pengusaha hypermarket mengklaim bisnisnya berhasil memberikan lapangan kerja bagi masyarakat setempat mencapai sedikitnya 20.000 tenaga kerja. Tetapi pada periode yang sama, dari 20 pasar tradisional di Bangkok dan sekitarnya hanya tersisa dua gerai. Di samping itu, pengangguran yang ditimbulkan mencapai 300.000 orang20. Dengan adanya undang-undang tersebut maka Bangkok memiliki zona perdagangan eceran. Misalnya southwest zone (zona barat daya), southeast zone (zona tenggara), dan northeast zone (zona timur laut), sehingga dapat ditarik garis vertikal dan horizontal untuk menentukan zona 1, 2, 3, 4, dan 5. Setiap zona diperuntukkan bagi format ritel tertentu agar tidak terjadi ketimpangan persaingan usaha ritel. Salah satu isi undang-undang ritel Thailand adalah penerapan zona atau tempat usaha satu jenis ritel, seperti hypermarket berada pada zona 4 atau 5, sedangkan zona 1 hingga 3 hanya diperuntukkan warung tradisional, grosir dan supermarket. Aturan zona juga melarang pusat perbelanjaan atau toko berskala besar pada daerah padat arus lalu lintas.21 Di sisi lain, model pemberdayaan usaha kecil ritel di Thailand dilakukan antara lain dengan mendirikan perusahaan negara atau BUMN nonprofit Allied Retail Trade Co (ART Co) dengan modal kerja sekitar US$ 9,1 juta. Perusahaan negara ini bertugas melakukan pembelian barang dari pabrikan dan kemudian disalurkan kepada jaringan toko-toko kecil dan warung tradisional lainnya. Bank di Thailand juga memberikan kemudahan kredit bagi toko tradisional yang memodernisasi toko.22 Di Indonesia, penetrasi pasar oleh ritel modern di kota-kota kecil, seperti convenience store (minimarket), menyebabkan catchment area yang semakin berkurang oleh ritel tradisional tersebut. Hal ini dapat dikaji melalui turn over yang dialami ritel tradisional lokal. Pada tingkat pemerintah kota umumnya diajukan intervensi 20 Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Log.Cit. 21 Ibid. 22 Ibid.

182


Kudeta Putih

berupa pengaturan lokasi untuk mengatasi masalah terkait penggunaan lahan yang tidak sesuai dan kegiatan ritel yang saling berkompetisi. Namun, pengembangan kebijakan yang mengaitkan antara pengaruh perkembangan ritel modern terhadap ritel tradisional di kota-kota kecil belum memiliki landasan studi yang memadai.23 Di samping itu, diperlukan peran aktif pemerintah melalui Kementerian Perdagangan dan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, para pelaku usaha, serta perbankan dalam mendorong terciptanya iklim bisnis waralaba yang sehat dan kondusif. Hal ini perlu segera dilakukan karena persoalan menjamurnya bisnis ritel dan minimarket di daerah, yang dikhawatirkan memicu keambrukan pola bisnis lokal yang lebih mengakar. Persoalan lainnya yang harus segera ditindaklanjuti adalah permasalahan mengenai jangka waktu perjanjian waralaba, persaingan tidak sehat, serta monopoli yang juga mewarnai perjalanan bisnis waralaba di Indonesia.24

VI.3. Pengaruh Aktor Internasional Dalam Liberalisasi Bisnis Ritel di Indonesia Berdasarkan aturan WTO mengenai usaha ritel, sebenarnya sektor ini masih diperbolehkan untuk ditutup dari investasi asing. Namun, penandatanganan Letter of Intent (LoI) IMF pada 15 Januari 1998 secara tidak langsung telah menandai era liberalisasi sektor ritel yang memberikan keleluasaan masuknya peritel asing kawakan berinvestasi di Indonesia, terutama untuk segmen hypermarket dan minimarket. Secara eksplisit dokumen LoI tersebut memuat pernyataan sebagai berikut: “macroeconomic environment, has contributed to lower retail and wholesale prices for Indonesia”25 [kondisi ekonomi makro, telah memberikan kontribusi untuk menurunkan harga eceran dan grosir untuk Indonesia] 23 “Pengaruh Perkembangan Ritel Modern terhadap Perekonomian Kota – Kota Kecil”. Diakses dari http:// www.sappk.itb.ac.id/ppk/index.php?option=com_content&task=view&id=258&Itemid=87&lang=en, pada tanggal 19 Februari 2012, pkl. 19.00 24 “Waralaba Belum Sesuai Jalur”, Log.Cit. 25 Letter of Intent, 15 January 1998 diakses dari http://www.imf.org/external/np/loi/011598.htm. pada tanggal 2 Februari 2012 Pk 05.23

183


Kudeta Putih

Lebih lanjut dalam LoI 15 January 1998 juga disebutkan:

“the Indonesian government should revoke the ban on foreign investors to enter the wholesale and retail businesses “.26 [pemerintah Indonesia harus mencabut larangan investor asing untuk memasuki bisnis grosir dan eceran]

Sebagai respons lanjutan atas LoI IMF tersebut, tidak berselang lama kemudian pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 99 Tahun 1998.27 Yang menarik dalam butir keempat keputusan presiden itu dapat disimak bahwa penanam modal asing memiliki peluang yang bebas untuk berinvestasi di tingkat domestik dengan prinsip kemitraan. Dengan peraturan presiden sebelumnya saja peritel asing seperti Yomart dapat masuk dengan mengatasnamakan usaha lokal. Implikasinya, peraturan yang lebih baru ini justru semakin mempermudah masuknya investor asing. Ini semakin menunjukkan kesesuaian dengan rekomendasi yang ditawarkan IMF melalui LoI 15 Januari 1998. Berikut ini kutipan butir keempat Keppres No. 99 Tahun 1998: �Bidang/jenis usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat pula dilakukan oleh usaha menengah atau usaha besar yang didirikan dalam rangka penanaman modal asing, kecuali untuk bidang/jenis usaha yang tertutup untuk penanaman modal asing.28 Padahal tujuan dasar diterbitkannya Keppres No. 99 Tahun 1998 adalah menjelaskan definisi yang jelas dari usaha kecil dan menengah supaya tidak terjadi kompetisi yang tidak adil. Usaha kecil dan menengah (UKM) berdasarkan kepres tersebut adalah sebuah istilah yang mengacu pada jenis usaha kecil yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan 26 ibid 27 Visi data riset Indonesia. 2005. Kondisi Persaingan Bisnis Retail Indonesia. Agustus. Hal 75. 28 Keputusan Presiden No.99 tahun 1998 tentang Bidang/Jenis Usaha Yang Dicadangkan Untuk Usaha Kecil Dan Bidang/Jenis Usaha Yang Terbuka Unutk Usaha Menengah Atau Usaha Besar Dengan Syarat Kemitraan.

184


Kudeta Putih

tempat usaha atau usaha yang berdiri sendiri. Dalam dokumen keppres yang sama dinyatakan, “Kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dengan bidang usaha yang secara mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat”. 29 Pasca penandatanganan Letter of Intent 15 Januari 1998, beberapa peraturan tambahan pun dimunculkan guna semakin mempermudah masuknya investor asing sektor ritel. Bermula dari Surat Keputusan Menteri Negara Investasi / Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) No. 11/SK/1998 dan SK No. 12/SK/1998 yang memberikan kemudahan bagi investor asing dalam sektor ritel. Namun, melalui peraturan ini, pemerintah masih mensyaratkan mengalokasikan 49 % untuk partner lokal. Namun, angin berubah 180 derajat di mana liberalisasi diperkencang melalui keluarnya SK Menteri Investasi / Kepala BKPM No. 29 Tahun 1999. Surat keputusan tersebut menyediakan prosedur lisensi dan segala kebutuhan, di mana dalam persyaratan tersebut ritel asing memiliki syarat yang sama dengan ritel lokal.30 BPKM pada tahun 1998 mengeluarkan perizinan untuk 7 perusahaan perdagangan grosir, di mana 4 di antaranya adalah perusahaan asing. Lebih lanjut, BKPM juga menyetujui proyek supermarket dan pusat perbelanjaan melalui skema penanaman modal asing (PMA). Proyek tersebut melibatkan PT Great Australia Bites dengan nominal investasi US$ 200 juta. Proyek tersebut berlokasi di Denpasar. Selain itu, perusahaan departement store PT Point Break Indonesia menginvestasikan US$ 250 juta untuk pembuatan pusat perbelanjaan yang berlokasi di Jakarta.31 Implikasinya, perkembangan pasca keputusan presiden itu amatlah cepat. Padahal, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), supermarket pertama di Indonesia muncul pada awal periode 1970-an. Setelah supermarket sempat berkembang pada tahun 1970-an, ternyata selebihnya tidak ada perkembangan lebih lanjut selama 10 tahun berikutnya. 32

29 Ibid. 30 Togar Alam Napitupulu ,Ronnie S. Natawidjaja, & Josefina M. Lantican. 2009. Adding Value to Fresh and Processed Produce through Product Certification. United nation (ESCAP), diakses dari http://www.uncapsa. org/publication/WP104.pdf., pada tanggal 11 February 2012 pkl.10.00 31 http://www.thefreelibrary.com/1.+AMIDST+SLUMPING+RETAIL+BUSINESS,+FOREIGN+RETAILERS+ MUSHROOM.-a054359843, diakses pada tanggal 10 Februari 2011 Pkl 01.24 32 Taniwidjaya, Ronnie. 2005. “Modern Market Growth And The Changing Map Of The Retail Food Sector In Indonesia”, diakses dari http://www.pecc.org/resources/doc_view/386-modern-market-growth-and-thechanging-map-of-the-retail-food-sector-in-indonesia, pada tanggal 12 Februari 2012. Pkl 10.00. hal.1.

185


Kudeta Putih

Ritel asing mendapat kesempatan ekspansi lebih besar dengan dikeluarkannya Keppres No. 96/2000 tentang bidang usaha tertutup dan terbuka bagi pihak asing. Keppres tersebut merupakan revisi yang dikeluarkan Presiden Abdurrahman Wahid atas Keppres No. 99/1998 yang dikeluarkan Presiden BJ Habibie. Pada tahun yang sama pemerintah kembali mengeluarkan Keppres No. 118/2000 sebagai revisi atas Keppres No. 96/2000. Dalam regulasi tersebut terdapat revisi pada lampiran kedua, di mana usaha eceran merupakan salah satu bidang usaha yang terbuka untuk penananamn modal asing.33 Penetrasi asing dalam proses liberalisasi ritel di Indonesia ternyata tidak hanya melibatkan IMF. Bank Dunia pada tahun 1999 mengeluarkan dokumen yang dinamakan Country Assitant Strategy (CAS). CAS dikeluarkan pada 29 Maret 1999 sebagai salah satu paket bantuan Bank Dunia pasca reformasi. Salah satu poin yang diungkapkan secara eksplisit dalam dokumen tersebut adalah upaya untuk membebaskan investor asing masuk ke dalam sektor grosir dan ritel, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut: “the crisis has provided an opportunity for the Bank to move structural reforms. These have included, among others: elimination of all restrictions on foreign investment in retail and wholesale trade;�34 [krisis telah memberikan kesempatan bagi bank untuk melakukan reformasi struktural. Hal ini termasuk, antara lain: penghapusan semua pembatasan investasi asing dalam perdagangan eceran dan grosir] Bank Dunia melalui program Country Assistant Staregy (CAS) mengasumsikan perkembangan sektor ritel merupakan buffer bagi perekonomian Indonesia pasca krisis 2008.35 Sektor ritel diyakini Bank Dunia akan semakin memperkokoh stabilitas makroekonomi Indonesia yang sedang labil. Dengan demikian, keterlibatan lembaga 33 Keputusan Presiden No.118 tahun 2000 tentang Bidang/Jenis Usaha Yang Dicadangkan Untuk Usaha Kecil Dan Bidang/Jenis Usaha Yang Terbuka Untuk Usaha Menengah Atau Usaha Besar Dengan Syarat Kemitraan. 34 Bank Dunia 1999. Program Document: Indonesia Country Asistant Strategy (CAS) hal 10, diakses dari http://www.oecd.org/dataoecd/1/18/35287586.pdf, pada tanggal 13 Februari 2012, pkl. 10.00 35 Ibid.

186


Kudeta Putih

asing yang berlangsung pada awal era reformasi memberikan ruang bagi peritel asing untuk semakin berkembang hingga saat ini.

VI.4. Implikasi Liberaliasi Sektor Ritel di Indonesia VI.4.1. Menjamurnya Ritel Asing di Indonesia Memasuki periode 1990-an sejumlah peritel asing mulai beroperasi di Indonesia. Seperti peritel besar asal Jepang, Sogo Department Store, yang kemudian disusul Carrefour dari Prancis. Carrefour Indonesia memulai usaha pada Oktober 1998 dengan membuka unit pertama di kawasan Cempaka Putih, Jakarta. Pada saat yang sama, Continent, juga pasar serba ada asal Prancis, membuka gerai di Pasar Festival, Kuningan, Jakarta. Pada akhir tahun 1999, Carrefour dan Promodes (induk perusahaan Continent) bersepakat melakukan penggabungan atas semua usahanya di seluruh dunia.36 Penggabungan tersebut membentuk sebuah grup usaha ritel terbesar kedua di dunia dengan memakai nama Carrefour. Pada awal April 2008 Carrefour resmi mengambil alih 75 % saham PT Alfa Retailindo Tbk dari Sigmantara Alfindo dan Prime Horizon Pte Ltd. Total dana yang dikeluarkan Carrefour Rp 674 miliar untuk menguasai Alfa. Alfa Retailindo memiliki 29 supermarket dengan merek Alfa di seluruh Indonesia. Pada April 2010 Carrefour Group melepas 40 % sahamnya di PT Carrefour Indonesia kepada Trans Corp yang dimiliki Chairul Tanjung, senilai US$ 300 juta. Selain jenis ritel hypermarket, saat ini Carrefour juga mempunyai pusat grosir dengan nama Carrefour Express dengan total 79 gerai. Salah satu perusahaan asing yang juga sangat tertarik untuk masuk dalam pasar ritel di Indonesia adalah Lotte Group asal Korea Selatan. Setelah mengakuisisi Makro dan mendirikan Lotte Mart, kini Lotte Group memperkenalkan Lotte Department Store kepada masyarakat Indonesia. Lotte Retail Business Division telah mendirikan perusahaan bernama PT Lotte Shopping Plaza Indonesia yang akan membuka Lotte 36 “Asing di Tanah Retail Indonesia“, diakses dari http://www.wartaekonomi.co.id/berita-197860016-asing-ditanah-retail-indonesia.html, pada tanggal 3 Februari 2012 pkl.10.00

187


Kudeta Putih

Department Store pertamanya dengan lokasi di Ciputra World, Jakarta, pada 2012. Meningkatnya pertumbuhan ritel di Indonesia merupakan salah satu faktor yang mendorong dibukanya Lotte Department Store. Sebelumnya, Lotte Department Store telah dibuka di Moskow (Rusia), Beijing, Tianjin (China), dan Ho Chi Minh (Vietnam). Ekspansi bisnis di luar Korea merupakan salah satu upaya Lotte Department Store untuk masuk dalam jajaran lima department store terbesar di dunia pada tahun 2018. Lotte Department Store merupakan ritel terbesar di Korea yang berada di bawah manajemen Lotte Group, grup konglomerat kelima terbesar di Korea.37 Tabel di bawah ini menggambarkan jumlah ritel asing yang beroperasi di Indonesia: Tabel VI.3. Ritel Asing di Indonesia Tahun 2011 Merek

Jenis Ritel

Jumlah Gerai

Negara Pemilik

Merek Sebelumnya

Carrefour

Prancis

Carrefour

Hipermarket, Pusat Grosir (Carrefour Express)

79

Giant

Hong Kong

Hero (Akuisisi)

Hipermarket, Supermarket

95

 Superindo

Belgia

Gelael (Akuisisi)

Supermarket

66

Circle-K

Amerika Serikat

Circle-K (franchise)

Minimarket

94

7-Eleven

Jepang

7-Eleven

Convenience Store

7

 LotteMart

Korea Selatan

Makro (akuisisi)

Pusat Grosir

19

Matahari

Inggris

Matahari (akuisisi)

Departement Store

89

Sumber : Warta Ekonomi Edisi 20 Tahun XXII 7 Oktober-17 Oktober 2010

Dari tabel di atas dapat dilihat jumlah gerai ritel asing di Indonesia sangat banyak, baik dalam bentuk supermarket, departement store, minimarket, hypermarket, maupun pusat grosir. Dari gambaran di atas pula dapat dilihat pasar ritel di Indonesia makin marak, yang tampaknya didukung peningkatan daya beli masyarakat saat ini. Terlebih lagi dengan jumlah penduduk yang menempati peringkat keempat terbesar di dunia, 37 Ibid.

188


Kudeta Putih

Indonesia menjadi pasar potensial bagi ritel. Ritel modern mencatatkan pertumbuhan pendapatan sebesar 9 %. Selama periode Januari - Mei 2010 pendapatan ritel mencapai sekitar Rp 44,6 triliun. Pasar modern yang berupa minimarket, supermarket, dan hypermarket merupakan contoh ritel modern. Sejak tahun 2004 hingga 2008 pasar modern menjadi penggerak utama perkembangan ritel modern di Indonesia.38 Berikut ini grafik yang menggambarkan pertumbuhan tahunan ritel grosir modern di beberapa negara. Grafik V.2 Pertumbuhan Rata-Rata Tahunan Ritel Grosir Modern 2009-2014 (%) Indonesia

12,0

China

10,5

Vietnam

10,5

Filipina

7,5

Thailand

6,1

Malaysia

6,1

Taiwan Jepang

5,6 2,4

Sumber: Warta Ekonomi Edisi 20 Tahun XXII 7 Oktober-17 Oktober 2010

Grafik di atas menunjukkan pertumbuhan ritel grosir modern tertinggi ada di Indonesia, yaitu sebesar 12 %, diikuti China (10,5 %), Vietnam (10,5 %), Filipina (7,5 %), Thailand (6,1 %), Malaysia (6,1 %), Taiwan (5,6 %), dan Jepang (2,4 %). Peningkatan ritel modern tersebut juga diikuti peningkatan omzet beberapa

ritel modern baik hypermarket, minimarket, maupun supermarket. Berdasarkan laju 38 “Jinakkan Ritel Modern Yang Kian Liar� dalam Warta Ekonomi Edisi 20 Tahun XXII 7 Oktober-17 Oktober 2010, hal. 86.

189


Kudeta Putih

pertumbuhan omzet 2004 - 2008, minimarket rata-rata tumbuh sebesar 38,1 % per tahun. Berikutnya, omzet hypermarket yang mencatatkan pertumbuhan sekitar 21,5 % per tahun. Sedangkan supermarket hanya meningkat 6,2 % per tahun. Di samping itu, seperti disebutkan tabel di atas, terdapat jenis ritel convenience store. Convenience

store merupakan sejenis minimarket yang memiliki keunggulan dalam beberapa hal dibandingkan minimarket pada umumnya. Di antaranya, unggul dalam hal jam operasi yang lebih panjang. Jumlah convenience store di Indonesia diperkirakan mencapai 450 gerai dan dalam tiga tahun ke depan kemungkinan jumlahnya akan mencapai 750 toko.39 Berikut adalah grafik yang menggambarkan peningkatan omzet mimimarket, hypermarket, dan supermarket dari tahun 2004 hingga tahun 2008: Grafik V.3. Omzet Minimarket (Rp Triliun) 17,8

9,7

11,7

7 4,9

2004

2005

2006

2007

2008

Sumber: Warta Ekonomi Edisi 20 Tahun XXII 7 Oktober-17 Oktober 2010

Dari grafik di atas dapat dilihat omzet minimarket mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun. Di tahun 2004 omzet minimarket sebesar Rp 4,9 triliun. Angka ini mengalami peningkatan 36 % di tahun 2008, yaitu sebesar Rp 17,8 triliun. Peningkatan omzet minimarket yang besar ini juga disebabkan semakin banyaknya gerai minimarket di Indonesia. 39 Ibid., hal. 87

190


Kudeta Putih

Grafik V.4. Omzet Hypermarket (Rp Triliun) 23

19,3 16,5 12,9 10,6

2004

2005

2006

2007

2008

Sumber: Warta Ekonomi Edisi 20 Tahun XXII 7 Oktober-17 Oktober 2010

Omzet hypermarket mengalami peningkatan yang cukup besar walaupun tidak sebesar omzet minimarket. Pada tahun 2004 omzet hypermarket mencapai Rp 10,6 triliun dan meningkat 2,2 % pada tahun 2008, yaitu Rp 23 triliun. Grafik V.5. Omzet Supermarket (Rp Triliun) 14,55

11,45

2004

11,96

2005

12,67

2006

13,85

2007

2008

Sumber: Warta Ekonomi Edisi 20 Tahun XXII 7 Oktober-17 Oktober 2010

191


Kudeta Putih

Dari grafik di atas dapat dilihat omzet supermarket mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004 omzet supermarket mencapai Rp 11,45 triliun dan meningkat menjadi Rp 11,96 triliun pada tahun 2005. Angka ini kembali meningkat pada tahun 2006, 2007, dan tahun 2008, yaitu sebesar Rp 12,67 triliun, Rp 13,85 triliun, dan Rp 14,55 triliun.

Seperti telah disinggung sebelumnya, peningkatan yang pesat juga terjadi pada jumlah gerai minimarket. Gerai minimarket mengalami pertumbuhan sekitar 16,4 % per tahun. Pada Tahun 2008 jumlah gerai minimarket sebesar 10.289 gerai, sedangkan pada tahun 2007, 2006, dan tahun 2005 berjumlah 8.889 gerai, 7.356 gerai, dan 6.465 gerai. Indomaret menjadi minimarket yang terbanyak gerainya, yaitu 3.116 unit atau 30,3 % dari total gerai minimarket. Sedangkan, Alfamarta sebanyak 2.755 unit atau 26,8 % dari total gerai minimarket.40 VI.4.2. Implikasi terhadap Pasar Tradisional Kontribusi ritel modern terhadap pertumbuhan industri ritel Indonesia secara keseluruhan sangat besar dan sangat menguntungkan bagi konsumen. Namun, pertumbuhan ritel modern ini ternyata mendatangkan persoalan tersendiri, yaitu tersingkirnya usaha kecil ritel Indonesia yang menjadi tempat menggantungkan hidup rakyat Indonesia dalam jumlah yang tidak sedikit. Kemampuan bersaing mereka yang sangat rendah karena kemampuan kapital yang sangat terbatas, dengan manajemen yang sederhana serta perlindungan dan upaya pemberdayaan yang sangat minim, menjadikan mereka menjadi korban dari proses liberalisasi ekonomi di sektor ritel.41 Perkembangan industri ritel dalam beberapa tahun terakhir berkembang dengan sangat pesat di berbagai belahan dunia. Industri ritel berkembang seiring dengan perubahan yang juga terjadi pada masyarakat. Tingkat pendapatan masyarakat yang terus berkembang menyebabkan terjadinya segmen-segmen konsumen yang menginginkan perubahan dalam model pengelolaan industri ritel. Ritel telah berkembang menjadi industri dan tidak hanya dimonopoli oleh satu pelaku usaha 40 Ibid. 41 Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Log.Cit.

192


Kudeta Putih

di satu lokasi. Lepasnya monopoli ritel oleh negara (umumnya dalam bentuk pasar), menyebabkan persaingan menjadi sangat terbuka.42 Meluasnya persebaran ritel modern merupakan salah satu upaya memperbesar skala usaha mereka. Misalnya, dalam hal omzet minimarket, porsi terbesar dikuasai

Indomaret dan Alfamart, yang pada tahun 2008 mencatatkan omzet sekitar Rp 7.682 miliar dan Rp 7.253 miliar. Meluasnya jaringan minimarket ini jelas merupakan ancaman bagi pelaku bisnis tradisional.43 Demikian pula, masuknya peritel asing juga sangat berpotensi mematikan pasar tradisional. Pada tahun 2004 - 2006 pertumbuhan pasar tradisional minus 8,1 %. Di sisi lain, pertumbuhan pasar modern mencapai 31,4 %.44 Berdasarkan data Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tahun 2010, jumlah pasar tradisional di Indonesia mencapai 13.450 pasar, dengan jumlah pedagang sekitar 12.625.000 orang. Industri ritel memiliki kontribusi terbesar kedua terhadap GDP setelah industri pengolahan. Bahkan, dalam penyerapan tenaga kerja, industri ritel berada di posisi kedua setelah sektor pertanian. Menurut data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi tahun 2011, angkatan kerja masih didominasi tenaga kerja berpendidikan SD ke bawah. Jumlah pekerja dengan tingkat pendidikan SD ke bawah mencapai 54,2 juta orang atau 49,90 %. Kebanyakan angkatan kerja tersebut hanya dapat ditampung industri ritel, selain sektor pertanian, khususnya pasar tradisional. Namun, realita yang berkembang menunjukkan pasar tradisional kalah bersaing dengan ritel asing.45 Sebagai contoh, omzet pasar tradisional di DKI Jakarta menurun tajam hingga mencapai 60 % setelah kehadiran ritel asing, khususnya hypermarket. Kondisi yang tak jauh berbeda terjadi di kota Malang yang terkenal sebagai sentral pasar tradisional di Jawa Timur. Omzet pasar tradisional di Malang merosot hingga 30 %. Melihat kondisi ini, sebenarnya akar permasalahan industri ritel di Indonesia adalah “market power” ritel asing yang sangat kuat dan tinggi. Karena itu, terjadi ketidakseimbangan dalam bersaing antara ritel asing dan pasar tradisional. Tersingkirnya pasar tradisional selama ini disebabkan beberapa faktor. Pertama, masih buruknya infrastruktur 42 43 44 45

Ibid. “Jinakkan Ritel Modern Yang Kian Liar”, Log.Cit. “Sang Gergasi Ekspansi Lagi”, dalam TRUST, No.40 Tahun VI, 28 Juli-3 Agustus 2008, hal.33. Agus Suman, Log.Cit.

193


Kudeta Putih

kelembagaan pasar tradisional. Umumnya pengembangan pasar tradisional masih dikelola secara tradisional dan besifat asal-asalan. Berdasarkan hasil survei Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di beberapa kota, model-model pengembangan kelembagaan pasar tradisional masih dilakukan dengan pola tidak jelas, cenderung

menggunakan pendekatan birokrasi yang mengedepankan peran pemerintah di atas segalanya, sedangkan pedagang dan pasar hanya menjadi objek. Pola yang tersedia belum mendukung terjadinya pemberdayaan pasar tradisional demi membangun keunggulan bersaing berhadapan dengan ritel modern. Kedua, belum ada payung hukum berupa peraturan perundangan-undangan yang memberikan sanksi tegas dan keras terhadap pelanggar regulasi industri ritel. Ketiga, lemahnya kemauan politik pemerintah daerah. Hal itu tampak dari rendahnya dukungan serta keberpihakan pemerintah daerah dalam pembangunan fisik pasar tradisional.46 Hadirnya ritel modern juga berdampak pada omset penjualan pasar tradisional. Seperti yang terjadi di Yogyakarta, penurunan rata-rata omzet penjualan pasar tradisional sebesar -5,9 %. Penurunan lebih besar dialami kelompok pedagang dengan aset Rp 5 juta - 15 juta, Rp 15 juta - 25 juta, dan di atas Rp 25 juta, yang masingmasing mengalami penurunan sebesar -14,6 %, -11 %, dan -20,5 %. Berdasarkan wilayah, penurunan omzet tertinggi dialami pedagang di kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman, yakni - 25,5 % dan - 22,9 %. Pedagang tradisional yang paling terkena dampak adalah pedagang yang pasokan dagangannya berasal dari industri/ pabrikan dan lokasinya berdekatan dengan toko modern. Penurunan omzet pedagang barang mentah atau produk pertanian atau industri desa cenderung tidak separah kelompok di atas. Penurunan omzet pedagang pasar tradisional yang menjual produk pabrikan mencapai 34 %, produk pabrikan dan produk desa 18 %, produk impor 3 %, dan produk desa 45 %.47 Terkait dengan maraknya ritel asing, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Jawa Timur mulai melakukan antisipasi masuknya pengusaha ritel asing di sektor ritel modern dengan meningkatkan keahlian teknologi informasi (TI) dan sumber daya manusia (SDM). Upaya tersebut perlu dilakukan mengingat akan lebih 46 Ibid. 47 Awan Santosa & Puthut Indroyono, Pedagang Pasar Tradisional Terancam, dalam Harian Kedaulatan Rakyat, 10 Maret 2011

194


Kudeta Putih

banyak lagi pemain asing yang masuk ke industri ritel. Kelemahan pemain lokal dalam bisnis ritel lebih pada keahlian teknologi dan SDM. Dan ini yang harus diberbaiki agar bisa lebih berkembang dan mampu bersaing dengan pemain ritel asing. Di samping itu, pelaku usaha ritel selama ini masih terganjal oleh suku bunga pinjaman

yang tinggi, sekitar 12 % hingga 16 %. Hal itu membuat ekspansi peritel tertahan. Kondisi berbeda terjadi di Malaysia, peritel menikmati bunga 2% - 4 %. Di sisi lain, pada tahun depan, minimal ada tiga brand baru dari luar negeri yang akan masuk pasar Jawa Timur. Yaitu, Lawson dari Jepang yang akan berkolaborasi dengan PT Midi Utama Indonesia, Family Mart dari Jepang yang akan bermitra dengan PT Wings, dan Metro AG dari Jerman.48 Kehadiran ritel asing skala besar memiliki dampak sosial ekonomi yang signifikan pada ritel lokal, terutama usaha kecil tradisional. Kemampuan ritel asing skala besar dalam menawarkan berbagai barang dan jasa yang terkadang menawarkan harga yang lebih rendah memberikan dampak negatif pada sektor bisnis ritel lokal terdekat. Dalam konteks ini, bisnis ritel lokal dalam skala kecil akan dipaksa keluar dari bisnis tersebut karena kalah bersaing atau ritel lokal akan mengalami penurunan pendapatan dikarenakan konsumen mereka menurun. Hal ini biasanya terjadi ketika ritel skala besar melakukan ekspansi di suatu kota. Thailand merupakan salah satu contoh negara di mana ekspansi ritel internasional menggempur bisnis ritel tradisional. Hal ini terlihat dari penurunan jumlah ritel lokal 2 % hingga 3 % per tahun selama periode 1997 - 2001. Kedatangan ritel kelas dunia seperti Big C, Lotus (Tesco), Carrefour, dan Makro telah menyebabkan penutupan toko serba ada dan setengah dari supermarket lokal. Hanya supermarket berskala besar dan perusahaan ritel yang kuat yang mampu bertahan hidup. Antara tahun 2000 dan 2001 separuh dari department store di Thailand ditutup.49 Besarnya dampak negatif pada perusahaan ritel lokal bergantung pada berbagai faktor seperti jenis usaha yang dilakukan ritel lokal, kedekatan lokasi dari bisnis ritel yang lain, ukuran, dan daya saing lokal. Berbagai jenis bisnis ritel 48 “Aprindo Jatim Mulai Antisipasi Masuknya Peritel Asing�, diakses dari http://korannusantara.com/aprindojatim-mulai-antisipasi-masuknya-peritel-asing/ pada tanggal 10 Februari 2012 pk. 14.00 49 Shivee Ranjanee Kaliappan, dkk, “Liberalization of Retail Sector and the Economic Impact of the Entry of Foreign Hypermarkets on Local Retailers in Klang Valley, Malaysia� dalam Int. Journal of Economics and Management 2(2): 323 – 342 (2008).

195


Kudeta Putih

sedikit banyak akan dipengaruhi oleh skala outlet ritel yang ada. Bisnis ritel skala kecil yang menjual produk yang berbeda dari bisnis ritel yang berskala besar akan terpengaruh secara positif. Sedangkan bisnis ritel skala kecil yang menjual produk sejenis (terutama yang menjual bahan makanan) dengan produk ritel asing cenderung

menderita kerugian lebih karena lemahnya daya saing. Hal yang sama juga berlaku untuk faktor lokasi kedekatan antarbisnis ritel. Ritel lokal yang terletak lebih dekat dengan ritel skala besar akan terkena dampak negatif lebih besar dibandingkan dengan ritel lokal yang letaknya berjauhan dengan dengan ritel skala besar. Dampak kehadiran ritel skala besar terhadap ritel skala kecil juga dapat dilihat dari dampak kehadiran Wal-Mart di Midwestern, Amerika Serikat. Tiga tahun setelah kehadiran Wal-Mart, ditemukan hampir 52 % ritel kecil terkena dampak negatif, sedangkan 48 % ritel kecil menunjukkan tidak adanya dampak atau netral akibat kehadiran Wal-Mart.50 Dampak positif hadirnya ritel asing skala besar pada ritel lokal sebagian besar dalam bentuk pengenalan saluran ritel baru atau modern outlet, pengenalan metode pemasaran baru dan merchandising methods, serta metode manajemen informasi yang lebih canggih. Meski terdapat beberapa efek positif, pada umumnya peningkatan ekspansi ritel internasional di host countries berdampak merugikan kesejahteraan usaha kecil seperti ritel lokal. Dampak negatif tersebut pada umumnya lebih besar daripada efek positif tersebut.51 Semakin terpinggirnya pasar tradisional juga dapat disebabkan oleh perlindungan terhadap sistem nilai dan modal sosial, arah, aspek, dan model pengembangan pasar tradisional masih belum jelas dan sangat ditentukan oleh tafsir dan orientasi pemangku kebijakan daerah. Kebijakan perlindungan semestinya ditujukan untuk melindungi sistem nilai (kebersamaan dan kekeluargaan), modal sosial (budaya produksi), dan seluruh elemen pelaku pasar tradisional meliputi pedagang, pemasok, pengecer, pekerja informal, dan konsumen. Perlindungan ketiga dimensi dan elemen tersebut semestinya meliputi berbagai aspek komprehensif mencakup pembatasan (kuota) jumlah toko modern, penetapan lokasi dan jarak (zonasi), pembatasan jam buka toko modern, pembagian produk yang dijual, pengaturan perizinan, penyebaran kepemilikan toko modern, penyeimbangan hubungan antara 50 Ibid. 51 Ibid.

196


Kudeta Putih

pedagang besar, menengah, dan kecil (pembagian pangsa pasar), dan penegasan arah dan pola pembinaan pasar tradisional.52 Strategi yang harus ditempuh dalam pengembangan pasar tradisional mencakup beberapa hal, yaitu penguatan organisasi pelaku pasar untuk mengembangkan

SDM, kemitraan produsen lokal dengan koperasi pasar untuk pengembangan produk lokal, pembelian kolektif melalui koperasi pasar untuk memperbaiki harga bagi produsen dan pedagang kecil, penataan pasar dan revitalisasi kios zona depan untuk memaksimalkan fungsi tempat pasar, menggerakkan kecintaan publik sejak dini melalui berbagai promosi di media publik, serta melakukan berbagai inovasi bisnis untuk mengoptimalkan layanan kepada pelanggan. Sedangkan pada aspek pelaku, perlu upaya serius untuk mengembangkan modal material (inovasi bangunan, lay-out dan setting, dan produk yang dijual di pasar tradisional), modal intelektual (inovasi cara bisnis), pemasaran “nilai sosial� (social marketing), pencitraan (branding) pasar tradisional, dan institusional organisasi pelaku pasar tradisional. Secara khusus pengembangan koperasi pasar dapat dilakukan melalui perluasan basis keanggotaan, diversifikasi usaha, perluasan kemitraan, dan pendidikan anggota secara intensif.53 Secara khusus pemerintah daerah perlu membuat lebih banyak lagi kebijakan pembangunan ekonomi yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat pasar tradisional sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah daerah kepada publik, yakni dengan membuat regulasi yang tegas untuk melindungi pasar tradisional, dukungan perbaikan infrastruktur, serta penguatan manajemen dan modal pedagang di pasar tradisional. Sedangkan untuk pasar modern perlu dilakukan pengkajian ulang mengenai target konsumen dan komponen barang yang dijual, termasuk mengenai harga. Secara yuridis, ada upaya yang dilakukan pemerintah untuk menyelamatkan pasar tradisional, misalnya menerbitkan Peraturan Presiden No. 112/2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern pada 27 Desember 2007. Menindaklanjuti hal ini, pemerintah provinsi perlu membuat atau mengesahkan peraturan daerah perlindungan pasar tradisional sehingga bisa ditindaklanjuti pemerintah kabupaten/kota untuk melahirkan peraturan daerah yang 52 Awan Santosa & Puthut Indroyono, Log.Cit. 53 Ibid.

197


Kudeta Putih

lebih implementatif dan protektif terhadap pasar tradisional. Di samping itu, peraturan daerah di tingkat kabupaten/kota harus berani mengatur pembatasan pembangunan pasar modern.54

54 “Hancurnya Hak Sosial-Ekonomi Pedagang Tradisional�, diakses dari http://www.harianbhirawa.co.id/ opini/42204-hancurnya-hak-sosial-ekonomi-pedagang-tradisional pada tanggal 5 Februari 2012 pkl. 11.00

198


BAB VII Kesimpulan

Salah satu tantangan besar dalam era transisi demokrasi di Indonesia saat ini adalah bagaimana mempertahankan kedaulatan ekonomi di tengah berkembangnya

keterbukaan global dan liberalisasi ekonomi. Demokratisasi yang bergulir di Indonesia sejak tahun 1998, meskipun di satu sisi membawa angin kebebasan bagi bangsa Indonesia, di sisi lain menyimpan sebuah bahaya besar, yakni dimulainya era kompetisi bebas untuk menguasai sumber-sumber daya yang ada. Dengan demikian, era demokrasi dan keterbukaan ini berpotensi merugikan Indonesia ketika kesadaran kita akan pentingnya kedaulatan ekonomi hilang. Ketika memasuki era reformasi, perubahan kelembagaan dilakukan secara masif mulai dari kelembagaan politik, ekonomi, social, budaya, dan juga pertahanan dan keamanan. Perubahan kelembagaan ini sayangnya ditunggangi beraneka ragam kepentingan, tak terkecuali kepentingan asing yang memang telah lama memiliki “jalur’ dalam ekonomi Indonesia, khususnya dalam pembuatan kebijakan. Di antara pemain

199


Kudeta Putih

penting yang bermain adalah aktor internasional. Aktor internasional terutama masuk melalui interaksi Indonesia dengan IMF menyusul krisis finansial 1997-1998. Masuknya aktor-aktor internasional memang bukan fenomena baru dalam peta ekonomi politik Indonesia. Kemunculan aktor internasional dan pengaruhnya

yang besar memang sudah terasa sejak era Orde Baru. Namun, era reformasi membuka peluang lebih besar bagi kemunculan aktor internasional ini. Hal ini dimungkinkan karena rasa percaya diri bangsa, termasuk kalangan elite, sedang berada di bawah titik nadir, dan secara finansial pemerintahan Soeharto di akhir kekuasaannya berada dalam ketergantungan dana yang kronis untuk melanjutkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Apa yang diinginkan asing di Indonesia dan bagaimana memperoleh itu? Penelitian ini memperlihatkan Indonesia adalah negara besar dengan potensi sumber daya alam dan pasar konsumsi yang besar. Karena itu, target utama asing di Indonesia adalah sumber daya alam dan pasar ini. Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa strategi dominan dalam mencapai kepentingan asing ini adalah dengan terlibat dalam desain aturan-aturan hukum terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan pasar domestik. Strategi ini telah cukup lama dimainkan asing di Indonesia. Tercatat sejak zaman Orde Lama upaya ini telah dilakukan yang diperlihatkan dengan masuknya PT Freeport ke Indonesia sejak akhir masa Orde Lama. Kemunculan asing menguat di era Orde Baru dengan terciptanya sejumlah langkah liberalisasi dan aturan bagi investasi asing di sektor sumber daya alam. Memasuki era reformasi pasca krisis keuangan Asia 1997 - 1998, penguasaan asing atas aturan main pengelolaan sumber daya di Indonesia semakin menguat. Penguatan ini terutama terjadi akibat sejumlah reformasi struktural yang dilakukan Indonesia atas permintaan IMF. Sebagaimana diuraikan dalam Bab I, sebagai prasyarat bagi dikucurkannya pinjaman struktural, IMF meminta Indonesia melakukan sejumlah perubahan “institusional sistemik� mulai dari sektor keuangan, investasi, hingga retail dan dari pertambangan hingga pertanian. Perubahan institusional ini memiliki kemiripan antara satu bidang dengan bidang lainnya, yakni liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi. Dalam sektor keuangan, misalnya, IMF meminta pemerintah Indonesia segera merestrukturisasi bank-bank yang bermasalah melalui penjualan aset-asetnya kepada pihak asing sebagai upaya untuk memperbaiki manajemen. Asumsinya adalah dengan keterlibatan bank internasional akan membuat nilai jual bank bagi investor lainnya akan meningkat.

200


Kudeta Putih

Bank-bank BUMN juga dipaksa untuk diprivatisasi sebagai langkah perbaikan manajemen. Namun, dalam kondisi kritis di mana pemerintah sangat membutuhkan uang, penjualan aset-aset ini dianggap sangat menguntungkan pembeli yang terutama dari pihak asing. Sebaliknya negara sangat dirugikan. Ini terutama dikarenakan nilai jual aset yang turun drastis. Namun, implikasi jangka panjang tentu saja adalah mulai masuk dan dominannya bank asing di Indonesia. Hal yang sama juga terjadi di sektor-sektor lain. Salah satu upaya asing mencoba eksis di Indonesia adalah dengan mendorong adanya undang-undang persaingan usaha. Ini ditujukan untuk melindungi mereka dari potensi kecurangan pemain domestik yang berkolusi dengan pemerintah. Upaya penciptaan undang-undang persaingan usaha ini didesakkan kepada pemerintah Indonesia melalui sejumlah Letter of Intent yang disepakati antara Indonsia dan IMF. Dengan adanya undang-undang persaingan usaha ini, pemainpemain baru mendapat jaminan bahwa pemain lama dengan kapasitas dan jaringan politik yang sudah mapan tidak akan melakukan monopoli atas suatu sektor usaha tertentu di Indonesia.

Lebih jauh, penelitian ini juga memperlihatkan keterlibatan mendalam lembaga keuangan multilateral lainnya seperti Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB) sebagai sumber dana dan sekaligus desainer kebijakan ekonomi dan reformasi struktural di Indonesia. Dengan rekomendasi dan pengawasan kebijakan dari lembaga-lembaga ini, pemerintah Indonesia membuat serangkaian kebijakan yang lebih menekankan peran swasta sebagai penggerak utama perekonomian. Lebih dari itu, peran swasta yang didukung adalah peran swasta asing karena mereka dianggap memiliki kapasitas manajemen, teknologi, dan sumber modal yang kuat yang diharapkan dapat menjadi katalisator pembangunan industri dalam negeri pasca krisis. Karenanya kemudian, lembaga-lembaga keuangan internasional meminta pemerintah membuat sejumlah kebijakan yang mengakomodasi kepentingan ini. Liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi memang merupakan pintu masuk penting bagi keterlibatan asing dalam perekonomian sebuah negara, tidak terkecuali Indonesia. Dengan liberalisasi, aktor internasional mendapat legitimasi dan peluang

besar untuk hadir dan berinvestasi memanfaatkan peluang ekonomi yang tersedia. Liberalisasi yang berarti pembukaan ranah baru dari yang semula tertutup bagi asing (reduced negative list) memberikan asing kesempatan berkompetisi dengan pemain

201


Kudeta Putih

lokal yang sudah ada. Namun, karena aktor internasional ini memiliki kapasitas industrial dan manajemen, teknologi, modal, dan akses pasar internasional yang luas, jelas kompetisi akan dengan mudah mereka menangI. Kebijakan liberalisasi yang tidak prudent yang diadopsi pemerintah justru membehayakan kepentingan

nasional. Hal yang sama juga berlaku bagi keputusan deregulasi. Deregulasi yang tidak selektif dan imprudent menciptakan fleksibilitas ruang gerak bagi aktor internasional dengan kapital yang besar untuk bermain dan memanfaatkan keuntungan yang ada. Deregulasi juga memperlemah kontrol negara atas bisnis aktor-aktor internasional yang sampai tahap tertentu bisa menciptakan krisis. Krisis keuangan subprime mortgage di Amerika Serikat yang terjadi tahun 2008 memberi kita pelajaran penting betapa berbahaya deregulasi karena pasar tidak memiliki mekanisme kontrol atas kerakusan dan kelicikan manusia dalam mengakumulasi keuntungan. Terakhir, privatisasi yang berarti beralihnya kontrol atas pasar dan manajemen ke pihak asing telah memungkinkan asing untuk menikmati keuntungan dari pasar yang sudah mapan. Dengan privatisasi, investor asing tidak perlu bersusah payah memulai bisnis dari nol dan ini berarti penghematan bagi upaya bisnis mereka. Singkatnya semua kebijakan ini (trilogi Washington Consensus) didesakkan untuk memperlemah peran negara dan memperkuat peran aktor internasional dalam negeri. Pintu kedua untuk masuknya kepentingan asing yang luas di Indonesia adalah melalui penciptaan aturan main formal yakni undang-undang yang mengatur kegiatan bisnis di berbagai sektor. Aturan main formal berupa undang-undang ini dianggap penting karena memberikan basis legal institusional yang dapat menjamin kepastian usaha mereka. Undang-undang juga dapat menciptakan stabilitas bagi ekspektasi bisnis yang memungkinkan mereka memiliki posisi hukum yang lebih kuat dalam hal ketika terjadi dispute dengan pemain lokal atau pemerintah. Dengan kata lain, undang-undang dapat melindungi mereka dari ancaman tuntutan hukum jika suatu saat ada pergantian rezim. Karenanya, keterlibatan mereka dalam desain aturan main ini menjadi sangat penting. Keterlibatan mereka dalam aturan main ini difasilitasi lembaga-lembaga keuangan internasional yang dianggap lebih legitimate karena kemampuan struktural yang mereka miliki (terutama dalam ranah finansial dan pengetahuan). Di samping itu, keterlibatan pemain bisnis asing ini juga difasilitasi negara-negara mereka. Penelitian ini memperlihatkan betapa keterlibatan pemain asing tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan negara-negara maju seperti Amerika 202


Kudeta Putih

Serikat, Jepang, dan Uni Eropa. Negara-negara ini terlibat melalui berbagai agensi, baik yang bersifat formal maupun informal. Lembaga swadaya masyarakat dan tim pelobi (lobbyist) merupakan dua agensi yang memainkan peranan penting dalam mempengaruhi aturan main dalam regulasi bisnis di Indonesia. Di antara kebijakan yang sangat jelas keberpihakannya pada kepentingan asing adalah undang-undang investasi. Seperti dijelaskan dalam Bab 2, UU Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007, misalnya, sarat dengan keberpihakan pada asing. Ditinjau dari tingkat ke-liberal-annya, UU PMA ini bahkan jauh lebih liberal daripada aturan WTO sendiri. Beberapa aturan main yang digariskan dalam undang-undang tersebut antara lain: diizinkannya asing untuk memiliki saham mayoritas dalam penguasaan sektor strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak; diberikannya berbagai macam hak istimewa kepada pihak asing melalui perjanjian dengan negara; diperbolehkannya asing untuk memiliki hak penguasaan atas tanah dalam jangka waktu yang lebih panjang; diberikan kemudahan melakukan repartiasi dan kebebasan mentransfer keuntungan; dan dibebebaskannya bea masuk impor barang modal. Aturan-aturan ini jelas bertentangan dengan UUD 1945 yang menegaskan penguasaan negara atas sumber-sumber daya yang menguasai hajat hidup orang banyak untuk kemakmuran bersama. Meskipun undang-undang ini telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi, hasilnya tetap sama secara substantif. Dengan kata lain, Mahkamah Konstitusi pun tak berdaya menganulir undang-undang tersebut meskipun secara kasatmata terlihat pelanggarannya atas UUD 1945. Menguatnya dominasi asing atas penguasaan ekonomi Indonesia tentu tidak terjadi dalam ruang hampa dan bersifat unilateral. Dinamika hubungan kolusif antara asing dan agensi-agensi politik dalam negeri memainkan peran paling signifikan dalam hal ini. Artinya, penguasaan asing yang dominan tidak akan terjadi jika pemerintah yang dalam hal ini pihak eksekutif dan pihak legislatif sebagai dua organ penting pembuatan undang-undang tidak bermain mata dengan investor asing dan juga negara asing serta lembaga-lembaga internasional. Di samping masifnya mental transaksional dan lemahnya kapasitas institusional negara di tengah cepatnya gerak dinamika demokratisasi dan gelombang liberalisasi, secara spesifik ketiadaan industrial policy dan konsep sistem ekonomi yang jelas juga memberikan kontribusi penting bagi kegagalan Indonesia dalam menahan dominasi 203


Kudeta Putih

asing. Lebih jauh, kuatnya mindset liberal di kalangan para pengambil keputusan dan epistemic community juga memainkan peranan penting. Ketiadaan industrial policy dan strategi ekonomi yang jelas yang dapat dijadikan acuan dalam membuat kerja sama internasional merupakan hal yang sangat penting. Industrial policy mutlak dipunyai

setiap negara sebagai bagian dari strategi pembangunan ekonomi nasional. Industrial policy biasanya diturunkan dari aturan-aturan konstitusional yang kita adopsi, dalam hal ini adalah UUD 1945. Namun sayangnya, inilah yang justru tidak dipunyai Indonesia. Akibatnya, setiap terms kerja sama internasional diterima apa adanya dan anehnya Indonesia tidak pernah merasa diintervensi ketika aturan-aturan liberal kita adopsi. Ketiadaan acuan dalam desain kebijakan ekonomi juga diperparah oleh menguatnya mindset liberal di kalangan para pengambil kebijakan dan akademisi. Peranan akademisi semakin penting karena mereka aktor utama dalam public discourse menyangkut kebijakan-kebijakan yang akan dan telah diambil. Mereka memainkan peran penting karena memiliki legitimasi intelektual dan otoritas keilmuwan untuk membela ataupun menolak kebijakan yang sedang diperdebatkan. Mereka juga pembentuk opini publik dengan kepercayaan yang diberikan publik atas kapasitas keilmuwan mereka. Karena itu, terlepas dari ada atau tidaknya kepentingan material dan jangka pendek akademisi atau pengambil keputusan, dominannya gagasan liberal di kalangan mereka memang menimbulkan masalah besar. Hal ini dikarenakan kondisi objektif Indonesia belum siap menerima model ekonomi ini. Dan ketika pandangan ini tetap direalisasikan menjadi kebijakan, maka akan membahayakan kepentingan nasional, dalam pengertian rakyat Indonesia. Untuk mengatasi persoalan ini diperlukan sejumlah perubahan penting. Perubahan pertama, tentu saja perubahan pada mindset itu sendiri. Para pengambil keputusan dan para akademisi dan praktisi yang tergabung dalam lingkaran epistemic community perlu mengadopsi mindset nasionalistic yang lebih berorientasi pada kepentingan nasional. Ini penting terutama untuk menciptakan kemandirian nasional. Banyak negara yang sudah memulai ini. Bahkan, negara maju dan liberal seperti Amerika Serikat pun sudah mulai mengadopsi pendekatan nasionalitik dan mulai berhati-berhati dalam mengadopsi pendekatan pasar. Kedua, perlu grand strategy industri nasional yang berbasis konstitusi, yakni UUD 1945. Tugas penting pemerintah ke depan adalah perlu merumuskan secara bersama-sama grand strategy

204


Kudeta Putih

industri seperti apa yang layak dan konsisten dengan nilai-nilai UUD 1945. Dengan adanya strategi industri nasional yang jelas, partisipasi kita dalam perjanjian-perjanjian internasional akan memiliki acuan yang jelas pula. Karenanya, kita akan tahu apakah harus menerima kesepakatan tertentu atau tidak. Kita pun akan memiliki alasan yang kuat untuk menolak suatu kesepakatan internasional yang dianggap merugikan kepentingan nasional.

Dalam jangka pendek, sejumlah kebijakan pun perlu dibuat, di antaranya mulai memperbaiki aturan-aturan yang telah dibuat. Berbagai aturan yang tidak sesuai dengan konstitusi perlu diganti dan pemerintah harus berani melakukan ini. Paling tidak Mahkamah Konstitusi dapat menjadi legitimator bagi perubahan aturanaturan ini, karena ia memiliki kapasitas keilmuwan yang bisa melihat konsistensi aturan ini dengan UUD 1945. Namun, kebijakan ini membutuhkan keberanian ekstra pemerintah karena ia harus berhadapan dengan kepentingan dari kekuatan yang sangat besar, yakni kapital internasional yang terdiri atas korporasi besar dengan backing negara-negara maju yang kuat seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa. Ia juga mendapat dukungan kuat dari lembaga-lembaga internasional yang Indonesia masih bergantung dalam banyak hal darinya. Namun, perubahan ini harus segera dimulai untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik. Seluruh komponen bangsa mestinya melihat betapa serius implikasi ketergantungan atau dependensi terhadap bantuan asing yang membuat agendaagenda asing dengan mudah diloloskan dalam aneka kebijakan ekonomi nasional, tak terkecuali undang-undang dan peraturan pemerintah di berbagai level. Tanpa kesungguhan untuk menginsyafi pentingnya kemandirian ekonomi bangsa, semua modus “kudeta putih� itu akan terus berjalan dari waktu ke waktu. Kepentingan asing tidak perlu melakukan kekerasan berdarah untuk menjajah bangsa ini seperti di masa silam. Cukuplah mereka mengambil kendali kebijakan ekonomi, yang melaluinya pelembagaan kepentingan mereka dapat terus berlangsung dengan sukses dan “konstitusional�.

205



Daftar Pustaka

Buku Andersen Per Pinstrup, et.all, World Food Prospect: Critical Issues for the Early TwentyFirst Century, Food Policy Report,Washington DC, International Food Policy Research Institute, 1999. Arumsari, Mutiara, Dinamika Hubungan Negara-Multinational Corporation (MNC): Studi Kasus Konflik Indonesia-Karaha Bodas Company (KBC) dalam Proyek

Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Karaha Bodas (1998-2007), Depok: Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP UI, 2008.

Bee Ooi Jin, The Petroleum Resources of Indonesia, Oxford: Oxford University Press, 1982. Black, John, Oxford Dictionary of Economics, New York: Oxford University Press, 1997.

207


Dunkley, Graham, Free Trade Adventure: GATT, WTO, Uruguay Round, A Critique, New York: Zed Books, 2000. Easterly, William, “IMF and World Bank Structural Adjustment Programs and Poverty” dalam Michael P. Dooley and Jeffrey A. Frankel (eds), Managing Currency Crises in Emerging Markets, Chicago: University of Chicago Press, 2003. Gallarotti, Giulio M. “Public Choice Theory” dalam R.J. Barry Jones (eds), Routledge Encyclopedia of International Political Economy, Vol.3, London and New York: Routledge, 2001.

Girling, John, Corruption, Capitalism and Democracy, New York and London: Routledge, 1997. Goldstein, Harvey, “Doing Businessin Indonesia,”dalam Richard Mann (ed.),United States Investment in Indonesia, Toronto: Gateway Books, 1994. Hadi, Syamsul, dkk. Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF, Granit : Jakarta, 2004. ________________. Politik Privatisasi di Indonesia. Marjin Kiri : Jakarta, 2007. Hamid, Edy Suandi, Sistem Ekonomi Utang Luar Negeri dan Isu-isu Ekonomi Politik Indonesia, UII Press: Yogyakarta, 2004. Hadiz, Vedi R., Reorganizing Power in Indonesia: the Politics of Oligarchy in an Age of Market, London & Newtork: Routledge, 2004. Hanindan, Lutfiyah, NugrohoYanuar, GATS: LiberalisasiKehidupan, Jakarta:The Institute for Global Justice, Mei 2008. Harinowo, Cyrillus, “Program IMF dan Pemulihan Ekonomi Indonesia.”, dalam Ramadhan Pohan (ed.), Menjaga Jembatan Jakarta-Washington Dubes Dorodjatun Kuntjoro-Jakti 1998-2001, Washington DC, 2001, hal. 101. Hill, Hal, Ekonomi Indonesia: EdisiKedua, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001. Kuncoro, Mudrajad. dkk., Transformasi Pertamina: Dilema Antara Orientasi Bisnis dan Pelayanan Publik, Yogjakarta: Galangpress, 2009. Konasih, Herjuno,N, Isu Perdagangan dalam bantuan Pangan Internasional: Studi terhadap Bantuan Pangan Komoditas Beras Amerika Serikat ke Indonesia 1998-2003, Depok, Dept. Ilmu HI, FISIP-UI: Juli 2006. 208


Maswood,JAved “International Debt Crisis” dalam International Political Economy and Globalization, Singapore: World Scientific Publishing, 2000. Mahfud MD, Mohammad, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, Pustaka LP3ES Indonesia, 2006. Mursitama, Tirta N. dan Yudono, R. Maisa, Strategi Tiga Naga: Ekonomi Politik Industri Minyak Cina di Indonesia, Depok: Buku Kepik Ungu. North, Douglass C, Institutions, Institutional Change and Economic performance, Cambridge, Cambridge University Press, 1990. Payne, Anthony, The Global Politics of Unequal Development, Palgrave, New York. 2005. Richard Robison dan Vedi R. Hadiz, “Oligarchy and Capitalism: The Case of Indonesia” dalam Luigi Tomba (ed.), East Asian Capitalism: Conflict, Growth and Crisis, Milan: Fondazione Giangicomo Feltrinelli Milano, 2002. Robison, Richard, Indonesia: The Rise of Capital, Singapore: Equinox Publishing, 2009. Reus-Smit, Christian, American Power and World Order, Boston, Mass: Polity Press, 2004. Rittberger Polker, dan Zangl Bernard, International Organization, New York: Palgrave MacMillan. 2006. Stiglitz, Joseph E., Kegagalan Globalisasi dan Lembaga-lembaga Keuangan Internasional, PT. Ina Publikatama, Jakarta, 2012. Soros, George, The New Paradigm for Financial Markets: The Credit Crisis of 2008 and What It Means. New York: Public Affairs, 2008. Strange, Susan, States and Markets, London: Pinter Publishers, 1995. Syeirazi, M. Kholid, Di Bawah Bendera Asing: Liberalisasi Industri Migas di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2009. Tischler, Henry L, Introduction to Sociology, 10th ed, California: Wadsworth, 2011. Wibisono, I dkk, Menuju Akuntabilitas Bisnis. Jakarta : Business Watch Indonesia, 2004. Wilson, Tim, Innovating Indonesian Investment Regulation: The need for further reform, Institute of Public Affairs, Australia, Mei 2011. Woo, M. Jung-En, Neoliberalism and Institutional Reform in East Asia: A Comparative Study, New York: Palgrave Macmillan, 2007.

209


Jurnal Boughton, James M., “Globalization and the Silent Revolution of the 1980s”, Finance and Development, Vol. 39, No. 1, Maret 2002. Daeng, Salamuddin, “Krisis Utang AS: Sebuah Pelajaran Tentang Privatisasi JaminanSosial”, Free Trade Watch, Edisi Oktober 2011. Ferraz Claudio dan Finan Frederico, “Electoral Accountability and Corruption: Evidence from the Audits of Local Governments”, NBER Working Paper No. 14937, 2007. Inggrid, “Sektor Keuangan dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia: Pendekatan Kausalitas dalam Multivariate Vector Error Correction Model (VECM)”, Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol. 8, No. 1, Maret 2006. “Jaminan Sosial, Nasib Buruh dan Kegagalan Rezim SBY”, Free Trade Watch, Edisi II Juli 2011. “Kritik Terhadap UU Sistem Jaminan Sosial Nasional”, Free Trade Watch, Edisi Khusus-Agustus 2010. McIntyre Andrew, “Institutions and Investors: The Politics of the Economic Crisis in Southeast Asia”, International Organization, Vol. 55, No. 1, (Winter, 2001). Mohtadi, H, and Roe, T. L. Democracy, “Rent Seeking, Public Spending and Growth”,Journal of Public Economics.Vol.87(3-4): 445-466, 2003. Mustaqim, Andika H, “Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Solusi Sistem Ekonomi Nasional” Perspektif, Vol VIII, No.I, Maret 2010. Pandin, Marina L, “Potret Bisnis Ritel di Indonesia: Pasar Modern”, Economic Review, No. 215, Maret 2009. Partowidagdo, Widjajono, “Akselerasi Tata Kelola Migas”, Jurnal Energi, Edisi Delapan, November-Februari 2012. Pramono, Nindyo, “Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi Dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan dan Pelaksanaan”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Vol 8, No 3, September 2010. Rachbini, Didiek J.,“Tanggung Jawab Bank Dunia”.Agrimedia ,Vol, 7, No, 1, 2001

210


“Rezim Internasional Sektor Keuangan dan Dominasi Modal Asing”, Free Trade Watch Edisi III- Oktober 2011. Ruggie John Gerard, “International Regimes, Transactions, and Change: Embedded Liberalism in the Postwar Economic Order”, International Organization, Vol. 36, No. 2, International Regimes, 1982. Salim, Agus, “Pengusahaan Migas di Indonesia dalam Perspektif Kedaulatan Negara atas Sumber Daya Alam (SDA)”, Jurnal Energi, Edisi Delapan, November 2011-Februari 2012. Setiawan, Bonnie, “Penegasan tentang Investasi Kolonial”, Global Justice Update, Tahun 6, 1 Mei 2008. Sitompul, Zulkarnain, “World Trade Organization, International Monetary Fund Dan Perubahan Sistem Perbankan”, Pro Justitia, Tahun XVI, No 4, Oktober 1998. Stiglitz, Joseph, “Democratizing the International Monetary Fund and the World Bank: “Governance and Accountability”, Governance: an International Journal of Policy, administration and Institutions, Vol. 16, No. 1, January 2003. Strange, Susan, ‘What is Economic Power and Who has it?’, International Journal, Vol. 30, No. 2, Spring1975.

Koran dan Majalah Andrianto, Jati, Wendy S. Hutahean, Irwansyah, Isno Usnodo, dan Fekum Ariesbowo, “Bola Panas: Revisi UU Migas No. 22 Tahun 2001”, Warta Ekonomi, Edisi 20 Tahun XXI, 12 Oktober-18 Oktober 2009. “Aprindo Jatim Mulai Antisipasi Masuknya Peritel Asing”, Koran Nusantara. diakses darihttp://korannusantara.com/aprindo-jatim-mulai-antisipasi-masuknyaperitel-asing. Ariesbowo, Fekum W, ”PT. Pertamina: Kuda Laut Menuju Kelas Dunia”, dalam Warta Ekonomi, Edisi 20 Tahun XXI, 12 Oktober-18 Oktober 2009.

“Asing di Tanah Retail Indonesia“, diakses dari http://www.wartaekonomi.co.id/berita197860016-asing-di-tanah-retail-indonesia.html.

211


“Aturan Ritel Asing Diperketat”, Koran Jakarta, Edisi 21 Desember 2011. Bukhari, “Blok West Madura Offshore (WMO): Berselisih? Kembalilah ke UUD 1945”, dalam Geo Energi, Tahun II Edisi 14, September 2011, hal. 62. “Bom Waktu OJK”, Majalah Manajemen Resiko Stabilitas Perbankan No. 66,Th.VI, Desember 2011 “Bank Milik Asing Selamat Datang Kembali”, dalam Infobank, No. 366, Vol. XXXI, September 2009. Cahyadi, Firdaus, “Utang Ekologis ADB di Indonesia”, Koran Tempo Edisi 2 Mei 2009 “Carrefour”, Tani Merdeka, 10 September – 17 Oktober 2008. “Gara-gara 99% Saham Itu”, inilah REVIEW17, Tahun I 19-25 Desember 2011. “Hancurnya Hak Sosial-Ekonomi Pedagang Tradisional”, diakses dari http://www. harianbhirawa.co.id/opini/42204-hancurnya-hak-sosial-ekonomi-pedagangtradisional. “Hanya 18 Pembangkit Listrik Swasta yang Sukses”, diakses dari http://www. kompas.com/lipsus052009/antasariread/2009/11/16/13143045/Hanya.18. Pembangkit.Listrik.Swasta.yang.Sukses. Harahap Ridwan, “Hasrat Merevisi UU Migas yang Tidak Tegas”, Geo Energi, Edisi 14, Tahun II, September 2011, hal. 21. Hermana, Budi, “Menyoal KepemilikanAsing di Perbankan Nasional”, diakses dari http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2011/05/30/menyoal-kepemilikanasing-di-perbankan-nasional/ Hermawan, Hardy R., “Pasar Minyak yang Kian Tanpa Minyak”, Trust, No. 40 Tahun VI, 28 Juli-3 Agustus 2008. Herlina KD, “Teken AANZFTA, Indonesia harus tingkatkan daya saing”, Kontan, 25 Oktober 2011,dalamhttp://nasional.kontan.co.id/news/teken-aanzftaindonesia-harus-tingkatkan-daya-saing-1/2011/10/25 “IMF Gembira BI Bentuk Dewan Pakar Internasional”, diakses dari http://www. tempointeractive.com/hg/ekbis/2001/05/24/brk,20010524-12,id.html. “IMF Percepat Pembahasan RUU OJK”, diakses dari http://www.pelita.or.id/baca. php?id=15075 pada tanggal 10 Januari 2012 212


“Jinakkan Ritel Modern Yang Kian Liar” Warta Ekonomi Edisi 20 Tahun XXII 7 Oktober-17 Oktober 2010. “Kepemilikan Bank: Asing, ASENG atau ASEP, Bagaimanakah Konsep API Yang Baru? Infobank, No.366, Vol. XXXI, September 2009. “Malaysia yang Kian Merajalela”, Warta Ekonomi Edisi 20, Th.XXI, 12 Oktober-18 Oktober 2009, hal. 20 “Membidik yang Paling Rendah”, Warta Ekonomi Edisi 20, Tahun XXI 12 Oktober-18 Oktober 2009 “Mafia Tambang Global Kuasai Investasi di RI”, Koran Jakarta, diakses dari http:// koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/71680 “Memainkan Pasal Jadi”, Gatra, No. 3, Tahun XVIII, 24-30 November 2011. “Menghitung Langkah Para Trader Minyak”, Trust, No. 40 Tahun VI, 28 Juli-3 Agustus 2008. “Menunggu Independensi Bank Indonesia”, diakses dari http://www.lampungpost. com/opini/10458-menunggu-independensi-bank-indonesia-habis.html. Nasution, Anwar, Masalah-Masalah Sistem Keuangan Dan Perbankan Indonesia, diakses dari “Bank Milik Asing Selamat Datang Kembali”, Infobank, No.366, Vol. XXXI. 2012. “Pemerintah-IMF Sepakat BI Independen”, diakses dari http://berita.liputan6.com/ read/6006/pemerintah-imf-sepakat-bi-independen “Pencabutan Instruksi Gubernur Jakarta Dipertanyakan”, diakses dari http:// faktapos.com/nusantara/16294/pencabutan-instruksi-gubernur-jakartadipertanyakan.. “Perusahaan Asing Mengancam Kedaulatan Indonesia?” diakses dari http:// bisniskeuangan.kompas.com. “Regulasi Perbankan, Pedang Bermata DuaBernama Basel III”, Warta Ekonomi Edisi 20 Th. XXII, 7 Oktober-17 Oktober 2010. “RUU OJK Harus Segera Diajukan Ke DPR”, Suara Karya, 18 Juni 2003 “Sang Gergasi Ekspansi Lagi”, TRUST, No.40 Tahun VI, 28 Juli-3 Agustus 2008. Santosa, Awan & Indroyono, Puthut,“Pedagang Pasar Tradisional Terancam”, Harian Kedaulatan Rakyat, 10 Maret 2011. 213


Suman, Agus, “Ritel Asing v PasarTradisional”, Jawa Pos 16 Desember 2011. “Sulit Batasi Kepemilikan Asing di Bank”, Kompas Nasional, diakses dari http:// nasional.kompas.com/read/2010/05/04/13071180/sulit.batasi.kepemilikan. asing.di.bank Taliwang Hatta dan Daeng Salamuddin, dkk, Ibid, hlm. 18 dari “BP Indonesia Tak Jamin Untuk Pasokan Domestik”, Suara Karya, 13 Desember 2006, diakses dari http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=162211 “Waralaba Belum Sesuai Jalur”, dalam Jurnal Nasional.6 Oktober 2011.

Makalah Seminar dan Laporan Penelitian Bouet, Antoine, Jean Christophe Bureau, Yvan Decreux dan Sabastien Jean, “Multilateral Agricultural Trade Liberalization: The Contrasting Fortunes of Developing Countries in the Doha Round.” Makalah Centre D’Studies Prospectives et D’Information Internationale, November 2004, diakses dari http://www.cepii.fr/ anglaisgraph/workpap/pdf/2004/wp04-18.pdf. Fatnilativia,Dzihnia “Kepentingan Jepang dalam Kesepakatan Kemitraan Ekonomi (Economic Partnership Agreement) dengan Indonesia Tahun 2007”, Skripsi, Depok, Desember 2008. Honma, Masayoshi, “Agricultura Trade Liberalization and Domestic Policy Reform in Japan.”, makalah yang dipresentasikan dalam APEC Study Centre Consortium Conference 1999: “Towards APEC’s Second Decade: Challenges, Opportunities and Priorities”, Auckland: 31 Mei- 2 juni 1999. Kim, Yun-Hwan “Financial Opening Under The WTO Agreement In Selected Asian Countries: Progress And Issues”, ERD Working Paper No. 24, ADB, September 2002. Komisi Pengawas Persaingan Usaha, “Position Paper Rancangan Peraturan Presiden Tentang Penataan Dan Pembinaan Usaha Pasar Modern Dan Usaha Toko Modern”, diakses dari http://www.kppu.go.id/docs/Positioning_Paper/ritel. pdf. 2007.

214


Kono Masamichi dan Schuknecht Ludger, “Financial Services Trade, Capital Flows, and Financial Stability”, dalamStaff Working Paper ERAD-98-12, World Trade Organization, Economic Research and Analysis Division, Geneva. November, 1998. Kurtz, Jürgen, “A General Investment Agreement in the WTO? Lessons from Chapter 11 of NAFTA and the OECD Multilateral Agreement on Investment”, Jean Monnet Working Paper 6/02, New York: University School of Law. Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi RI 2008, Menegakkan Kembali Keadilan Substantif, Maret 2009

Memoire, Aide, “Indonesia: Program Investasi Kehutanan (FIP)”, Misi Gabungan Pertama, 13–22 Juli 2011. diakses dari: http://www.dephut.go.id/files/ FIP%20Aide%20Memoire%20%20Bahasa%20Indonesia.pdf. Menon, Jayant, “Regional Efforts to Create an Attractive Investment Climate”, dalam makalah yang disampaikan dalam Creating an Attractive Investment Climate in Southeast Asia 2nd OECD-.Southeast Asia Regional Forum, “Enhancing Competitiveness through Regional Integration”, BangkokThailand, 27-28 April 2009. Napitupulu, Togar A., Natawidjaja, Ronnie S. & Josefina M. Lantican. 2009. “Value to Freshand Processed Produce through Product Certification”. United Nation (ESCAP), http://www.uncapsa.org/publication/WP104.pdf., Oktaviani Rina, Eka Puspitawati, dan Haryadi, “Impacts of ASEAN Agricultural Trade Liberalization on ASEAN-6 Economies and Income Distribution in Indonesia.”, makalah disampaikan dalam Asia Pacific Research and Training Networks on Trade Working Paper Series No. 51 Januari 2008 Otsuka, Misuzu, dkk., “Improving Indonesia’s Investment Climate”, OECD Investment Insights, Februari 2011. Rogoff et al., “Effects of Financial Globalization on Developing Countries: Some Empirical Evidence”, IMF Occassional Paper, No. 220, September 2003. Serikat Petani Indonesia (SPI), “RUU Pertanahan: Strategi Percepatan Pasar Tanah Studi Kasus atas Bantuan Teknis Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam Pengembangan Kerangka Hukum dan Administratif Proyek Pertanahan Di Indonesia, Juli 2009. 215


Suryadarma, Daniel dkk, Laporan Penelitian Dampak Supermarket terhadap Pasar dan Pedagang Ritel Tradisional di Daerah Perkotaan di Indonesia, Lembaga Penelitian SMERU, November 2007. Suryono, Ahmad dalam Seminar “Masih adakah independensi dalam pembuatan Undang-UndangNasional di bidang Investasi dan Perdagangan di Indonesia?’, Institute for Global Justice, 21 Februari 2012. Suryono, Ahmad & Dini Adiba S, Analisis Rezim Investasi dan Perdagangan, Laporan Penelitian, IGJ, 2012. Visidata Riset Indonesia, “Kondisi Persaingan Bisnis Retail Indonesia”. Laporan Riset, Agustus 2005. Wie Thee Kian, “Policies for Private Sector Development in Indonesia”, ADB Institute Discussion Paper No. 46, Maret 2006.

Dokumen Resmi Asian Development Bank. Tecnical Assistance, 2660-IN0, “Agriculture Sector Strategy Review Ministry Of Agriculture, “Decentralization Of Agricultural Support Services”, Jakarta : March 1998 _____________________ Technical Assistance, “Financed from the Asian Currency Crisis Support Facility To The Republic Of Indonesia For The Agriculture And Rural Development Strategy Study”, Maret 1999. ______________________, Technical Assistance, “Financed by the Japan Special Fund To The Republic Of Indonesia For Preparing The Productivity Enhancement For Tree Crops Project”, November 2003. _______________________, Completion Report, Project Number: 33399 Loan Number: 1965, November 2006, “Indonesia: Financial Governance and Social Security Reform Program”, diakses dari http://www.adb.org/ Documents/PCRs/INO/33399-INO-PCR.pdf _______________________, Validation Report, Program Number: 39605 Loan Number: 2228, Indonesia: Development Policy Support Program, Oktober 2008

216


_______________________, Validation Report, Project Number: 31644 Loan Number: 1738, Indonesia: Industrial Competitiveness and Small and Medium Enterprise Development Program, Desember 2010. _______________________, Technical Assistance Report, December 2008, Project Number: 42461 Policy and Advisory Technical Assistance, “Republic of Indonesia: Social Security Reform and Economic Modeling Capacity Building”, diakses dari http://www.adb.org/Documents/TARs/INO/42461INO-TAR.pdf, _______________________,Technical Assistance Completion Report: TA 3850INO: Establishment of a Financial Services Authority”, diakses dari http:// www.adb.org/Documents/TACRs/INO/35499-INO-TCR.pdf _______________________, Technical Assistant Report, Republic of Indonesia: Institutional Strengthening for the Water Resources Sector, December 2010 _______________________,Technical Assistance Completion Report, TA 4024INO: Financial Governance and Social Security Reform. _______________________,Sixth Development Policy Support Programme, Project number 43211- 01, Loan Number 2723, “Economic growth, Private Sector Development, dan Governance”. ______________________, First Development Support Programme. The International Monetary Fund, “Indonesia — Second Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies”, the International Monetary Fund, Washington D.C, 29 Juli 1998.

___________________________, “Indonesia — Second Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies”, the International Monetary Fund, Washington D.C, 11 September 1998. ____________________________, “Indonesia — Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies”, the International Monetary Fund, Washington D.C, 19 Oktober 1998. ____________________________, “Indonesia — Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies”, the International Monetary Fund, Washington D.C, 13 November 1998.

217


____________________________, “Indonesia — Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies”, the International Monetary Fund, Washington D.C, 16 Maret 1999. ____________________________, “Indonesia — Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies”, the International Monetary Fund, Washington D.C, 14 Mei 1999. ____________________________, “Indonesia — Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies”, the International Monetary Fund, Washington D.C, 20 Januari 2000 ____________________________, “Indonesia — Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies”, the International Monetary Fund, Washington D.C, 1 Mei 2000. ____________________________, “Indonesia — Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies”, the International Monetary Fund, Washington D.C, 31 Juli 2000. _____________________________, “Indonesia — Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies”, the International Monetary Fund, Washington D.C, 27 Agustus 2000. , “Indonesia — Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies”, the International Monetary Fund, Washington D.C, 13 Desember 2001.

_______________________________________

_____________________________, “Indonesia — Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies”, the International Monetary Fund, Washington D.C, 20 November 2002. _____________________________, “Indonesia — Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies”, the International Monetary Fund, Washington D.C, 18 Maret 2003. _____________________________, “Indonesia — Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies”, the International Monetary Fund, Washington D.C, 11 Juni 2003. World Bank, Program Document: Indonesia Country Asistant Strategy (CAS), dari http://www.oecd.org/dataoecd/1/18/35287586.pdf, 29 maret 1999, 218


__________, 2004.Program Document, On A Proposed Loan, In Amount of $300 Million to the Republic of Indonesia for a First Development Policy Loan. __________ 2005. Program Document, On A Proposed Loan, In Amount of $300 Million to the Republic of Indonesia for a Second Development Policy Loan. __________ 2006. Program Document, On A Proposed Loan, In Amount of $300 Million to the Republic of Indonesia for a Third Development Policy Loan. World Bank, 2007. Program Document, On A Proposed Loan, In Amount of $300 Million to the Republic of Indonesia for a Fourth Development Policy Loan. __________, 2008. Program document, on a proposed loan, in amount of $600 million to the republic of Indonesia for a Fifth development policy loan. __________, 2009. Report No. 50149-ID. Program document, on a proposed loan, in amount of $750 million to the republic of Indonesia for a sixth development policy loan. __________, 2010. Report No: 57111-ID Program document, on a proposed loan, in amount of $600 million to the republic of Indonesia for a seventh development policy loan. __________, 2011. Report No: 57678-ID Program document, on a proposed loan, in amount of $600 million to the republic of Indonesia for a Eight development policy loan.

Publikasi Online “Asian Development Bank” diakses dari http://beta.adb.org/about/overview “Asian Development Bank”, diakses dari http://www.adb.org/countries/indonesia/main Asian Development Bank, News Release {online}. Ekonomi Indonesia akan Meningkat., diakses dari http://www.adb.org/Documents/Translations/ Indonesian/Indonesia-Akan-Meningkat.pdf

219


“Agenda Pengimplementasian UU No. 40 Tahun 2004”, diakses dari http://www.djsn. go.id/home/22-agenda-pengimplementasian-uu-no-40-tahun-2004-.html. “Bank-bank Plat Merah Dukung Revisi Aturan Kepemilikan Bank”, diakses dari http://www.lppi.or.id/index.php/module/Blog/sub/9/id/bank-bank-platmerah-dukung-revisi-aturan-kepemilikan-bank. “Batubara, Marwan, “Memanfaatkan Sumber Daya Alam Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat”, diakses dari http://satunegeri.com/berita-86memanfaatkan-sumber-daya-alam-untuk-sebesarbesarnya-kemakmuranrakyat.html

Biro Kerjasama Luar Negeri, Departemen Pertanian RI, “World Trade Organization (WTO)/ Organisasi Perdagangan Dunia”, diakses dari www.deptan.go.id/ kln/berita/wto/ttg Business Regulations in Malaysia”, diakses dari http://www.vlc.com.my/Business_ Regulations.htmlwto.htm “CEPA bakal dorong Investasi Eropa di Indonesia” diakses dari http://www.inilahjabar. com/read/detail/1849186/cepa-bakal-dorong-investasi-eropa-di-indonesia “Common Effective Preferential Tariff (CEPT) Scheme For Afta: A Survey On Its Utilisation”,diakses dari www.aseansec.org, Bureau for Economic Integration The ASEAN Secretariat, Jakarta. Daeng, Salamuddin, “Investment in Indonesia “Neocolonialism and Its Destruction

to Peoples Economy” diakses dari http://www.networkideas.org/ideasact/ dec09/pdf/Daeng_Salamuddin.pdf

“Financial Sector Crisisand Restructuring Lessons from Asia”, diakses dari http:// www.imf.org/external/pubs/ft/op/opfinsec/index.htm. Hadad Muliaman D, dkk., Kajian Mengenai Struktur Kepemilikan Bank Di Indonesia, diakses dari http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/0A5EA2D0-5D87-488EA26344988C6EE1A0/7825/KajianmengenaiStrukturkepemilikanBank.pdf, Hegemoni Kepentingan Asing Dalam Struktur Kekuasaan Ekonomi di Indonesia”, diakses dari http://www.starbrainindonesia.com/site/journal/11/hegemonikepentingan-asing-dalam-struktur-kekuasaan-ekonomi-di-indonesia.

220


Indonesia Norway Business Council, “Doing Business in Indonesia: A Norwegian Perspective”, Februari 2011, diakses dari www.norway.or.id/ PageFiles/364383/DOING_BUSINESS_IN_INDONESIA. Kementerian Keuangan Republik Indonesia, “Keterangan Pers Pengundangan UndangUndang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan”, diakses dari http://www.depkeu.go.id/ind/Data/Siaran_Pers/OJK09122011.pdf. Khaliq, Abdul dan Ilan Noy, “Foreign Direct Investment and Economic Growth: Empirical Evidence from Sectoral Data in Indonesia”, diakses dari http:// www.economics.hawaii.edu/research/workingpapers/WP_07-26.pdf,

“Menyoal Kepemilikan Asing”, diakses dari http://politikana.com/baca/2011/05/2… kan-asing.html. Nasution, Anwar, “Masalah-Masalah Sistem Keuangan Dan Perbankan Indonesia”, diakses dari http://www.lfip.org/english/pdf/bali-seminar/Masalah%20 sistem%20keuangan%20dan%20perbankan%20-%20anwar%20nasution.pdf, Nasution, Anwar, “Stabilitas Sistem Keuangan Urgensi, Implikasi Hukum, Dan Agenda Ke Depan”, Http://Www.Lfip.Org/English/Pdf/BaliSeminar/Masalah%20 sistem%20keuangan%20dan%0perbankan%20-%20anwar%20nasution.Pdf NGO Forum on the ADB. Here, There And Everywhere: Why ADB‐Supported Projects Are Widely Spread Around Indonesia Draft. Diakses dari http:// www.forum-adb.org/docs/FORUM-Demystifying-ADB-in-Indonesia.pdf Nugroho, Ugie, “Bank & Liberalisasi Keuangan”, diakses dari http://www.unisosdem. org/article_detail.php?aid=8723&coid=4&caid=33&gid=2 “Pemerintah India Bela Kebijakan Baru di Sektor Ritel”, diakses dari http://www. voanews.com/indonesian/news/Pemerintah-India-Bela-Kebijakan-BaruRitel-134518403.html, “Pengaruh Perkembangan Ritel Modern terhadap Perekonomian Kota-Kota Kecil”. Diakses dari http://www.sappk.itb.ac.id/ppk/index.php?option=com_content &task=view&id=258&Itemid=87&lang=en, “Pricewaterhouse Coopers Indonesia, “Oil and Gas in Indonesia: Investment and Taxation Guide, Mei 2010, dalam www.pwc.com/en_ID/id/publications/ assets/OilAndGas-InvestmentAnd.

221


PT. REKA DESINDO MANDIRI, “Agenda Bantuan Donor Bagi Indonesia”, diakses dari http://www.penataanruang.net/ta/Lapak04/P2/PHLN/Bab2.pdf Rezim Internasional Sektor Keuangan dan Dominasi Modal Asing”, diakses dari http://www.igj.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=554&It emid=168 pada tanggal 18 Desember 2011 pk.09.30 Sarwedi,

“Investasi Asing Langsung Di Indonesia dan Faktor yang Mempengaruhinya”, htttp://www. puslit.petra.ac.id/journals/pdf. php?PublishedID=AKU02040102.

“Sejarah Bank Indonesia : Perbankan Periode 1997-1999”diakses dari http://www.bi.go. id/NR/rdonlyres/A6011CBA-1B4E-49B1-9DDC CB01AB6C60D0/19387/ SejarahPerbankanPeriode19971999.pdf,. “Ringkasan Eksekutif Kajian Pemasaran Produk UKM Melalui Jaringan Retail Besar”, diakses dari http://www.kemendag.go.id/addon/kajian_balitbang/ file/0220080001.pdf http://www.thefreelibrary.com/1.+AMIDST+SLUMPING+RETAIL+BUSINESS,+FO REIGN+RETAILERS+MUSHROOM.-a054359843, Taniwidjaya, Ronnie. 2005. “Modern Market Growth And The Changing Map Of The Retail Food Sector In Indonesia”, diakses dari http://www.pecc.org/ resources/doc_view/386-modern-market-growth-and-the-changing-map-ofthe-retail-food-sector-in-indonesia,. United States Agency for International Development(USAID),“Energy Sector Governance Strengthened”, diakses dari http://www.usaid.gov/pubs/ cbj2002/ane/id/497-013.html United States Agency for International Development (USAID),“Energy Sector Reform”, diakses dari http://www.usaid.gov/policy/budget/cbj2004/asia_ near_east/Indonesia.pdf “Undang Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Disahkan”, diakses dari http:// yustisi.com/2011/10/undang-undang-badan-penyelenggara-jaminan-sosialdisahkan/. “Uni Eropa siap bantu Indonesia memenuhi standar ekspor” diakses dari http://www. bumn.go.id/ptpn8/publikasi/uni-eropa-siap-bantu-indonesia-memenuhistandar-ekspor 222


Tambunan, Tulus, “Trade And Investment Liberalization Effects on SmeDevelopment : A Literature Review And Case Study Of Indonesia�, diakses dari http:// www.unescap.org/tid/artnet/pub/tipub2469_chap5.pdf pada tanggal24,

Peraturan Hukum Instruksi Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 115 Tahun 2006 Tentang Penundaan Perizinan Mini Market Di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Keputusan Presiden No.99 tahun 1998 tentang Bidang/Jenis Usaha Yang Dicadangkan Untuk Usaha Kecil Dan Bidang/Jenis Usaha Yang Terbuka Untuk Usaha Menengah Atau Usaha Besar Dengan Syarat Kemitraan. Keputusan Presiden No.118 tahun 2000 tentang Bidang/Jeenis Usaha yang Dicadangkan Untuk Usaha Kecil dan Bidang/Jenis Usaha yang Terbuka Untuk Usaha Menengah Atas dengan Syarat Kemitraan. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1960 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 78 Tahun 1958 Tentang Penanaman Modal Asing. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2007 Tentang Penataan Dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan Dan Toko Modern. Putusan Makamah Konstitusi Republik Indonesia tanggal 21 Desember 2004 terkait Judicial Review UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 1958 Tentang Penanaman Modal Asing Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1965 Tentang Pencabutan Undang-Undang No. 78 Tahun 1958 Tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran-Negara Tahun 1958, No. 138) Yang Telah Diubah Dan Ditambah Dengan Undang-Undang No. 15 PRP Tahun 1960 (LembaranNegara Tahun 1960 No. 42) Hasil wawancara dengan Ibu Henry Saparini. 10 April 2012 Hasil wawancara dengan Bapak Ahmad Iskandar, 27 Maret 2012.

223



Indeks

A ACFTA 145

ADB’s Participatory Irrigation Sector Project (PISP) 161 Agreement on Agriculture (AoA) 142 agregate measurement of support 143

Agricultural Product Processing and Marketing Development (DGAPPMD) 165 Akuisisi 155, 156, 188 Alfamart 175, 193

Ali Sastromidjojo 14

Allied Retail Trade Co (ART Co) 182 Amandemen 1, 61, 64 Ambon 54

225


Amerika Latin 11

Amerika Serikat 10, 46, 47, 61, 64, 84, 85, 94, 103, 109, 111, 115, 116, 117, 121, 143, 169, 188, 196, 202, 204, 205, 208, 228 Ampolex 120

Anand Sharma 181 Angkatan Darat 17 Anoop Singh 64

Arbitrase Internasional 21

Arsitektur Perbankan Indonesia (API) 60

ASEAN vii, xi, xvi, 52, 53, 140, 144, 145, 215, 220, 228

ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA) 145 ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) vii, 52, 53 ASEAN Free Trade Area (AFTA) 144

Asian Development Bank (ADB) vi, ix, 23, 76, 106, 151, 153, 201 Asia Pasific Economic Cooperation Forum (APEC) 146 Asiatic Oil Company (Calasiatic) 92

Asosiasi Pengguna Sumber Daya Air atau Water Users’ Associations (WUAs) 161 Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) 194 Asuransi Kesehatan Indonesia (Askes) 72

Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) 72 Asuransi Takaful Indonesia 81

Australia 21, 61, 66, 145, 169, 185, 209 Australian North West Shell 124

B Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) 17

Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) 101 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial 72, 73, 222

Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) 156 Badan Pertanahan Nasional 131, 155

226


Baitul Mal wa Tamwil (BMT 87 Bandung 54

Bangkok 25, 53, 182, 215 Bank Buana 61

Bank Bumiputera 61, 81 Bank Century 61

Bank Danamon 61, 62, 82

Bank Dunia iii, iv, vi, vii, viii, 3, 4, 6, 10, 11, 23, 32, 35, 36, 37, 40, 44, 48, 62, 64, 65, 68, 71, 72, 74, 78, 79, 80, 106, 107, 109, 150, 154, 159, 160, 161, 162, 167, 168, 186, 201, 210 Bank Indomonex 61

Bank Indonesia vii, xi, 17, 50, 51, 56, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 67, 71, 79, 81, 85, 86, 87, 88, 213, 222 Bank Lippo 61, 81

Bank Muamalat 61 Bank Niaga 61, 81 Bank NISP 61

Bank Nusantara Parahyangan 61 Bank of Taiwan 84 Bank Panin 61

Bank Pembangunan Asia iii, iv, 6, 23, 167, 215 Bank Permata 61 Bapepam-LK 67

Basel Accord (Basel I) 56

Basel Capital Accord II (Basel II) 56

Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) vii, 56 Basel Core Principles (BCP) 56 Basel III 57, 58, 213 Batam 54

Batubara 18, 20, 101, 116, 118, 119, 220 bawang putih 33, 42, 147 BCA 61, 62

227


Beijing 188

Belanda 14, 15, 84, 90, 103, 135, 162 Belgia 66, 188

Beras 142, 146, 150, 208 Beyond Petroleum 103 BII 61, 62, 81

Bilateral Investment Treaty (BIT) 110 BJ Habibie 90, 98, 186 Blok Cepu 119, 120 Blok Semai 119 Blue Box 143

BNP Paribas 125 Boj 125

boutique 173

BPPN xii, 51, 59, 82

British Petroleum 123, 124

Bulog 146, 147, 148, 149, 150 Bumiputera 61, 81

Buy American Product 10

C Caltex Pacific Indonesia 92, 103

Capacity Building in Water Resources in a Decentralized Environment 162 Carrefour 172, 175, 177, 180, 187, 188, 195, 212 Carrefour Express 187, 188 ceiling rates tariff 143

Center for Petroleum and Energy Economic Studies 132 Chairul Tanjung 187 Chevron-Texaco 103

Cina 90, 101, 209, 228 228


comercial banking system atau Kredit Usaha Tani 151

Common Effective Preferential Tariff (CEPT) 144, 220 compensation payment 143 Condoleezza Rice 120 Conoco Phillips 116 Continent 187

Convenience store 190

Convention on the Settlement of Investment Disputes 19 cost recovery 94, 117, 132, 134

D daftar negatif investasi 36, 38, 44, 88 Dana Iklim Strategis (Strategic Climate Funds / SCF) 166 Dana Khusus Jepang ( Japan Special Fund) 165 dana pihak ketiga (DPK) 51, 57 Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen) 72 David Nellor 68 Deddy Yusmen 135 deficiency payment 143 Deklarasi Singapura 144 demokrasi 3, 6, 9, 199 demokratis 9, 16, 154 Denmark 66 Denpasar 54, 185 Departemen Perdagangan 17 Departemen Perindustrian 17 Departemen Pertanian 141, 220 Departemen Tenaga Kerja 17 Department Store 174, 187, 188 Dependensi vi, 9, 12 Deregulasi 19, 147, 202

229


Development Policy Loan xii, 4, 36, 44, 65, 71, 78, 79, 80, 219 Development Policy Loan (DPL) 36, 65, 71, 78, 80 Dewan Jaminan Sosial Nasional 72, 73 Dewan Penanaman Modal Asing 16

Dewan Rempah Indonesia (DRI) 145 Dick Cheney 120

Directorate General of Estate Crops and Production (DGECP) 165 Directorates of Agricultural Facilities (DGAF) 165 discount window 50

disinsentif pajak 33, 42

divestasi 23, 51, 61, 82, 98, 116

Domestic Market Obligation (DMO) 97 Dos Santos 11

Douglas C. North 7 Dudley Seers 12

E Early Harvest Program 145 ekonomi pasar 17

Ekosistem Leuser (KEL) 168

Energy Sector Governance Strengthened dan Energy Sector Reform 104 equal treatment 28, 37, 98, 134 Era Reformasi viii, 97, 146 ExxonMobil 115

F factory outlet 173 Family Mart 195

230


Farallon Investmen 62 feodalisme 16

Filipina 83, 140, 180, 189

Financial Governance and Social Security Reform (FGSSR) 70, 74, 79

Financial Governance Reforms: Sector Development Program (FGRSDP) 74, 80 Finlandia 66

Forest Investment Program (FIP) 166 Fujian LNG China 124

G Gag Nikel di Papua 169 gandum 143, 149 gas alam 45

GATT xii, 29, 141, 142, 208

General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 29 George Bush 120

Giant 172, 175, 188 Green Box 143

gula 33, 42, 143, 147, 148 gula pasir 143

H Hendri Saparini iv, 88, 109, 110, 133, 170, 176 Hess 116, 119 HGB 27

HGU 27

Highly Sensitive 145

Ho Chi Minh (Vietnam) 188

231


Humpuss Patragas (HPG) 120 Hypermarket xviii, 174, 191 Hypermart 172, 175

I Ichsanuddin Noorsy iv, 6, 109

IMF iii, iv, vi, vii, viii, ix, xii, 3, 4, 5, 6, 7, 10, 11, 31, 32, 33, 35, 40, 42, 48, 54, 55, 61, 62, 64, 65, 68, 74, 79, 89, 97, 98, 100, 110, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 183, 184, 186, 200, 201, 208, 212, 213, 215, 227 IMF dalam Pembentukan Regulasi OJK viii Imperialisme 228

INCO di Sulawesi Selatan 169

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) 51

Independent Indonesian American Petroleum Company (IIAPCO) 94 India 61, 84, 181, 221

Indische Mijnwet 90, 91

Indomaret 175, 192, 193

Indonesian Crude Price (ICP) 115

Indonesian Petroleum Association (IPA) 130 Indosat 4, 34, 35

Industri viii, 8, 90, 101, 111, 121, 132, 135, 164, 171, 172, 192, 193, 209 Industrial policy 204

industri penerbangan 19 ING 125

Inggris 47, 61, 66, 86, 87, 103, 116, 121, 135, 169, 188 insentif pajak 26

insitusionalisasi kebijakan 12

International Finance Corporation (IFC) 167 Investasi asing 151

investasi untuk eksploitasi sumber daya dan pertanian 13

232


Investment Guarantee Agreement (IGA) 19

Investment Promotion and Protection Agreements 19 Irigasi xvi, 14, 163, 164

Irigasi dan air minum 14

J Jakarta i, ii, iii, xiii, 7, 8, 10, 12, 18, 34, 53, 55, 91, 93, 110, 119, 135, 142, 144, 146, 158, 169, 170, 176, 177, 178, 185, 187, 188, 193, 208, 209, 212, 213, 216, 220, 223, 228 Jalan Tol Trans Jawa 158

Jalan Tol Trans Kalimantan 158 James Wolfensohn 10 jaminan hari tua 72

jaminan kecelakaan kerja 72 jaminan kematian 72

jaminan kesehatan 72, 73, 74 jaminan pensiun 72

Jaminan Sosial Tenaga Kerja ( Jamsostek) 72

Japan for International Corporation ( JBIC) 125

Jepang 7, 12, 14, 46, 47, 61, 66, 117, 121, 124, 146, 152, 162, 165, 172, 180, 187, 188, 189, 195, 203, 205, 214, 227, 228 Jerman 66, 195

John Sunarmo 115

Joseph E. Stiglitz 10, 11 J. Stepleton Roy 109

K Kabinet Karya 15, 16 Kabinet Kerja 16

233


kacang mete 164 kakao 164

Kambaniru, Sumba Timur 164 Kamboja 140

Kanada 66, 169

Kantor Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup 17 karet 164

Kawasan Ekonomi Khusus xiii, 21, 228 K Circle 175

kedelai 33, 42, 149

Kehutanan 164, 166, 167, 168, 169, 215 kelapa 23, 31, 48, 151, 164

kelapa sawit 23, 31, 48, 151, 164

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 101 Kereta Api 14

ketahanan pangan (food security) 139 Khazanah Nasional Berhad 81 kolonialisme 13, 14

Konstitusi 26, 27, 28, 73, 102, 103, 203, 205, 215, 223 konten lokal 23, 29

kontrak karya (KK) 91, 93 kopi 164

Korean Monopoly Regulation and Fair Trade Act 180 Korea Selatan 46, 85, 121, 124, 175, 180, 187, 188 Krisis v, 1, 54, 74, 146, 202, 210 krisis finansial 172, 200 KTT ASEAN 53, 144 Kudeta putih 5 Kurtubi 132

234


L Lao PDR 140

LAP, Land Administration Project 154 Laut Arafuru, Papua 119 Lawson 195

Lender of Last Resort (LOLR) 63

Letter of Intent (LoI) vi, 31, 55, 147, 183 Letter of Intent (LoI) IMF 147, 183 Liberal 67

Liberaliasi Sektor Ritel di Indonesia ix, 171, 187

Liberalisasi vi, vii, viii, ix, xv, 8, 13, 18, 20, 21, 22, 23, 31, 40, 49, 51, 53, 54, 61, 79, 89, 139, 141, 143, 144, 146, 169, 170, 183, 201, 209, 221 liberalisasi ekonomi 3, 48, 89, 192, 199 Liberalisasi Investasi vi, 13, 23, 31, 40 liberalisasi perbankan 52, 54, 56, 62 liberalisasi sektor keuangan 50

likuiditas 11, 50, 51, 57, 58, 67, 86

Liquefied Natural Gas (LNG) xv, 123

Liquefied Petroleum Gas (LPG) xv, 123

LMPDP, Land Management and Policy Development Project 155 Lotte Group 187, 188 Luxemburg 66

M Mahathir Mohamad 7

Mahkamah Konstitusi 26, 27, 28, 73, 102, 103, 203, 205, 215 Makro 172, 187, 188, 195, 228 Malang 193

Malayan Banking Berhad (Maybank) 81 235


Malaysia 7, 12, 61, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 103, 115, 135, 140, 170, 180, 181, 189, 195, 213, 220, 227 mall / supermall / plaza 173 Manado 54

Marwan Batubara 18, 20, 101, 116, 118, 119 mass media 18, 19 Maybank 62, 81 Medan 54

Megawati 96, 98, 229 Meksiko 66, 84, 143

Memorandum on Economic and Financial Policies (MEFP) 55

Menajemen Investasi Sumber Daya Air Citarum atau Integrated Citarum Water Resources Management Investment Program 162 merger 33, 42, 55, 61, 67, 81 Metro AG 195

Michael Camdesus 5 Michael W. Ryan 69 Mindo Sitorus 145

Minimarket 174, 177, 188, 190 Minyak bumi 103

Mitsubishi UFJ 125 Mitsui Bank 84 Mizubo 125

M. Kholid Syeirazi 8, 102, 103, 136 MNC 8, 17, 207

Mohammad Saleem 169 Moskow (Rusia) 188

Most Favored Nation (MFN) 24, 29

Multilateral ix, 19, 24, 141, 143, 214, 215

Multilateral Investment Guarantee Agency 19 Myanmar 140

236


N National Single Window (NSW) 37 National Treatment 24, 29, 41, 52 natural maturation 113

negative list 36, 38, 172, 201 Neoinstitusionalisme 10

neoliberal iii, 10, 98, 125

New Emerging Forces 16 New Zealand 145

Non-Bank Financial Institutions (NBFIs) 69 Normal Track 1 (NT1) 145 Nothern Rock Bank 87

O one size fits all 10

Orde Baru iv, vi, viii, 1, 3, 6, 7, 9, 14, 17, 19, 90, 92, 95, 96, 120, 135, 146, 154, 200 Orde Lama vi, viii, 14, 89, 90, 200

Organisation of Petroleum Exporting Countries (OPEC) 113 Otonomi 95

otoritarianisme 9

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 63, 65, 74, 79

P Pabrik mesiu dan senjata 14 pacta sunt servanda 97 Padang 54

pajak impor 26

237


pajak pendapatan 26, 104

pajak pertambahan nilai 26

pajak tanah dan bangunan 26

Paket Deregulasi 1993 (PAKTO 1993) 19 Paket Oktober 1988 (Pakto-88) 82 Pakto 1988 50, 52 Panama 66

Pancasila 16, 229

Partai Komunis 17 Pelabuhan 34 Pelayaran 14

Pembangkitan tenaga listrik 14 Pembangkit tenaga atom 15

Pemenuhan Modal Inti Minimum 60

penanaman modal asing (PMA) 13, 175, 185 Penanaman Modal Dalam Negeri xiii, 20, 26

Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan 176 penerbangan 4, 14, 18, 19, 33, 99 penerbangan dalam negeri 14

Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) 101

Peningkatan Kerangka Hukum dan Administratif Proyek Tanah 156 Penurunan tarif 142, 144 perkapalan 19, 118

pertambangan 15, 21, 23, 45, 46, 47, 48, 90, 91, 94, 126, 135, 200 Pertambangan bahan-bahan vital 15

Pertambangan Minyak Nasional (Permina) 91

Pertamina 2, 45, 46, 91, 92, 93, 94, 95, 98, 99, 100, 101, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 124, 126, 127, 131, 134, 135, 136, 137, 208, 211 Pertanian ix, xvi, 139, 141, 152, 153, 155, 158, 163, 164, 165, 169, 220 Peru 66

Petro China 103

Petronas 103, 115, 116, 134, 135 238


Philip Levy 169

PN Gas Bumi Nasional (Permigan) 91

PN Pertambangan Minyak Indonesia (Permindo) 91 POSCO Korea 124 Power Korea 124

Prancis 66, 187, 188

Presiden Abdurrahman Wahid 98, 186 Prime Horizon Pte Ltd 187

Private Sector Development Strategy and Private Sector Operations 25 Private Sector Operations (PSO) 25

Privatisasi 4, 23, 32, 33, 34, 74, 99, 159, 208, 210, 227 Privatisasi sumber daya air 159

Production Sharing Contract (PSC) 93, 94 produk-produk susu 143 Promodes 187

proteksi 28, 62, 170 Provinsi Fujian 124

Provinsi Guandong, China 124

Proyek Manajemen Sumber Daya Air (Water Resources Adjustment Loan / WATSAL) 159 Proyek Pembangunan Pertanian Nusa Tenggara 164 Prudential Banking 56

PT Alfa Retailindo Tbk 187 PT Freeport Indonesia 169

PT Great Australia Bites 185

PT Midi Utama Indonesia 195 PT Point Break 185 PT Wings 195 public choice 8

239


R Rasheed Khalid 169 rasionalisasi 4

ratifikasi 41, 141

Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD) 167 reformasi jaminan sosial 75, 76, 77 reformasi sektor keuangan 50, 75

reformasi struktural iv, 24, 50, 147, 148, 186, 200, 201 Regional ix, 25, 144, 155, 215

Regulasi vi, vii, viii, ix, xv, 14, 15, 17, 19, 20, 21, 36, 37, 41, 49, 55, 57, 58, 64, 68, 74, 79, 86, 101, 154, 176, 213 regulasi keuangan 71

Regulasi OJK viii, 68 regulasi SJSN 74

Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah (RPJM) 162 repatriasi 27, 30, 33, 38, 42, 99 Restrukturisasi vii, 54

Revolusi Indonesia 16

Risk Management Unit (RMU) 77 Royal Decree for Retail Act 182 R. Priyono 132, 134 RUU Agraria 158

S Sammy Hamzah 130, 131

Second Round of Reforms 10

Sektor Keuangan vii, viii, xiii, xv, 49, 50, 52, 53, 56, 58, 61, 79, 86, 210, 211, 222 sektor perdagangan 4, 31, 32, 33, 42 Selandia Baru 66, 145 240


Semarang 53

Serikat Pekerja Pertamina Hulu 135 Seven Points Strategy for Rice 149

Shell 92, 103, 115, 116, 124, 134, 135, 137 Sigmantara Alfindo 187

Singapura 46, 47, 61, 66, 92, 117, 121, 144, 227 Single Presence Policy (SPP) 61

Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) 76, 80 Sleman 194

Soeharto 5, 7, 10, 12, 17, 25, 89, 90, 95, 200, 227 Soekarno 17, 90 Sogo 172, 187

Sosialisme Indonesia 16

Source of Funding Asian Currency Crisis Support Facility (ACCSF) 69 Specialty Store 174 Stancart 125

Standard Chartered Bank 82 Stanvac 92

stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) 134 subprime mortgage 202

subsidi domestik 142, 143, 144, 147, 170 subsidi ekspor 170

Sumatera Utara 164

Sumitomo Mitsui 125

Supermarket 174, 176, 188, 191, 216 supply shock 49

Surabaya 34, 53, 158 swalayan 173, 174 Swedia 66 Swiss 66

syariah 59, 81, 87

241


T Taiwan 46, 84, 121, 189

Taman Nasional Kerinci Sebla 168

tanaman pohon/tanaman keras (tree crops) 164 Tangguh 123, 124 tariff binding 143 teh 164

Telekomunikasi 14, 34 Temasek 62

tenaga air 45

tenaga listrik 14, 18, 19, 107 tepung terigu 147, 149 terigu 33, 42, 147, 149 Tesco 181, 195

Texas Pasific Group 62

Texoco Overseas Petroleum Company (Topco) 92 Thailand 25, 83, 84, 140, 182, 189, 195, 215

The Asian Currency Crisis Support Facility 152 The Great Eastern Banking Corporation 84

The Hongkong and Shanghai Banking Corporation (HSBC) 82 Theo F. Toemion 64

The Overseas Chinese Banking Corporation 84 The Yokohama Speciebank 84 Thomas L. Friedman 10 Tianjin (China) 188

Timur Tengah 110, 116 Tohuku Jepang 124

Tokyo Heads of Agreement 92 Toserba Sarinah 172

Total 77, 113, 115, 116, 117, 152, 153, 162, 163, 165, 166, 187

242


trade centre 173

Trade-Related Investment Measures (TRIMs) 29 Trans Corp 187

Transparansi 24, 29, 41, 54

Treasury Single Account (TSA) 36

U Undang-Undang Investasi vi, 13 Undang-Undang Penanaman Modal 2 undang-undang penanaman modal asing 14 Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) 20 Undang-undang Pokok Agraria (UUPA 154 Uni Eropa xiv, 116, 143, 168, 203, 205, 222 Unilateral ix, 146 USAID iv, xiv, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 222 utilitarian 8 UU Telekomunikasi 34

V valuta asing 27, 30

Vedi R. Hadiz 9, 10, 11, 209 Venezuela 66

Vietnam 84, 140, 188, 189

W Wal-Mart 181, 196

Washington Consensus 10, 146, 202, 227

243


World Bank’s Water Resources and Irrigation Sector Management Program (WRISMP) 161

WTO vi, xiv, xvi, 24, 28, 29, 31, 32, 41, 44, 48, 54, 141, 142, 143, 144, 169, 183, 203, 208, 214, 215, 220

Y Yogyakarta 194, 208 Yomart 175, 184

Z Zhu Rongji 124

244


Biodata Penulis

Syamsul Hadi (MA, Ph.D), Pengajar Ekonomi Politik Internasional di Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia. Menyelesaikan S1 di

departemen yang sama pada tahun 1995, lalu melanjutkan pendidikan S2 dan S3 (selesai tahun 2003) di Departemen Ilmu Politik Universitas Hosei, Tokyo, dengan spesialisasi ekonomi politik internasional. Salah satu pendiri Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) serta menerbitkan banyak buku dan artikel di media seperti Kompas, Seputar Indonesia, dan Media Indonesia. Juga mempublikasikan banyak artikel dalam jurnal nasional dan internasional, selain menjadi pembicara dalam forum-forum nasional dan internasional. Beberapa artikelnya diterbitkan di Singapura, Malaysia, dan Jepang. Tahun 2009 mendapatkan FISIP UI Award sebagai dosen terproduktif. Beberapa bukunya antara lain Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF (2004), Strategi Pembangunan Mahathir dan Soeharto (2005), Post-Washington Consensus dan Politik Privatisasi di Indonesia (2007), Dominasi Modal Jepang di Indonesia (2009), Merangkul China (2010), dan Kriminalisasi Berujung Monopoli (2011). 245


Salamuddin Daeng, aktif di Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan tercatat sebagai peneliti di Institute for Global Justice (IGJ) Jakarta. Bukunya antara lain Makro Ekonomi Minus (2008), Imperialisme dari Lubang Pertambangan (2009), dan Investment Colonial Model (IGJ, 2010). Chief of Editor Free Trade Watch (FTW), buletin 3 bulanan yang diterbitkan IGJ Jakarta.

Afrimadona - Pengajar pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta. Menyelesaikan pendidikan S1 Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 2003 dan S2 (MA) Hubungan Internasional dari Graduate Studies in International Affairs, Australian National University (ANU), tahun 2009. Tahun 2012 menempuh pendidikan doktor (Ph.D) dalam bidang Political Science di Northern Illinois University, Amerika Serikat. Mengajar di beberapa perguruan tinggi, antara lain Universitas Prof. Dr. Moestopo dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kontributor buku Memahami Kajian Strategis terbitan FISIP UPNVJ tahun 2012. Shanti Darmastuti – Menyelesaikan pendidikan S1 Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada (2000) dan S2 Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia (2005). Saat ini pengajar Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP UPN “Veteran” Jakarta. Beberapa karyanya adalah Dominasi Modal Jepang di Indonesia: Telaah Kritis atas Dampak Perjanjian Kemitraan Ekonomi (EPA) Indonesia - Jepang (IGJ, 2009), Persaingan Ekonomi Antara Jepang dan Cina di ASEAN: Tantangan dan Pengaruhnya bagi Indonesia (dalam buku Merangkul Cina, Gramedia, 2009), serta Globalisasi, Neoliberalime dan Pembangunan Lokal: Studi tentang Pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus di Indonesia (IGJ, 2010). Saat ini aktif dalam berbagai kegiatan riset ilmiah terkait dengan masalah-masalah internasional, pembangunan, dan masalah-masalah ekonomi politik. Eka Pratiwi - Lahir di Cimahi, Jawa Barat, 30 November 1984. Menyelesaikan pendidikan S1 Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia pada tahun 2009. Pada masa kuliah aktif di Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional dan Badan Eksekutif Mahasiswa UI. Tahun 2011 bergabung dengan Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Jakarta sebagai asisten peneliti. 246


Indah Pertiwi Nataprawira, Kelahiran Palembang, menyelesaikan S1 di Fakultas Ekonomi Universitas Pancasila dan S2 di Fakultas Ilmu Politik Universitas Indonesia. Aktif melakukan penelitian serta mengajar pada berbagai organisasi pendidikan dan organisasi guru di seluruh Indonesia. Saat ini dosen di Jurusan Komunikasi Universitas Paramadina dan Direktur Program Megawati Institute.

247





Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.